Nama:Yuani Tri Astuti
Npm:2213053046
Kls:2H
Tugas Analisis Jurnal Penelitian Politik mengenai “Dinamika Sosial Politik Menjelang Pemilu Serentak 2019”.
Pemilihan umum serentak (pemilu serentak) yang diselenggarakan tahun 2019 di Indonesia merupakan pemilu pertama di mana pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif (pileg). Hal ini menjadi alasan dilaksanakannya penelitian ini, karena peristiwa ini pastilah akan menampilkan dinamika menarik di tengah kehidupan masyarakat tepatnya pada bidang sosial politik ketika masa pra-pemilihan.
Jurnal Penelitian Politik nomor 10/E/KPT/2019 memuat 6 artikel yang masing-masing membahas topik yang terkait dengan isu electoral (sistem demokrasi pemilihan wakil rakyat). Artikel pertama yang ditulis oleh Efriza, “Penguatan Sistem Presidensial dalam Pemilu Serentak 2019,” mencoba menjelaskan mengenai dinamika koalisi dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dan sekaligus menjelaskan upaya koalisi dalam pemilu serentak 2019. Artikel kedua berjudul, “Upaya Mobilisasi Perempuan Melalui Narasi Simbolik ‘Emak-Emak Dan Ibu Bangsa’ Pada Pemilu 2019”. Artikel yang ditulis oleh Luky Sandra Amalia ini membahas upaya mobilisasi suara perempuan dilakukan melalui penyematan label ‘emak-emak’dan ‘ibu bangsa’. Tulisan ini berpendapat bahwa label emak-emak maupun ibu bangsa yang disematkan oleh kedua kubu capres-cawapres kepada pemilih perempuan hanya sebatas narasi simbolis untuk memobilisasi suara perempuan yang mencapai lebih separoh jumlah pemilih. Tidak ada yang lebih konkrit dari yang lain, kedua istilah tersebut sama-sama mendomestikasi peran perempuan. Melalui label emak-emak maupun ibu bangsa, kedua kubu seolah menegaskan bahwa perempuan harus menjadi ibu/emak yang tugasnya hanya di ranah domestik. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya patriarki yang masih berkembang di masyarakat.
Pada artikel berikutinya yang dibahas ialah “Netralitas Polri Menjelang Pemilu Serentak 2019” yang ditulis oleh Sarah Nuraini Siregar menganalisa secara khusus netralitas Polri dalam proses pemilu 2019. Kemudian, yang keempat menyinggung fenomena “Populisme Di Indonesia Kontemporer: Transformasi Persaingan Populisme dan Konsekuensinya dalam Dinamika Kontestasi Politik Menjelang Pemilu 2019” yang ditulis oleh Defbry Margiansyah di mana artikel ini mencoba untuk menganalisa transformasi dari persaingan populisme di dua pemilu berbeda dan konsekuensi yang ditimbulkan bagi politik elektoral, termasuk elaborasi pola-pola kerja populisme dalam proses kontestasi politik dan faktor-faktor yang melatarbelakangi kembalinya politik populisme di Indonesia. Selanjutnya ada artikel kelima yang membahas tentang “Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019” artikel ini ditulis oleh R. Siti Zuhro dengan pokok pembahasan mengenai tantangan konsolidasi demokrasi dalam pemilu presiden (pilpres) 2019. Artikel selanjutnya membahas mengenai “Menelaah Sisi Historis Shalawat Badar : Dimensi Politik Dalam Sastra Lisan Pesantren” ditulis oleh Dhuroruddin Mashad, tulisan ini membahas mengenai tradisi lisan pesantrens alah satunya Shalawat Badar yang ternyata memperlihatkan karakateristiknya yang beda, yakni tampil kental dengan nuansa politik. Shalawat ini acapkali dijadikan sarana mobilisasi kaum santri dalam berbagai kontestasi politik.
Secara khusus, analisis penuh akan saya fokuskan pada artikel kelima yang berjudul, “Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019” yang ditulis oleh R. Siti Zuhro.
Di dalam tulisan ini dibahas tentang tantangan konsolidasi demokrasi dalam pemilu presiden (pilpres) 2019. Seperti yang jelas diketahui, pada pembangunan demokrasi Indonesia yang jelas tercermin sebagaimana kondisi pilpres, masih mengalami banyak masalah. Pendalaman dan pemahaman mengenai demokrasi belum terwujud dengan baik karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum dilaksanakan dan diperankan secara efektif. Dan mengecewakannya, ternyata pada Pilpres 2019 perlu diakui bahwa kita masih belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum mampu pula dalam membangun kepercayaan publik. Hal tersebut bisa dilihat dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil rekapitulasi pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Konsolidasi demokrasi di Indonesia cenderung fluktuatif dan belum berjalan secara regular karena pilar-pilar pentingnya (pemilu, partai politik, civil society, media massa) belum berfungsi secara efektif ataupun maksimal. Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Pemilu juga mensyaratkan unsur kejujuran, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Prasyarat untuk menciptakan hal tersebut memerlukan prakondisi dan komitmen semua elemen bangsa untuk mematuhi peraturan yang ada. Konsolidasi demokrasi atau proses pendalaman demokrasi akan terhambat ketika parpol melalui para elitenya dan stakeholders terkait pemilu menunjukkan perilaku yang tidak mendorong proses demokrasi. Pemilu dalam konteks demokrasi tak lain dimaksudkan untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif. Sedangkan salah satu isu krusial pilpres 2019 adalah politisasi birokrasi. Persoalannya, bagaimana menjadikan birokrasi tetap profesional, independen dan netral secara politik dalam pemilu. Harus diakui bahwa birokrasi sangat rentan dijadikan alat kepentingan politik. Keberpihakan birokrasi pada satu kekuatan politik tertentu akan menimbulkan kerawanan tersendiri. Setelah dua dekade berlalu, birokrasi Indonesia masih belum terbebas dari model birokrasi patrimonial, yakni sistem birokrasi yang bercirikan patron-client, sarat dengan power culture, moral hazard, dan safety first philosophy. Dalam sistem pemilu saat ini, bahkan, netralitas birokrasi sulit tercapai karena banyaknya penetrasi politik ke dalam birokrasi. Sebagai akibatnya, seusai pemilu/pilkada tidak sedikit pejabat yang jabatannya terancam.
Kepercayaan sebagian publik terhadap netralitas birokrasi minim, demikian juga terhadap penyelenggara pemilu dan institusi penegak hukum. Padahal trust building merupakan suatu keniscayaan dalam proses deepening democracy/ konsolidasi demokratisasi. Tumbuhnya rasa saling percaya di antara penyelenggara pemilu, parpol dan masyarakat menjadi syarat utama terbangunnya demokrasi yang berkualitas dan penopang terwujudnya stabilitas politik dan keamanan dalam masyarakat. Mereka cenderung constraining dan tidak concern dengan nilai-nilai demokrasi substansial, khususnya yang terkait dengan partisipasi genuine masyarakat, kualitias kompetisi, political equality, dan peningkatan political responsiveness. Pemilu 2019 yang kompleks, dengan tingkat kerumitan yang cukup tinggi dan hasilnya yang dipersoalkan menjadi pelajaran yang sangat berharga. Pemilu yang berkualitas memerlukan parpol dan koalisi parpol yang juga berkualitas. Ini penting karena pemilu tidak hanya merupakan sarana suksesi kepemimpinan yang aspiratif, adil dan damai, tapi juga menjadi taruhan bagi ketahanan sosial rakyat dan eksistensi NKRI. Tantangan yang cukup besar dalam menjalani pemilu serentak 2019 membuat konsolidasi demokrasi yang berkualitas sulit terbangun. Nilai-nilai demokrasi dalam pilpres tak cukup dikedepankan. Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif.
Npm:2213053046
Kls:2H
Tugas Analisis Jurnal Penelitian Politik mengenai “Dinamika Sosial Politik Menjelang Pemilu Serentak 2019”.
Pemilihan umum serentak (pemilu serentak) yang diselenggarakan tahun 2019 di Indonesia merupakan pemilu pertama di mana pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif (pileg). Hal ini menjadi alasan dilaksanakannya penelitian ini, karena peristiwa ini pastilah akan menampilkan dinamika menarik di tengah kehidupan masyarakat tepatnya pada bidang sosial politik ketika masa pra-pemilihan.
Jurnal Penelitian Politik nomor 10/E/KPT/2019 memuat 6 artikel yang masing-masing membahas topik yang terkait dengan isu electoral (sistem demokrasi pemilihan wakil rakyat). Artikel pertama yang ditulis oleh Efriza, “Penguatan Sistem Presidensial dalam Pemilu Serentak 2019,” mencoba menjelaskan mengenai dinamika koalisi dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dan sekaligus menjelaskan upaya koalisi dalam pemilu serentak 2019. Artikel kedua berjudul, “Upaya Mobilisasi Perempuan Melalui Narasi Simbolik ‘Emak-Emak Dan Ibu Bangsa’ Pada Pemilu 2019”. Artikel yang ditulis oleh Luky Sandra Amalia ini membahas upaya mobilisasi suara perempuan dilakukan melalui penyematan label ‘emak-emak’dan ‘ibu bangsa’. Tulisan ini berpendapat bahwa label emak-emak maupun ibu bangsa yang disematkan oleh kedua kubu capres-cawapres kepada pemilih perempuan hanya sebatas narasi simbolis untuk memobilisasi suara perempuan yang mencapai lebih separoh jumlah pemilih. Tidak ada yang lebih konkrit dari yang lain, kedua istilah tersebut sama-sama mendomestikasi peran perempuan. Melalui label emak-emak maupun ibu bangsa, kedua kubu seolah menegaskan bahwa perempuan harus menjadi ibu/emak yang tugasnya hanya di ranah domestik. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya patriarki yang masih berkembang di masyarakat.
Pada artikel berikutinya yang dibahas ialah “Netralitas Polri Menjelang Pemilu Serentak 2019” yang ditulis oleh Sarah Nuraini Siregar menganalisa secara khusus netralitas Polri dalam proses pemilu 2019. Kemudian, yang keempat menyinggung fenomena “Populisme Di Indonesia Kontemporer: Transformasi Persaingan Populisme dan Konsekuensinya dalam Dinamika Kontestasi Politik Menjelang Pemilu 2019” yang ditulis oleh Defbry Margiansyah di mana artikel ini mencoba untuk menganalisa transformasi dari persaingan populisme di dua pemilu berbeda dan konsekuensi yang ditimbulkan bagi politik elektoral, termasuk elaborasi pola-pola kerja populisme dalam proses kontestasi politik dan faktor-faktor yang melatarbelakangi kembalinya politik populisme di Indonesia. Selanjutnya ada artikel kelima yang membahas tentang “Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019” artikel ini ditulis oleh R. Siti Zuhro dengan pokok pembahasan mengenai tantangan konsolidasi demokrasi dalam pemilu presiden (pilpres) 2019. Artikel selanjutnya membahas mengenai “Menelaah Sisi Historis Shalawat Badar : Dimensi Politik Dalam Sastra Lisan Pesantren” ditulis oleh Dhuroruddin Mashad, tulisan ini membahas mengenai tradisi lisan pesantrens alah satunya Shalawat Badar yang ternyata memperlihatkan karakateristiknya yang beda, yakni tampil kental dengan nuansa politik. Shalawat ini acapkali dijadikan sarana mobilisasi kaum santri dalam berbagai kontestasi politik.
Secara khusus, analisis penuh akan saya fokuskan pada artikel kelima yang berjudul, “Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019” yang ditulis oleh R. Siti Zuhro.
Di dalam tulisan ini dibahas tentang tantangan konsolidasi demokrasi dalam pemilu presiden (pilpres) 2019. Seperti yang jelas diketahui, pada pembangunan demokrasi Indonesia yang jelas tercermin sebagaimana kondisi pilpres, masih mengalami banyak masalah. Pendalaman dan pemahaman mengenai demokrasi belum terwujud dengan baik karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum dilaksanakan dan diperankan secara efektif. Dan mengecewakannya, ternyata pada Pilpres 2019 perlu diakui bahwa kita masih belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum mampu pula dalam membangun kepercayaan publik. Hal tersebut bisa dilihat dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil rekapitulasi pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Konsolidasi demokrasi di Indonesia cenderung fluktuatif dan belum berjalan secara regular karena pilar-pilar pentingnya (pemilu, partai politik, civil society, media massa) belum berfungsi secara efektif ataupun maksimal. Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Pemilu juga mensyaratkan unsur kejujuran, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Prasyarat untuk menciptakan hal tersebut memerlukan prakondisi dan komitmen semua elemen bangsa untuk mematuhi peraturan yang ada. Konsolidasi demokrasi atau proses pendalaman demokrasi akan terhambat ketika parpol melalui para elitenya dan stakeholders terkait pemilu menunjukkan perilaku yang tidak mendorong proses demokrasi. Pemilu dalam konteks demokrasi tak lain dimaksudkan untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif. Sedangkan salah satu isu krusial pilpres 2019 adalah politisasi birokrasi. Persoalannya, bagaimana menjadikan birokrasi tetap profesional, independen dan netral secara politik dalam pemilu. Harus diakui bahwa birokrasi sangat rentan dijadikan alat kepentingan politik. Keberpihakan birokrasi pada satu kekuatan politik tertentu akan menimbulkan kerawanan tersendiri. Setelah dua dekade berlalu, birokrasi Indonesia masih belum terbebas dari model birokrasi patrimonial, yakni sistem birokrasi yang bercirikan patron-client, sarat dengan power culture, moral hazard, dan safety first philosophy. Dalam sistem pemilu saat ini, bahkan, netralitas birokrasi sulit tercapai karena banyaknya penetrasi politik ke dalam birokrasi. Sebagai akibatnya, seusai pemilu/pilkada tidak sedikit pejabat yang jabatannya terancam.
Kepercayaan sebagian publik terhadap netralitas birokrasi minim, demikian juga terhadap penyelenggara pemilu dan institusi penegak hukum. Padahal trust building merupakan suatu keniscayaan dalam proses deepening democracy/ konsolidasi demokratisasi. Tumbuhnya rasa saling percaya di antara penyelenggara pemilu, parpol dan masyarakat menjadi syarat utama terbangunnya demokrasi yang berkualitas dan penopang terwujudnya stabilitas politik dan keamanan dalam masyarakat. Mereka cenderung constraining dan tidak concern dengan nilai-nilai demokrasi substansial, khususnya yang terkait dengan partisipasi genuine masyarakat, kualitias kompetisi, political equality, dan peningkatan political responsiveness. Pemilu 2019 yang kompleks, dengan tingkat kerumitan yang cukup tinggi dan hasilnya yang dipersoalkan menjadi pelajaran yang sangat berharga. Pemilu yang berkualitas memerlukan parpol dan koalisi parpol yang juga berkualitas. Ini penting karena pemilu tidak hanya merupakan sarana suksesi kepemimpinan yang aspiratif, adil dan damai, tapi juga menjadi taruhan bagi ketahanan sosial rakyat dan eksistensi NKRI. Tantangan yang cukup besar dalam menjalani pemilu serentak 2019 membuat konsolidasi demokrasi yang berkualitas sulit terbangun. Nilai-nilai demokrasi dalam pilpres tak cukup dikedepankan. Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif.