Kiriman dibuat oleh Rika Nabila

Nama : Rika Nabila
NPM : 2212011239
Tugas 1
1. Pasal 1233 KUHPdt
“perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang.”

 Makna dari Pasal tersebut adalah bahwa tiap-tiap perikatan lahir karna dua sumber yaitu yang pertama perikatan lahir dari Undang-undang, kedua perikatan yang lahir karena dari persetujuan atau perjanjian.

2. Pasal 1235
“Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk kewajiban untuk menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada persetujuan tertentu; akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.”

 Makna dari Pasal tersebut adalah penyerahan suatu barang berarti penyerahan kekuasaan nyata atas suatu barang dari debitur kepada kreditur, misalnya:
dalam urusan penjualan, sewa guna usaha, subsidi, hipotek, hutang dan piutang.
 Dalam suatu perjanjian yang tujuannya untuk “melakukan sesuatu”, debitur harus melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang ditentukan dalam perjanjian.
 Dalam perjanjian “tidak berbuat apa-apa”, debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang diatur dalam perjanjian.

3. Pasal 1239
"Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat seuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibanya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga."

 Makna dari Pasal tersebut adalah hak menuntut pemenuhan perikatan, hak menuntut ganti rugi dan hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi

4. Pasal 1253
“Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.”

 Makna dari Pasal tersebut adalah adanya peristiwa (syarat) didalam perikatan tidak memerlukan pernyataan (tegas) dari para pihak. Sudah dianggap ada syarat dalam suatu perikatan, bila dari kedaan dan tujuan perikatan itu terlihat dan ternyata ada syarat itu. Syarat ini disebut “syarat diam.” (Badrulzaman, 1995:47)