Assalamualaikum Wr.Wb
Nama :Dini Hanifa
NPM :2413031055
Kelas : 24B
1. PT Garuda Sejahtera saat ini menggunakan pendekatan nilai wajar (fair value) dalam
pengakuan aset pesawat, dengan mengacu pada kerangka konseptual IFRS. Auditor
perusahaan menyoroti bahwa pasar aktif untuk pesawat di Indonesia sangat terbatas, sehingga
reliabilitas pengukuran nilai wajar dipertanyakan.
Manajemen berpendapat bahwa penggunaan nilai wajar lebih mencerminkan substance over
form dan kebutuhan untuk menarik investor global. Namun, terdapat risiko bahwa angka yang
disajikan tidak sepenuhnya mencerminkan realitas ekonomi di Indonesia.
Kesimpulannya, keputusan PT Garuda Sejahtera memilih nilai wajar secara konseptual dapat
dibenarkan jika pengukuran nilai wajar dilakukan dengan andal dan transparan, sesuai
karakteristik kualitatif dan tujuan pelaporan keuangan dalam kerangka PSAK dan IFRS. Namun,
jika pengukuran nilai wajar menggunakan asumsi yang tidak dapat diverifikasi secara memadai,
maka keputusan tersebut harus dikritisi karena dapat menurunkan keandalan dan konsistensi
laporan keuangan di konteks pelaporan Indonesia
2. Tujuan Laporan Keuangan: -
IFRS (Conceptual Framework 2018): Tujuan utama laporan keuangan adalah
menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat bagi investor, pemberi pinjaman, dan
kreditur lain dalam pengambilan keputusan ekonomi, khususnya menilai prospek arus kas
masa depan serta posisi keuangan dan kinerja perusahaan. Fokus utamanya adalah
decision usefulness. -
PSAK (Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan Indonesia): Tujuan laporan keuangan
hampir sama karena PSAK telah mengadopsi IFRS. Laporan keuangan disusun untuk
memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna dalam pengambilan
keputusan ekonomi, tetapi juga menekankan kebutuhan lokal, seperti kepentingan
regulator dan otoritas pajak.
Karakteristik Kualitatif Informasi: - -
IFRS: Dua karakteristik kualitatif utama adalah relevance (relevansi) dan faithful
representation (penyajian jujur). Karakteristik pendukung meliputi comparability,
verifiability, timeliness, dan understandability. Ada juga kendala biaya-manfaat (cost
constraint).
PSAK: Mengadopsi karakteristik yang sama dengan IFRS. Relevansi dan representasi
setia dipandang sebagai kualitas utama, sementara keterbandingan, dapat diverifikasi,
ketepatan waktu, dan dapat dipahami sebagai pendukung. Perbedaan hanya pada
penekanan praktik lokal, misalnya dalam tingkat pengungkapan agar sesuai dengan
kondisi perusahaan di Indonesia.
Basis Pengukuran: - -
IFRS: Mengakui berbagai basis pengukuran, antara lain biaya historis (historical cost),
nilai kini (present value), nilai wajar (fair value), dan nilai realisasi/penyelesaian.
Pemilihan basis bergantung pada relevansi dan reliabilitas untuk penyajian laporan
keuangan.
PSAK: Secara prinsip sama karena telah mengadopsi IFRS. PSAK juga menggunakan
biaya historis, nilai wajar, dan nilai kini. Namun, dalam praktik, entitas di Indonesia
sering lebih konservatif, lebih banyak memakai biaya historis karena keterbatasan pasar
aktif dan kapasitas
penilaian fair value di Indonesia.
Asumsi entitas dan kelangsungan usaha: - -
IFRS: Mengasumsikan entitas pelapor sebagai unit yang terpisah (reporting entity
assumption) dan laporan keuangan disusun dengan asumsi kelangsungan usaha (going
concern assumption) kecuali jika manajemen bermaksud atau tidak punya alternatif selain
melikuidasi atau menghentikan operasi.
PSAK: Sama dengan IFRS, yakni entitas dipandang sebagai unit pelapor yang terpisah
dari pemiliknya dan laporan disusun dengan asumsi kelangsungan usaha. Jika ada
keraguan signifikan, entitas wajib mengungkapkan dalam catatan laporan keuangan.
3. Pendapat saya: tidak setuju bahwa Indonesia sebaiknya mengikuti sepenuhnya kerangka
konseptual IFRS tanpa penyesuaian lokal. Adopsi prinsip IFRS secara substansial (tujuan,
karakteristik kualitatif, pilihan basis ukur) sudah tepat dan menguntungkan, tetapi penerapan
“straight IFRS” tanpa penyesuaian implementasi berisiko dalam konteks ekonomi, sosial, dan
kematangan pasar Indonesia.
Mengadopsi kerangka konseptual IFRS secara substansial adalah positif untuk
keterbandingan dan transparansi.
Namun adopsi penuh tanpa penyesuaian lokal terutama pada area measurement heavy seperti
fair value berisiko di lingkungan pasar yang masih matang dan kapasitas profesi yang belum
sepenuhnya siap. Oleh karena itu: adopsi bertahap dengan penyesuaian implementasi,
peningkatan kapasitas, dan penguatan governance/enforcement adalah pendekatan yang paling
pragmatis dan aman untuk Indonesia.