Kiriman dibuat oleh Natasya Bunga Nitara 2213053012

Nama : Natasya Bunga Nitara
Npm : 2213053012
Kelas : 2G

Berdasarkan Video tersebut dapat dianalisis bahwa pernyataan presiden joko widodo (3 oktober 2020) terkait pandemi di indonesia itu penting dalam situasi seperti ini jangan ada yang per polemik dan jangan ada yang membuat kegaduhan kegaduhan. Pernyataan jokowi terkait situasi pandemi ini dinilai muskli terpengaruh di dalam negara demokrasi. Selain karena demokrasi memfasilitasi silang pendapat demokrasi juga menjamin nih kebebasan untuk berpendapat. Adi Prayitno (Direktur Eksekutif Parameter Politik) Demokrasi itu pasti bising demokrasi itu pasti berisik. Demokrasi itu memang tempat orang berisik tempat orang ribut, yang penting ributnya masih dalam konteks. Koridor demokrasi yang prosedural, saya kira tidak ada persoalan. Dangan keberisikan itu bagaimana sistem ini jadi pilihan banyak negara? Alasan utamanya negara yang sistem demokrasi nya baik lebih mampu mempertahankan keamanan dan kemakmuran jangka panjang. Demokrasi juga dipandang sebagai alat paling efektif mewujudkan kesejahteraan, mengurangi konflik dan meningkatkan partisipasi publik. Dari segi penegakan HAM, misalnya negara yang menganut demokrasi memiliki skor penegakan ham yang lebih tinggi skor ham vs rezim politik pada 2015 ( Semakin ke atas semakin tinggi penegasan HAM. Semakin ke kanan, semakin demokratis). Warga di negara penganut demokrasi juga cenderung mempunyai angka harapan hidup yang tinggi. Angka harapan hidup vs Rezim politik pada 2015 (Semakin ke kanan semakin demokratis. Semakin ke atas, semakin tinggi angka harapan hidup).
Nama : Natasya Bunga Nitara
Npm : 2213053012
Kelas : 2G

A. Identitas Jurnal
Judul jurnal : Demokrasi Dan Pemilu Presiden 2019
Penulis : R. Siti Zuhro
Nama jurnal : Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tahun : 2019
Volume : 16
Halaman : 69-81
Nomor : 1
Kata kunci : Pendalaman Demokrasi, Pemilu Presiden, Politisasi Identitas, Pemerintahan Efektif, Membangun Kepercayaan.

B. Abstrak Jurnal
Pendalaman demokrasi belum terwujud dengan baik karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Pilpres 2019 belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum mampu pula membangun kepercayaan publik. Hal tersebut bisa dilihat dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil rekapitulasi pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Satu kandidat menolak hasil pemilu. Adalah jelas pilpres belum selesai. Sekarang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi penentu akhir hasil pilpres karena dua kandidat mengklaim sebagai pemenang pilpres.

C. Pendahuluan Jurnal
Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga
diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat. Ritual politik lima tahunan tersebut menarik untuk dilihat di tengah tingginya pro-kontra terkait kinerja pemerintah dan pentingnya semua pihak untuk selalu menjaga stabilitas sosial politik nasional dan keutuhan NKRI.

D. Pembahasan Jurnal
“Deepening Democracy dan Tantangannya”
Pendalaman demokrasi juga dapat dipandang sebagai upaya untuk merealisasikan pemerintahan yang efektif. Menurut Migdal (1988), negara dan masyarakat seharusnya saling bersinergi sehingga bisa saling memperkuat perannya masing-masing. Dengan kapasitasnya tersebut negara diharapkan mampu melakukan penetrasi ke dalam masyarakat, mengatur relasi sosial, mengambil sumber daya dan mengelolanya. Selain itu, negara juga harus mampu memberdayakan masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kontrol sosial.
“Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya”
Pemilu serentak 2019 adalah pemilu kelima pasca Orde Baru dan merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak dan beradab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pemilu serentak jauh lebih kompleks dan rumit, baik bagi penyelenggara pemilu, parpol, maupun rakyat. Ini juga merupakan pemilu yang paling gamang. Sebab, di satu sisi dengan adanya presidential threshold (PT) mereka harus berkoalisi dalam mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presidennya (cawapres), di sisi lain dalam saat yang bersamaan mereka juga harus berjuang secara sendiri-sendiri untuk merebut kursi legislatif.
“Politisasi Identitas: Berebut Suara Muslim”
Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima’ulama untuk mengusung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. hasil ijtima’, -yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang petahana- merekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama (pasangan capres-cawapres bertipe nasionalis- agamis). Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, berebut suara muslim merupakan hal yang logis dan selalu terjadi dalam setiap pemilu.
“Pemilu dan Kegagalan Parpol”
Dalam perkembangannya aktivitas parpol mewarnai pemerintahan dan parlemen. Perannya cenderung menguat dan berpengaruh signifikan terhadap peta politik Indonesia, meskipun pengaruhnya tidak seluruhnya positif. Pengalaman dari pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi relatif sama: perilaku distortif, melanggar hukum dan menghalalkan semua cara (vote buying). Tapi parpol sebagai peserta pemilu belum mampu merespon dan memberi solusi konkrit. Harapan rakyat pasca pemilu, mereka bisa menyaksikan kinerja pemerintah/parlemen yang lebih berpihak pada nasib rakyat. Karena pemilu diharapkan berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat.
“Pemilu dalam Masyarakat Plural”
Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokratis yang diharapkan dapat menjadikan legislator dan eksekutif menjadi lebih akuntabel di hadapan rakyat sebagaimana tuntutan demokrasi ideal. Pemilu juga signifikan untuk lebih mengenalkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang merupakan masyarakat heterogen.
“Pemilu dan Politisasi Birokrasi”
Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa berakibat pada lemahnya legitimasi kinerja pemerintah, penyelenggara pemilu dan hasilnya. Sejauh ini tataran empirik menunjukkan adanya tarikan politik, khususnya, dari penguasa terhadap birokrasi. Politisasi birokrasi makin tampak nyata dengan dijadikannya menteri-menteri, kepala- kepala lembaga, kepala-kepala daerah sebagai pemenangan paslon dalam pilpres. Artinya, birokrasi terlibat politik praktis tak hanya di pusat, tapi juga sampai ke daerah-daerah.

E. Penutup
Konsolidasi demokrasi di Indonesia cenderung fluktuatif dan belum berjalan secara regular karena pilar-pilar pentingnya (pemilu, partai politik, civil society, media massa) belum berfungsi efektif dan belum maksimal. Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Pemilu juga mensyaratkan unsur kejujuran, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Proses pendalaman demokrasi/konslidasi demokrasi memerlukan peran penting stakeholders terkait pemilu dan juga elemen- elemen kekuatan lainnya seperti civil society, elite/aktor, media massa dan medsos serta lembaga survey. Independensi, kedewasaan dan partisipasi kekuatan-kekuatan sosial (societal forces) tersebut sangat diperlukan.