Bagi yang ingin bertanya dan menjawab pertanyaan rekannya dipersilahkan
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Izin memperkenalkan diri, kami dari kelompok 4 yang beranggotakan :
1. Muaffah 2115012025
2. Adinda Artha Meisya Putri 2115012060
3. Marsyafita Shabrina 2115012037
4. Khansa Alivia Syajidah 2115012039
5. Ayattulloh Bhakti Nugroho 2115012030
6. Rizkia Diva Azzahra 2115012003
Akan membagikan hasil kerja kelompok kami dalam bentuk PPT dan Makalah. Untuk teman-teman jika ada yang ingin ditanyakan bisa bertanya di bawah ini. Terima kasih, Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Izin memperkenalkan diri, kami dari kelompok 4 yang beranggotakan :
1. Muaffah 2115012025
2. Adinda Artha Meisya Putri 2115012060
3. Marsyafita Shabrina 2115012037
4. Khansa Alivia Syajidah 2115012039
5. Ayattulloh Bhakti Nugroho 2115012030
6. Rizkia Diva Azzahra 2115012003
Akan membagikan hasil kerja kelompok kami dalam bentuk PPT dan Makalah. Untuk teman-teman jika ada yang ingin ditanyakan bisa bertanya di bawah ini. Terima kasih, Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Assalamualaikum wr.wb.
Perkenalkan saya Salwa Sekar Anjani dengan npm 2115012034 izin bertanya kepada kelompok 4.
Apa saja objek kajian ilmu hadist? Dan bagaimana periwayatan nya?
Sekian. Terima kasih
Perkenalkan saya Salwa Sekar Anjani dengan npm 2115012034 izin bertanya kepada kelompok 4.
Apa saja objek kajian ilmu hadist? Dan bagaimana periwayatan nya?
Sekian. Terima kasih
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, terima kasih salwa atas pertanyaannya. Saya Muaffah dengan NPM 2115012025 izin menjawab,
Kajian llmu Hadis secara garis besar ulama hadis mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah ( \’ilm al-QadIs riwayah) dan ilmu hadis dirayah ( \’ilm al-QadIs dirayah).
Ilmu Hadis Riwayah. Ilmu yang mempelajari cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi SAW. Objek kajiannya ialah hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya yang meliputi:
1) cara periwayatannya, yakni bagaimana cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain;
2) cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak mem-bicarakan kualitas sanad, sifat rawi, dan cacat yang terdapat pada matan dan lainnya.
Ilmu hadis riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam hal penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab (33) ayat 21 yang artinya:
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu ”
Ilmu Hadis Djrayah. Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain. Sasaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstem. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai dari sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.
Kajian llmu Hadis secara garis besar ulama hadis mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah ( \’ilm al-QadIs riwayah) dan ilmu hadis dirayah ( \’ilm al-QadIs dirayah).
Ilmu Hadis Riwayah. Ilmu yang mempelajari cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi SAW. Objek kajiannya ialah hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya yang meliputi:
1) cara periwayatannya, yakni bagaimana cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain;
2) cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak mem-bicarakan kualitas sanad, sifat rawi, dan cacat yang terdapat pada matan dan lainnya.
Ilmu hadis riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam hal penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab (33) ayat 21 yang artinya:
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu ”
Ilmu Hadis Djrayah. Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain. Sasaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstem. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai dari sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.
Terimakasih kepada kelompok empat yang telah memberikan materi.
Nama : Annisa salsabila
NPM : 2115012051
Izin bertanya, apa hukumnya memberikan dan menyebarkan Hadits palsu?
Apa tanggapan kalian mengenai hadis palsu yang telah menyebar namun memberikan dampak positif? misalnya: "Kebersihan itu sebagian dari keimanan". Itu saja, terimakasih.
Nama : Annisa salsabila
NPM : 2115012051
Izin bertanya, apa hukumnya memberikan dan menyebarkan Hadits palsu?
Apa tanggapan kalian mengenai hadis palsu yang telah menyebar namun memberikan dampak positif? misalnya: "Kebersihan itu sebagian dari keimanan". Itu saja, terimakasih.
baik terimakasih annisa atas pertanyaannya, izin menjawab
Berbicara atas nama Nabi, berbeda dengan berbicara atas nama orang lain pada umumnya. Begitu juga menyebarkan hadits lemah atau bahkan palsu berbeda hukum dengan menyebarkan berita dusta pada umumnya, meskipun kedua-duanya dihukumi terlarang dalam agama kita.
Jika ada seseorang mendapatkan broadcast hadits yang tidak jelas, penulisnya juga bukan orang yang terkenal hati-hati dalam hadits, sebaiknya tidak anda sebarkan. Meskipun dalam tulisan itu menyebutkan janji pahala besar bagi orang yang menyebarkannya.
Lebih baik diam tidak menyebarkannya, dari pada salah dalam menyebarkan. Meskipun anda bukan orang yang membuat hadis palsu itu, tapi anda juga dilarang untuk ikut menyebarkannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يَرَيْ أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Barang siapa menceritakan dariku suatu hadis yang dia ketahui kedustaannya, maka dia termasuk di antara dua pendusta.”
(HR. Muslim dalam al-Muqadimah, Ibnu Majah, no. 41, dan yang lainnya).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
(QS. Al Hujurat : 6).
Maka di setiap zaman fitnah, setiap muslim wajib belajar ilmu agama yang lurus, skala prioritas (setiap orang berbeda-beda, kadang ditentukan situasi dan kondisi), fokus beramal mana yang sudah diketahui ilmunya, jika tidak bisa, maka banyak bersabar dan menahan diri (tidak ikut nimbrung, & menjauhi segala macam pintu dan pemicu fitnah) sembari berdoa memohon petunjuk kepada Allah Yang Maha Kuasa.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ وَإِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةً فَاقْبِضْنِى إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُونٍ
Allahumma inni as-aluka fi’lal khoirat wa tarkal munkarat wa hubbal masakin. Wa idza arad-ta bi ‘ibaadika fitnatan, faq-bidh-nii ilaika ghaira maf-tuun.
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu taufiq untuk bisa mengamalkan semua kebaikan, meninggalkan semua kemungkaran, dan bisa mencintai orang miskin. Jika Engkau menghendaki untuk menimpakan ujian (fitnah) bagi hamba-hamba-Mu, maka wafatkanlah aku, tanpa terkena fitnah itu.”
Berbicara atas nama Nabi, berbeda dengan berbicara atas nama orang lain pada umumnya. Begitu juga menyebarkan hadits lemah atau bahkan palsu berbeda hukum dengan menyebarkan berita dusta pada umumnya, meskipun kedua-duanya dihukumi terlarang dalam agama kita.
Jika ada seseorang mendapatkan broadcast hadits yang tidak jelas, penulisnya juga bukan orang yang terkenal hati-hati dalam hadits, sebaiknya tidak anda sebarkan. Meskipun dalam tulisan itu menyebutkan janji pahala besar bagi orang yang menyebarkannya.
Lebih baik diam tidak menyebarkannya, dari pada salah dalam menyebarkan. Meskipun anda bukan orang yang membuat hadis palsu itu, tapi anda juga dilarang untuk ikut menyebarkannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يَرَيْ أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Barang siapa menceritakan dariku suatu hadis yang dia ketahui kedustaannya, maka dia termasuk di antara dua pendusta.”
(HR. Muslim dalam al-Muqadimah, Ibnu Majah, no. 41, dan yang lainnya).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
(QS. Al Hujurat : 6).
Maka di setiap zaman fitnah, setiap muslim wajib belajar ilmu agama yang lurus, skala prioritas (setiap orang berbeda-beda, kadang ditentukan situasi dan kondisi), fokus beramal mana yang sudah diketahui ilmunya, jika tidak bisa, maka banyak bersabar dan menahan diri (tidak ikut nimbrung, & menjauhi segala macam pintu dan pemicu fitnah) sembari berdoa memohon petunjuk kepada Allah Yang Maha Kuasa.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ وَإِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةً فَاقْبِضْنِى إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُونٍ
Allahumma inni as-aluka fi’lal khoirat wa tarkal munkarat wa hubbal masakin. Wa idza arad-ta bi ‘ibaadika fitnatan, faq-bidh-nii ilaika ghaira maf-tuun.
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu taufiq untuk bisa mengamalkan semua kebaikan, meninggalkan semua kemungkaran, dan bisa mencintai orang miskin. Jika Engkau menghendaki untuk menimpakan ujian (fitnah) bagi hamba-hamba-Mu, maka wafatkanlah aku, tanpa terkena fitnah itu.”
mohon maaf apabila ada kesalahan kata
Sebagai balasan Rizkia Diva Azzahra
Re: Diskusi
Assalamualaikum Wr.Wb. Terima kasih kelompok 4 atas pemaparan materinya.
Saya Rahmah Maziyah Ad-Dhuha dengan NPM 2115012059 izin bertanya,
Para ahli menyusun secara sistematis periode-periode pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis. Ada berapa tahapan dalam perkembangan hadis tersebut? dan apakah ada hadis yang sulit untuk diterima, sedangkan validitas sanadnya memenuhi standar keshahihan hadis? Terima kasih, Wassalamualaikum...
Saya Rahmah Maziyah Ad-Dhuha dengan NPM 2115012059 izin bertanya,
Para ahli menyusun secara sistematis periode-periode pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis. Ada berapa tahapan dalam perkembangan hadis tersebut? dan apakah ada hadis yang sulit untuk diterima, sedangkan validitas sanadnya memenuhi standar keshahihan hadis? Terima kasih, Wassalamualaikum...
Sebagai balasan Rahmah Maziyah Ad-Dhuha Rahmah Maziyah Ad-Dhuha
Re: Diskusi
Waalaikumsalam Wr.Wb. Terima kasih atas pertanyaannya, Rahma. Izin menjawab, tahap perkembangan ada 7, yaitu:
1. Tahap pertama: Kelahiran ilmu hadits
2. Tahap kedua: Tahap penyempurnaan
3. Tahap ketiga: Tahap pembukuan ilmu hadits secara terpisah
4. Tahap keempat: Penyusunan kitab-kitab induk ‘ulum al-Hadis dan penyebarannya
5. Tahap kelima: Kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘ulum al-Hadis
6. Tahap keenam: Masa kebekuan dan kejumudan
7. Tahap ketujuh: Kebangkitan kedua
Kemudian apakah ada hadis yang sulit untuk diterima, sedangkan validitas sanadnya memenuhi standar keshahihan hadis? Ada. Namun kembali lagi penelitian pada hadis perlu dilakukan penelitian secara berulang-ulang. Penelitian ulang merupakan bentuk upaya untuk mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitan ulama terhadap hadis yang mereka teliti, untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadis yang tidak memenuhi syarat jika dilihat dari segi kehujjahannya. Sebuah hadits dapat diterima periwayatannya apabila telah memenuhi standar/persyaratan-persyaratan tertentu sehingga hadits tersebut berpredikat. Para ulama hadits menetapkan pesyaratan dapat diterimanya sebuah hadits sebagai hadits-hadits absah dengan lima syarat. Lima syarat tersebut adalah :
1. Rangkaian sanad (periwayat hadits) yang bersambung. Dengan persyaratan ini maka tidak diterima hadits yang munqati, muaddal, mu’allaq, mursal, mudallas, dan mursal khafi
2. Hadits tersebut diriwayatkan oleh periwayat yang adil atau orang yang konsisten dalam menjalankan agamanya, berakhlak mulia, terpelihara dari sifat-sifat[23] fasiq dan dapat menjaga muru’ah. Dengan persyaratan ini, maka hdits matruk tidak dapat diterima
3. Hadits tersebut diriwayatkan oleh para periwayat yang dhabit yaitu memahami apa yang didengar dan menghafalnya ketika dibacakan hadits. Dia juga harus dapat menjaga hafalannya semenjak ia mendengar hadits tersebut dari gurunya (tahammul) sampai dia membacakannya kembali kepada orang lan (al-ada’). Seorang periwayat disebut hafiz dan ‘alim, apabila ia meriwayatkan hadits dari hafalannya. Seorang periwayat dikatakn fahim apabila ia meriwayatkan hadits dari pengertian dan pemahaman (ma’nawi). Seorang periwayat juga harus memelihara catatan haditsnya dari perubahan, baik mengurangi, menambah, mangganti atau menukar dari bentuk aslinya. Dengan persyaratan ini maka tidak diterima hadits yang mudraj dan maqlub
4. Tidak ada kejanggalan (syaz) dalam matan hadits. Pengertian syaz adalah periwayatan orang yang siqah bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih siqah (ausaq minhu)
5. Tidak ada kecacatan (illat) dalam matan hadits. Hadits mu’allal (yang ada cacatnya) adalah hadits yang dari luarnya tidak tampak adanya cacat, akn tetapi dapat diketahui setelah dilakukan penelitian yang mendalam. Seperti menganggap mursal hadits yang mausul, menganggap mausul hadits yang munqati atau menganggap marfu hadits yang mauquf.
Kurang lebih mohon maaf,
Terima kasih
1. Tahap pertama: Kelahiran ilmu hadits
2. Tahap kedua: Tahap penyempurnaan
3. Tahap ketiga: Tahap pembukuan ilmu hadits secara terpisah
4. Tahap keempat: Penyusunan kitab-kitab induk ‘ulum al-Hadis dan penyebarannya
5. Tahap kelima: Kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘ulum al-Hadis
6. Tahap keenam: Masa kebekuan dan kejumudan
7. Tahap ketujuh: Kebangkitan kedua
Kemudian apakah ada hadis yang sulit untuk diterima, sedangkan validitas sanadnya memenuhi standar keshahihan hadis? Ada. Namun kembali lagi penelitian pada hadis perlu dilakukan penelitian secara berulang-ulang. Penelitian ulang merupakan bentuk upaya untuk mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitan ulama terhadap hadis yang mereka teliti, untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadis yang tidak memenuhi syarat jika dilihat dari segi kehujjahannya. Sebuah hadits dapat diterima periwayatannya apabila telah memenuhi standar/persyaratan-persyaratan tertentu sehingga hadits tersebut berpredikat. Para ulama hadits menetapkan pesyaratan dapat diterimanya sebuah hadits sebagai hadits-hadits absah dengan lima syarat. Lima syarat tersebut adalah :
1. Rangkaian sanad (periwayat hadits) yang bersambung. Dengan persyaratan ini maka tidak diterima hadits yang munqati, muaddal, mu’allaq, mursal, mudallas, dan mursal khafi
2. Hadits tersebut diriwayatkan oleh periwayat yang adil atau orang yang konsisten dalam menjalankan agamanya, berakhlak mulia, terpelihara dari sifat-sifat[23] fasiq dan dapat menjaga muru’ah. Dengan persyaratan ini, maka hdits matruk tidak dapat diterima
3. Hadits tersebut diriwayatkan oleh para periwayat yang dhabit yaitu memahami apa yang didengar dan menghafalnya ketika dibacakan hadits. Dia juga harus dapat menjaga hafalannya semenjak ia mendengar hadits tersebut dari gurunya (tahammul) sampai dia membacakannya kembali kepada orang lan (al-ada’). Seorang periwayat disebut hafiz dan ‘alim, apabila ia meriwayatkan hadits dari hafalannya. Seorang periwayat dikatakn fahim apabila ia meriwayatkan hadits dari pengertian dan pemahaman (ma’nawi). Seorang periwayat juga harus memelihara catatan haditsnya dari perubahan, baik mengurangi, menambah, mangganti atau menukar dari bentuk aslinya. Dengan persyaratan ini maka tidak diterima hadits yang mudraj dan maqlub
4. Tidak ada kejanggalan (syaz) dalam matan hadits. Pengertian syaz adalah periwayatan orang yang siqah bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih siqah (ausaq minhu)
5. Tidak ada kecacatan (illat) dalam matan hadits. Hadits mu’allal (yang ada cacatnya) adalah hadits yang dari luarnya tidak tampak adanya cacat, akn tetapi dapat diketahui setelah dilakukan penelitian yang mendalam. Seperti menganggap mursal hadits yang mausul, menganggap mausul hadits yang munqati atau menganggap marfu hadits yang mauquf.
Kurang lebih mohon maaf,
Terima kasih
Terimakasih atas presentasinya untuk kelompok 4, Assalamualaikum wr wb,Perkenalkan saya Gyan Rakhmanda NPM 2155012006 ,Izin bertanya
Di zaman sekarang Hadist sudah bisa dicari di berbagai internet,Bagaimana cara kita membedakan hadist yang palsu/bukan hadist dan yang asli
Sekian,terimakasih.
Di zaman sekarang Hadist sudah bisa dicari di berbagai internet,Bagaimana cara kita membedakan hadist yang palsu/bukan hadist dan yang asli
Sekian,terimakasih.
baik terimaksih gyan atas pertanyaannya, izin menjawab
menurut website islam.nu.or.id
Apapun motifnya, menyampaikan hadits palsu, apalagi membuatnya, tidak dibolehkan dalam Islam karena Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, kelak posisinya di neraka,” (HR Ibnu Majah). Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang menyampaikan informasi tentangku padahal dia mengetahui informasi itu bohong, maka dia termasuk pembohong,” (HR Muslim). Mahmud Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits menjelaskan dua cara pemalsu hadits beroperasi. Kedua cara tersebut adalah: إما أن ينشء الوضاع الكلام من عنده، ثم يضع له إسنادا ويرويه وإما أن يأخذ كلاما لبعض الحكماء أو غيرهم ويضع له إسنادا Artinya, “Adakalanya pemalsu hadits membuat redaksi hadits sendiri, kemudian memalsukan sanad dan meriwayatkannya. Terkadang dengan cara mengambil kata-kata bijak dari orang lain, kemudian membuat sanadnya.” Menurut Mahmud Thahan ada empat cara yang bisa digunakan untuk mengetahui hadits itu shahih atau bukan. Keempat cara tersebut adalah sebagai berikut:
Apapun motifnya, menyampaikan hadits palsu, apalagi membuatnya, tidak dibolehkan dalam Islam karena Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, kelak posisinya di neraka,” (HR Ibnu Majah). Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang menyampaikan informasi tentangku padahal dia mengetahui informasi itu bohong, maka dia termasuk pembohong,” (HR Muslim). Mahmud Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits menjelaskan dua cara pemalsu hadits beroperasi. Kedua cara tersebut adalah: إما أن ينشء الوضاع الكلام من عنده، ثم يضع له إسنادا ويرويه وإما أن يأخذ كلاما لبعض الحكماء أو غيرهم ويضع له إسنادا Artinya, “Adakalanya pemalsu hadits membuat redaksi hadits sendiri, kemudian memalsukan sanad dan meriwayatkannya. Terkadang dengan cara mengambil kata-kata bijak dari orang lain, kemudian membuat sanadnya.” Menurut Mahmud Thahan ada empat cara yang bisa digunakan untuk mengetahui hadits itu shahih atau bukan. Keempat cara tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pengakuan dari pemalsu hadits itu sendiri. Misalnya, Abu ‘Ismah Nuh bin Abu Maryam pernah mengaku bahwa ia permah memalsukan hadits terkait keutamaan berapa surat dalam Al-Qur’an. Hadits palsu ini ia sandarkan kepada sahabat Ibnu Abbas RA.
Kedua, menelusuri tahun kelahiran orang yang meriwayatkan hadits dengan tahun wafat gurunya yang disebutkan dalam silsilah sanad. Kalau perawi hadits itu lahir setelah wafat gurunya, maka hadits tersebut bisa dikategorikan hadits palsu karena tidak mungkin keduanya bertemu.
Ketiga, melihat ideologi perawi hadits. Sebagian perawi hadits ada yang fanatik dengan aliran teologi yang dianutnya. Misalnya, perawi hadits Rafidhah yang sangat fanatik dengan ideologinya, maka hadits-hadits yang disampaikannya terkait keutamaan ahlul bait perlu ditelusuri kebenarannya.
Keempat, memahami kandungan matan hadits dan rasa bahasanya. Biasanya hadits palsu secara tata bahasa tidak bagus dan terkadang maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an
mohon maaf apabila ada kesalahan kata
Baik Terimakasih banyak atas jawabannya sudah sangat menjawab.
Waalaikumsalam Wr. Wb. Saudara Gyan, Pekenalkan saya Ayattulloh Bhakti Nugroho, saya merupakan perwakilan dari kelompok 4, izin menjawab pertanyaan Saudara.
Memang di zaman sekarang ini semua serba mudah dan praktis, namun dibalik kemudahan itu terdapat pula kemudahan untuk berbuat jahat dan merugikan orang lain, salah satunya adalah berdusta untuk menyesatkan kita semua. maka dari itu kita sebagai generasi muda dan kuat, sudah seharusnya dapat memilah mana yang baik dan mana yang buruk walaupun sudah banyak keburukan yang dibungkus dengan kebaikan agar kita terkecoh. berikut langkah-langkah untuk mengetahui mana hadits shahih, hasan, dan mana hadits lemah apalagi palsu.
1. Jika suatu hadits tidak disebutkan info pen-takhrijnya (yaitu: tidak ada keterangan hadits riwayat…) maka jangan sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya kepada ahli ilmu mengenai status haditsnya.
2. Jika suatu hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (dalam Shahih Bukhari) atau Imam Muslim (dalam Shahih Muslim), atau keduanya, maka yakinilah itu adalah hadits yang shahih.
3. Jika suatu hadits bukan diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari juga bukan Imam Muslim, maka lihatlah:
Apakah ada keterangan penilaian shahih-dha’if dari ulama hadits? Jika tidak ada, maka jangan sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya kepada ahli ilmu mengenai status haditsnya.
4. Jika ada keterangan shahih-dha’if dari ulama hadits semisal: Ibnu Hajar Al Asqalani, An Nawawi, Al Haitsami, Al Mundziri, Ad Daruquthni, Ibnu Taimiyah, Adz Dzahabi, Ibnu Katsir, Syu’aib Al Arnauth, Ahmad Syakir, Muqbil bin Hadi, Al Albani, Ibnu Baz, dll, maka peganglah penilaian mereka.
5. Jika yang suatu hadits tidak disebutkan info pentakhrij-nya atau disebutkan info pentakhrij-nya namun tidak disebutkan info shahih-dhaif-nya, namun yang membawakan atau menyebutkan hadits adalah seorang ulama atau da’i atau ustadz yang dikenal selektif dalam berhujjah hanya dengan hadits yang shahih, maka peganglah hadits tersebut.
Lanjutan poin 4, jika yang membawakan hadits adalah orang yang bermudah-mudah dalam membawakan hadits, atau sering menggunakan hadits dhaif bahkan palsu, maka jangan sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya kepada ahli ilmu mengenai status haditsnya.
Untuk lebih jelasnya lagi, silahkan saudara bisa menonton video ceramah tentang hadits yang disampaikan oleh Ustad Adi Hidayat, Ustad Abdul Somad, dan Gus Ahmad Bahauddin Nursalim atau dikenal gus baha. Terima kasih atas pertanyaannya, semoga dapat membantu.
Memang di zaman sekarang ini semua serba mudah dan praktis, namun dibalik kemudahan itu terdapat pula kemudahan untuk berbuat jahat dan merugikan orang lain, salah satunya adalah berdusta untuk menyesatkan kita semua. maka dari itu kita sebagai generasi muda dan kuat, sudah seharusnya dapat memilah mana yang baik dan mana yang buruk walaupun sudah banyak keburukan yang dibungkus dengan kebaikan agar kita terkecoh. berikut langkah-langkah untuk mengetahui mana hadits shahih, hasan, dan mana hadits lemah apalagi palsu.
1. Jika suatu hadits tidak disebutkan info pen-takhrijnya (yaitu: tidak ada keterangan hadits riwayat…) maka jangan sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya kepada ahli ilmu mengenai status haditsnya.
2. Jika suatu hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (dalam Shahih Bukhari) atau Imam Muslim (dalam Shahih Muslim), atau keduanya, maka yakinilah itu adalah hadits yang shahih.
3. Jika suatu hadits bukan diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari juga bukan Imam Muslim, maka lihatlah:
Apakah ada keterangan penilaian shahih-dha’if dari ulama hadits? Jika tidak ada, maka jangan sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya kepada ahli ilmu mengenai status haditsnya.
4. Jika ada keterangan shahih-dha’if dari ulama hadits semisal: Ibnu Hajar Al Asqalani, An Nawawi, Al Haitsami, Al Mundziri, Ad Daruquthni, Ibnu Taimiyah, Adz Dzahabi, Ibnu Katsir, Syu’aib Al Arnauth, Ahmad Syakir, Muqbil bin Hadi, Al Albani, Ibnu Baz, dll, maka peganglah penilaian mereka.
5. Jika yang suatu hadits tidak disebutkan info pentakhrij-nya atau disebutkan info pentakhrij-nya namun tidak disebutkan info shahih-dhaif-nya, namun yang membawakan atau menyebutkan hadits adalah seorang ulama atau da’i atau ustadz yang dikenal selektif dalam berhujjah hanya dengan hadits yang shahih, maka peganglah hadits tersebut.
Lanjutan poin 4, jika yang membawakan hadits adalah orang yang bermudah-mudah dalam membawakan hadits, atau sering menggunakan hadits dhaif bahkan palsu, maka jangan sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya kepada ahli ilmu mengenai status haditsnya.
Untuk lebih jelasnya lagi, silahkan saudara bisa menonton video ceramah tentang hadits yang disampaikan oleh Ustad Adi Hidayat, Ustad Abdul Somad, dan Gus Ahmad Bahauddin Nursalim atau dikenal gus baha. Terima kasih atas pertanyaannya, semoga dapat membantu.
Baik,Terimakasih banyak ayat atas jawabannya sudah sangat jelas.
Terima kasih kelompok 4 atas paparan materi yang telah disampaikan. Saya Anggun Waliya Salma Hani NPM 2115012056, izin bertanya. Terdapat hadis yang melarang manusia terkhusus umat islam untuk menggambar makhluk hidup, baik secara 3 dimensi seperti 2 dimensi. Bagaimana pendapat kalian mengenai hal tersebut sebagai seorang mahasiswa arsitektur?
Sebagai balasan Anggun Waliya Salma Hani_2115012056
Re: Diskusi
Baik Anggu, terima kasih pertanyaanya. Saya Adinda Artha M.P. izin menjawab
Pada asalnya tashwir (menggambar) segala hal yang memiliki nyawa, baik manusia maupun hewan, hukumnya haram. Baik itu dalam bentuk ukiran patung (3 dimensi) maupun yang digambar di kertas, kain, dinding atau semisalnya (2 dimensi). Berdasarkan hadits-hadits yang shahih tentang larangan perbuatan tersebut dan adanya ancaman bagi pelakunya dengan azab yang keras.
Selain itu juga pada jenis gambar tertentu, dikhawatirkan menjadi sarana menuju kesyirikan terhadap Allah. Yaitu seseorang merendahkan diri di depan gambar tersebut, dan bert-taqarrub kepadanya, dan mengagungkan gambar tersebut dengan pengagungan yang tidak layak kecuali kepada Allah Ta’ala.
Selain itu juga, terdapat unsur menandingi ciptaan Allah. Selain itu juga sebagian gambar dapat menimbulkan fitnah (keburukan), seperti gambar selebriti, gambar wanita yang tidak berpakaian, model terkenal, atau semacam itu.
Dan hadits-hadits yang menyatakan tentang keharaman hal ini menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah dosa besar.
Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ الَّذينَ يصنَعونَ هذِه الصُّوَرَ يعذَّبونَ يومَ القيامةِ ، يقالُ لَهم : أحيوا ما خلقتُمْ
“orang yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa), akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi menurut Hadits tersebut, melarang menggambar semua yang memiliki ruh secara mutlak. Adapun gambar yang tidak memiliki ruh, seperti pohon, laut, gunung, dan semisalnya boleh untuk digambar, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma.
Dan tidak diketahui ada diantara para sahabat yang mengingkari pernyataan Ibnu Abbas tersebut.
Dan tidak ada para sahabat yang mengingkari (gambar yang tidak bernyawa) ketika mereka memahami hadits “hidupkanlah apa yang kalian buat ini” dan juga hadits “ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya”.
Jadi seorang mahasiswa arsitektur tetap bisa menggambar karena kita hanya fokus untuk menggambar bangunan, karena bangunan adalah suatu hal yang tidak bernyawa.
Pada asalnya tashwir (menggambar) segala hal yang memiliki nyawa, baik manusia maupun hewan, hukumnya haram. Baik itu dalam bentuk ukiran patung (3 dimensi) maupun yang digambar di kertas, kain, dinding atau semisalnya (2 dimensi). Berdasarkan hadits-hadits yang shahih tentang larangan perbuatan tersebut dan adanya ancaman bagi pelakunya dengan azab yang keras.
Selain itu juga pada jenis gambar tertentu, dikhawatirkan menjadi sarana menuju kesyirikan terhadap Allah. Yaitu seseorang merendahkan diri di depan gambar tersebut, dan bert-taqarrub kepadanya, dan mengagungkan gambar tersebut dengan pengagungan yang tidak layak kecuali kepada Allah Ta’ala.
Selain itu juga, terdapat unsur menandingi ciptaan Allah. Selain itu juga sebagian gambar dapat menimbulkan fitnah (keburukan), seperti gambar selebriti, gambar wanita yang tidak berpakaian, model terkenal, atau semacam itu.
Dan hadits-hadits yang menyatakan tentang keharaman hal ini menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah dosa besar.
Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ الَّذينَ يصنَعونَ هذِه الصُّوَرَ يعذَّبونَ يومَ القيامةِ ، يقالُ لَهم : أحيوا ما خلقتُمْ
“orang yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa), akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi menurut Hadits tersebut, melarang menggambar semua yang memiliki ruh secara mutlak. Adapun gambar yang tidak memiliki ruh, seperti pohon, laut, gunung, dan semisalnya boleh untuk digambar, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma.
Dan tidak diketahui ada diantara para sahabat yang mengingkari pernyataan Ibnu Abbas tersebut.
Dan tidak ada para sahabat yang mengingkari (gambar yang tidak bernyawa) ketika mereka memahami hadits “hidupkanlah apa yang kalian buat ini” dan juga hadits “ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya”.
Jadi seorang mahasiswa arsitektur tetap bisa menggambar karena kita hanya fokus untuk menggambar bangunan, karena bangunan adalah suatu hal yang tidak bernyawa.
terima kasih anggun atas pertanyaannya, izin menjawab
Dalam hal ini lebih akurat jika diarahkan pada kasus orang yang sengaja menggambar dengan tujuan menyaingi Allah Swt dan kemudian merasa sepadan dengan-Nya. Tentu ini adalah sikap yang salah dan tersesat.
Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Pelukis akan mendapat siksa yang teramat pedih kelak di akhirat”
hadist ini lebih tepat diarahkan kepada pelukis atau pemahat patung yang dari hasil kreasinya kemudian dijadikan sebagai sesembahannya. Kalau konteksnya demikian, wajar kalau mereka berdua diazab dengan sangat pedih sebagaimana siksa untuk orang yang syirik. Dahulu kala melukis/menggambar memang menjadi rutinitas orang jahiliyah. Mereka rutin karena masa depan tuhan ditentukan oleh tangannya sendiri. Tuhan mereka ciptakan sendiri, kemudian disembah sendiri. Mereka sangat terampil mengimajinasikan bentuk tuhannya dalam bentuk lukisan dan patung.
Bisa saja dahulu nabi melarang rutinitas ini karena kondisi iman para sahabat masih sangat lemah. Nabi kemudian melarangnnya sebagai bentuk tindakan preventif.
menurut saya sebagai mahasiswa arsitektur, menggambar makhluk/manusia diharamkan jika memiliki tujuan ingin menandingi ciptaan Allah SWT, tetapi jika tujuannya untuk belajar demi menempuh ilmu mungkin tidaklah haram, karena Allah mencintai orang yang berilmu dan mendorong manusia untuk mencarinya di mana pun itu berada dan dari siapa pun atau apa pun. Disebutkan, Allah meninggikan derajat orang berilmu be be ra pa derajat dibanding orang tak berilmu (QS al-Mujadalah [58]: 11).
Dalam hal ini lebih akurat jika diarahkan pada kasus orang yang sengaja menggambar dengan tujuan menyaingi Allah Swt dan kemudian merasa sepadan dengan-Nya. Tentu ini adalah sikap yang salah dan tersesat.
Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Pelukis akan mendapat siksa yang teramat pedih kelak di akhirat”
hadist ini lebih tepat diarahkan kepada pelukis atau pemahat patung yang dari hasil kreasinya kemudian dijadikan sebagai sesembahannya. Kalau konteksnya demikian, wajar kalau mereka berdua diazab dengan sangat pedih sebagaimana siksa untuk orang yang syirik. Dahulu kala melukis/menggambar memang menjadi rutinitas orang jahiliyah. Mereka rutin karena masa depan tuhan ditentukan oleh tangannya sendiri. Tuhan mereka ciptakan sendiri, kemudian disembah sendiri. Mereka sangat terampil mengimajinasikan bentuk tuhannya dalam bentuk lukisan dan patung.
Bisa saja dahulu nabi melarang rutinitas ini karena kondisi iman para sahabat masih sangat lemah. Nabi kemudian melarangnnya sebagai bentuk tindakan preventif.
menurut saya sebagai mahasiswa arsitektur, menggambar makhluk/manusia diharamkan jika memiliki tujuan ingin menandingi ciptaan Allah SWT, tetapi jika tujuannya untuk belajar demi menempuh ilmu mungkin tidaklah haram, karena Allah mencintai orang yang berilmu dan mendorong manusia untuk mencarinya di mana pun itu berada dan dari siapa pun atau apa pun. Disebutkan, Allah meninggikan derajat orang berilmu be be ra pa derajat dibanding orang tak berilmu (QS al-Mujadalah [58]: 11).
assalamualaikum wr wb, sebelumnya terima kasih kepada kelompok 4 atas penjelasaannya. Saya humayra adelia latifa npm 2115012018 izin bertanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada sekelompok umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.” dari hadist tersebut sudah kita tau bahwa alat musik diharamkan, lalu mengapa wali songo seperti sunan bonang dan sunan kalijaga menggunakan alat musik dengan gamelannya? Terima Kasih
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada sekelompok umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.” dari hadist tersebut sudah kita tau bahwa alat musik diharamkan, lalu mengapa wali songo seperti sunan bonang dan sunan kalijaga menggunakan alat musik dengan gamelannya? Terima Kasih
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, terima kasih humayra atas pertanyaannya, saya Muaffah dengan NPM 2115012025 izin menjawab,
pertama, musik menjadi haram jika mengandung unsur kemungkaran maupun kemaksiatan. Ulama mempermasalahkan sisi kemaksiatan yang melekat pada musik tersebut sehingga musik pun menjadi haram.
Bentuk kemaksiatan pada musik bisa ada di lirik atau alunan lagunya sendiri. Misalnya bila lagu tersebut mengajak berbuat kemaksiatan.
Musik juga mengandung kemaksiatan jika umpamanya irama lagu yang dinyanyikan seperti musik ritual peribadatan agama tertentu. Dalam kondisi ini musik menjadi haram, sebab, seorang Muslim dilarang meniru ritual ibadah agama lain.
Kemaksiatan lain yang melekat pada musik bisa juga ada pada orang yang menyanyikan. Misalnya dia menampilkan aurat padahal syariat Islam memerintahkan untuk menutup aurat. Atau, si penyanyi melakukan gerakan-gerakan tidak senonoh dan melampaui batas. Pada intinya, jika suatu musik mengandung kemaksiatan, haram.
Kedua, haramnya musik lantaran terdapat fitnah yang berarti keburukan di dalamnya. Artinya, jika musik itu bisa membuat seorang Muslim jatuh pada keburukan, dosa, dan menimbulkan fitnah, maka haram mendengarkannya.
Ketiga, musik menjadi haram bila membuat orang yang mendengarnya meninggalkan kewajiban sebagai Muslim. Seorang Muslim punya kewajiban yang harus dilakukan sebagai hamba Allah. Dan segala hal yang menghalanginya melakukan kewajiban itu wajib dihindari.
namun para wali songo menggunakan alat musik untuk memperjuangkan penyebaran agama islam, terutama Sunan Bonang, selalu memasukkan unsur permainan dan kesenian yang tidak membuat masyarakat jenuh.
Unsur-unsur permainan dan kesenian yang dibawakan Wali Songo memang sederhana. Namun, memiliki nilai dan arti yang serat dengan pesan moral dan etika syar'i yang memiliki multidimensi, baik spiritual maupun sosial.
Kesenian, semisal wayang, gamelan, suluk, dan jelungan, misalnya, pada akhirnya menjadi defusi penyebaran kebudayaan yang diterima dengan cepat oleh masyarakat setempat.
pertama, musik menjadi haram jika mengandung unsur kemungkaran maupun kemaksiatan. Ulama mempermasalahkan sisi kemaksiatan yang melekat pada musik tersebut sehingga musik pun menjadi haram.
Bentuk kemaksiatan pada musik bisa ada di lirik atau alunan lagunya sendiri. Misalnya bila lagu tersebut mengajak berbuat kemaksiatan.
Musik juga mengandung kemaksiatan jika umpamanya irama lagu yang dinyanyikan seperti musik ritual peribadatan agama tertentu. Dalam kondisi ini musik menjadi haram, sebab, seorang Muslim dilarang meniru ritual ibadah agama lain.
Kemaksiatan lain yang melekat pada musik bisa juga ada pada orang yang menyanyikan. Misalnya dia menampilkan aurat padahal syariat Islam memerintahkan untuk menutup aurat. Atau, si penyanyi melakukan gerakan-gerakan tidak senonoh dan melampaui batas. Pada intinya, jika suatu musik mengandung kemaksiatan, haram.
Kedua, haramnya musik lantaran terdapat fitnah yang berarti keburukan di dalamnya. Artinya, jika musik itu bisa membuat seorang Muslim jatuh pada keburukan, dosa, dan menimbulkan fitnah, maka haram mendengarkannya.
Ketiga, musik menjadi haram bila membuat orang yang mendengarnya meninggalkan kewajiban sebagai Muslim. Seorang Muslim punya kewajiban yang harus dilakukan sebagai hamba Allah. Dan segala hal yang menghalanginya melakukan kewajiban itu wajib dihindari.
namun para wali songo menggunakan alat musik untuk memperjuangkan penyebaran agama islam, terutama Sunan Bonang, selalu memasukkan unsur permainan dan kesenian yang tidak membuat masyarakat jenuh.
Unsur-unsur permainan dan kesenian yang dibawakan Wali Songo memang sederhana. Namun, memiliki nilai dan arti yang serat dengan pesan moral dan etika syar'i yang memiliki multidimensi, baik spiritual maupun sosial.
Kesenian, semisal wayang, gamelan, suluk, dan jelungan, misalnya, pada akhirnya menjadi defusi penyebaran kebudayaan yang diterima dengan cepat oleh masyarakat setempat.
Assalamualaikum, sebumnya izin memperkenalkan diri nama saya Frisca Anandita Alan 2115012058 ingin bertanya. Saya banyak mendengar jika kita meninggalkan shalat fardhu(wajib) yang sudah lama ditinggalkan/pada tahun-tahun sebelumnnya. Bisa diganti dengan melakukan shalat sunnah. Apakah itu benar? Jika iya mohon penjelasannya. Terima kasih
Sebagai balasan Frisca Anandita Alan Frisca Anandita Alan
Re: Diskusi
oleh Ayattulloh Bhakti Nugroho -
waalaikumsalam frisca. Perkenalkan saya Ayattulloh Bhakti Nugroho dengan NPM 2115012030, saya merupakan anggota dari kelompok 4. Izin menjawab pertanyaan,
Meninggalkan shalat adalah perbuatan yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam, sehingga status orang tersebut adalah KAFIR, menurut pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Pendapat ini didukung oleh dalil-dalil tegas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Berdasarkan hal ini, kembalinya dirimu ke dalam Islam (dengan melaksanakan shalat), telah menghapus (dosa) yang telah lalu, sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu” (QS. Al-Anfal [8]: 38).
Kedua: Barangsiapa yang meninggalkan satu jenis ibadah yang sudah ditentukan waktunya, sampai keluar dari waktu yang sudah ditentukan tersebut (sampai batas waktunya berahir, pen.), tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan oleh syariat (tanpa udzur syar’i), kemudian dia bertaubat, maka dia tidak perlu meng-qadha’ ibadah yang telah dia tinggalkan tersebut.
Hal ini karena ibadah yang ditentukan waktunya tersebut, sudah dibatasi waktu awal dan waktu akhir untuk melaksanakannya. Telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amal tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).
Hal ini juga tidak bisa disanggah dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa (tidak) mengerjakan shalat (sampai waktunya habis), maka shalatlah ketika sudah ingat” (HR. Bukhari no. 597).
(Tidak pula bisa disanggah) dengan firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
Karena penundaan (qadha’) pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut (sehingga dilaksanakan di luar waktu yang sudah ditentukan) adalah karena udzur syar’i. Mengganti (qadha’) ibadah di luar waktunya karena ada udzur syar’i itu dinilai sama dengan melaksanakan ibadah tersebut pada waktunya dalam hal ganjaran dan pahala.
Berdasarkan penjelasan ini, seseorang yang tidak sholat selama 3 tahun tidak perlu mengganti shalat yang telah ditinggalkan selama tiga tahun tersebut.
Meninggalkan shalat adalah perbuatan yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam, sehingga status orang tersebut adalah KAFIR, menurut pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Pendapat ini didukung oleh dalil-dalil tegas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Berdasarkan hal ini, kembalinya dirimu ke dalam Islam (dengan melaksanakan shalat), telah menghapus (dosa) yang telah lalu, sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu” (QS. Al-Anfal [8]: 38).
Kedua: Barangsiapa yang meninggalkan satu jenis ibadah yang sudah ditentukan waktunya, sampai keluar dari waktu yang sudah ditentukan tersebut (sampai batas waktunya berahir, pen.), tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan oleh syariat (tanpa udzur syar’i), kemudian dia bertaubat, maka dia tidak perlu meng-qadha’ ibadah yang telah dia tinggalkan tersebut.
Hal ini karena ibadah yang ditentukan waktunya tersebut, sudah dibatasi waktu awal dan waktu akhir untuk melaksanakannya. Telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amal tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).
Hal ini juga tidak bisa disanggah dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa (tidak) mengerjakan shalat (sampai waktunya habis), maka shalatlah ketika sudah ingat” (HR. Bukhari no. 597).
(Tidak pula bisa disanggah) dengan firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
Karena penundaan (qadha’) pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut (sehingga dilaksanakan di luar waktu yang sudah ditentukan) adalah karena udzur syar’i. Mengganti (qadha’) ibadah di luar waktunya karena ada udzur syar’i itu dinilai sama dengan melaksanakan ibadah tersebut pada waktunya dalam hal ganjaran dan pahala.
Berdasarkan penjelasan ini, seseorang yang tidak sholat selama 3 tahun tidak perlu mengganti shalat yang telah ditinggalkan selama tiga tahun tersebut.
Assalamualaikum wr. wb.
Nama saya Muhammad Tulus Tirta (2115012054)
Bagaimanakah cara kita sebagai umat Islam yang beriman mengatasai pendapat orang-orang di luar Islam yang menyatakan bahwa "tidak semua perbuatan dan perkataan beliau (Muhammad Saw.) benar karena dia juga seorang manusia biasa" dan bagaimanakah cara agar kita tetap bisa menjunjung tinggi Sunnah Nabi Muhammad Saw.
Terima Kasih
Nama saya Muhammad Tulus Tirta (2115012054)
Bagaimanakah cara kita sebagai umat Islam yang beriman mengatasai pendapat orang-orang di luar Islam yang menyatakan bahwa "tidak semua perbuatan dan perkataan beliau (Muhammad Saw.) benar karena dia juga seorang manusia biasa" dan bagaimanakah cara agar kita tetap bisa menjunjung tinggi Sunnah Nabi Muhammad Saw.
Terima Kasih
Walaikumsalam Wr. Wb. Terima kasih Saudara Tulus atas pertanyaannya. Perkenalkan saya Ayattulloh Bhakti Nugroho dengan NPM 2115012030 izin menjawab pertanyaan Saudara.
Kita sebagai seorang muslim sudah seharusnya meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rosul yang membawa wahyu terakhir sebagai penutup dan penyempurna sebelum-sebelumnya. Maka dari itu jika ada orang di luar islam yang menyatakan hal tersebut, itu adalah sebuah ujian untuk diri kita.
Allah berfirman dalam surat al Kafirun,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS Al Kafirun: 6)
Dan Allah berfirman dalam surah Al-Kahfi:
فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir (QS Al Kahfi: 29).
Dan Nabi Shallalalhu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن حَدَّثَ عني بحديثٍ وهو يرى أنه كذبٌ فهو أحدُ الكاذبين
“Barangsiapa menyampaikan hadits dariku, dan ia menyangka hadits tersebut dusta, maka ia salah satu dari dua pendusta.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim, At Tirmidzi no. 2662).
Terima Kasih, mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penyampaiannya. Semoga dapat membantu.
Kita sebagai seorang muslim sudah seharusnya meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rosul yang membawa wahyu terakhir sebagai penutup dan penyempurna sebelum-sebelumnya. Maka dari itu jika ada orang di luar islam yang menyatakan hal tersebut, itu adalah sebuah ujian untuk diri kita.
Allah berfirman dalam surat al Kafirun,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS Al Kafirun: 6)
Dan Allah berfirman dalam surah Al-Kahfi:
فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir (QS Al Kahfi: 29).
Dan Nabi Shallalalhu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن حَدَّثَ عني بحديثٍ وهو يرى أنه كذبٌ فهو أحدُ الكاذبين
“Barangsiapa menyampaikan hadits dariku, dan ia menyangka hadits tersebut dusta, maka ia salah satu dari dua pendusta.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim, At Tirmidzi no. 2662).
Terima Kasih, mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penyampaiannya. Semoga dapat membantu.
Sebagai balasan muhisom M.Pd.I
Re: Diskusi
Assalammualaikum Wr.wb sebelumnya izin memperkenalkan diri saya Assyfa Widiastuti Putri Riyadi NPM (2115012011) Terima kasih kepada kelompok 4 yang telah memaparkan materi, izin bertanya Mengenai kedudukan sunnah dan hadis dalam Al Qur'an dan apakah manfaat sunnah jika kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, Terima kasih sebelumnya.
Sebagai balasan Assyfa Widiastuti Putri Riyadi Assyfa Widiastuti Putri Riyadi
Re: Diskusi
Waalaikumsalam Wr.Wb
Terima kasih atas pertanyaannya. Izin menjawab, benar. Hadits atau sunnah memiliki posisi penting dalam Islam, yaitu sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Beberapa sunnah yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari seperti makan dan minum sambil duduk agar pencernaan lebih lancar, makan menggunakan tangan karena enzim di tangan membantu makanan lebih mudah dicerna dan tentunya lebih bersih dan menyehatkan, tidur menghadap ke kanan supaya lebih bagus untuk kesehatan, dan lain sebagainya.
Kurang lebihnya mohon maaf,
Terima kasih
Terima kasih atas pertanyaannya. Izin menjawab, benar. Hadits atau sunnah memiliki posisi penting dalam Islam, yaitu sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Beberapa sunnah yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari seperti makan dan minum sambil duduk agar pencernaan lebih lancar, makan menggunakan tangan karena enzim di tangan membantu makanan lebih mudah dicerna dan tentunya lebih bersih dan menyehatkan, tidur menghadap ke kanan supaya lebih bagus untuk kesehatan, dan lain sebagainya.
Kurang lebihnya mohon maaf,
Terima kasih
Assalamualaikum wr wb.
Izin memperkenalkan diri, saya Rico Febryan Djayusman dengan NPM 2115012068. Izin bertanya.
Izin memperkenalkan diri, saya Rico Febryan Djayusman dengan NPM 2115012068. Izin bertanya.
Sebutkan macam-macam hadist da’if dari segi putusnya sanad dan sebutkan sanad hadist yang paling da’if atau yang disebut dengan awha alasanid?
Terimakasih
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, terima kasih atas pertanyaannya. Saya Khansa Alivia dengan NPM 2115012039 izin menjawab,
Hadits Da'if berdasarkan terputusnya sanad terbagi menjadi lima bagian yaitu Hadits Mursal, Hadits Mu'dal, Hadits Mu'allaq, Hadits Mudallas, dan Hadits Munqati. Sedangkan Hadits yang paling Da'if atau yang disebut awha alasanid adalah Muhammad bin Marwan dari al-Kallabi dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas.
Terima Kasih, mohon maaf jika terdapat kesalahan. Semoga dapat menjawab.
Hadits Da'if berdasarkan terputusnya sanad terbagi menjadi lima bagian yaitu Hadits Mursal, Hadits Mu'dal, Hadits Mu'allaq, Hadits Mudallas, dan Hadits Munqati. Sedangkan Hadits yang paling Da'if atau yang disebut awha alasanid adalah Muhammad bin Marwan dari al-Kallabi dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas.
Terima Kasih, mohon maaf jika terdapat kesalahan. Semoga dapat menjawab.
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Terimakasih kepada kelompok 4 yang telah memaparkan materi. Perkenalkan nama saya Salsabila Mayasya, NPM 2115012008, pada makalah tertulis bahwa segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya dan terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, danahad. Apa yang dimaksud dari tiga tingkat tersebut dan apa perbedaanya?
Terima kasih.
Terimakasih kepada kelompok 4 yang telah memaparkan materi. Perkenalkan nama saya Salsabila Mayasya, NPM 2115012008, pada makalah tertulis bahwa segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya dan terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, danahad. Apa yang dimaksud dari tiga tingkat tersebut dan apa perbedaanya?
Terima kasih.