CASE STUDY

CASE STUDY

CASE STUDY

Jumlah balasan: 29

PT Garuda Sejahtera adalah perusahaan publik di Indonesia yang bergerak di bidang penerbangan. Dalam laporan keuangan terbarunya, perusahaan mengakui pesawat-pesawat yang dimiliki berdasarkan nilai wajar (fair value) sesuai dengan pendekatan IFRS (International Financial Reporting Standards).

Namun, auditor memberikan catatan bahwa penentuan nilai wajar tersebut tidak mencerminkan kondisi pasar di Indonesia secara akurat, karena pasar aktif untuk pesawat di Indonesia sangat terbatas. Auditor menyarankan agar perusahaan mempertimbangkan penggunaan biaya historis (historical cost) yang lebih konservatif.

Sementara itu, PT Garuda Sejahtera menyatakan bahwa pendekatan nilai wajar lebih mencerminkan "substance over form" dan kebutuhan investor global, karena perusahaan ingin menarik investor asing. Dalam penyusunannya, perusahaan mengacu pada kerangka konseptual IFRS, bukan kerangka konseptual PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan).

Beberapa anggota dewan komisaris mempertanyakan:

  1. Apakah penggunaan kerangka konseptual global (IFRS) sah diterapkan untuk perusahaan di Indonesia?
  2. Apakah kerangka konseptual PSAK sudah cukup memadai untuk menjawab dinamika bisnis global?
  3. Apakah nilai wajar benar-benar mencerminkan realitas ekonomi yang bisa diandalkan dalam konteks Indonesia?

 

Pertanyaan:

  1. Kritisi keputusan PT Garuda Sejahtera dalam memilih nilai wajar sebagai dasar pengukuran. Apakah keputusan tersebut dapat dibenarkan secara konseptual dalam konteks Indonesia? Jelaskan dengan mengacu pada prinsip-prinsip dalam kerangka konseptual PSAK dan IFRS.
  2. Bandingkan kerangka konseptual PSAK (Indonesia) dan IFRS dalam hal:
  • Tujuan laporan keuangan
  • Karakteristik kualitatif informasi
  • Basis pengukuran
  • Asumsi entitas dan kelangsungan usaha
Apakah Anda setuju bahwa Indonesia sebaiknya mengikuti sepenuhnya kerangka konseptual IFRS tanpa penyesuaian lokal? Jelaskan pendapat Anda dengan argumen kritis, mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial, dan tingkat kematangan pasar di Indonesia.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh MAYKE RIANSYAH -
Nama: Mayke Riansyah
NPM: 241301047

Jawaban atas studi kasus di atas adalah sebagai berikut.

Keputusan PT Garuda Sejahtera menggunakan nilai wajar sebagai dasar pengukuran aset pesawat dapat dipahami secara konseptual sesuai dengan IFRS, karena pendekatan ini dianggap lebih sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini. Namun, di Indonesia, pasar pesawat kurang aktif sehingga penentuan nilai wajar sulit dilakukan dengan akurat. Berdasarkan kerangka konseptual PSAK, selain relevansi, keandalan informasi juga menjadi aspek penting. Oleh karena itu, penggunaan biaya historis cenderung lebih konservatif dan realistis sesuai pasar domestik. Pilihan menggunakan nilai wajar hanya dapat diterima apabila perusahaan dapat menyajikan metode penilaian yang dapat dipercaya dan transparan.

Jika dibandingkan, kerangka konseptual PSAK dan IFRS memiliki banyak persamaan karena PSAK telah mengadopsi standar IFRS. Tujuan utama laporan keuangan pada keduanya adalah menyediakan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan ekonomi, meskipun IFRS lebih mengutamakan kebutuhan investor internasional, sementara PSAK menyesuaikan dengan kondisi serta peraturan di Indonesia. Keduanya menitikberatkan pada karakteristik kualitatif seperti relevansi dan penyajian yang jujur (faithful representation), namun IFRS memberikan perhatian lebih pada aspek keterbandingan (comparability) dan ketepatan waktu (timeliness). Dalam hal basis pengukuran, IFRS lebih menganjurkan penggunaan nilai wajar apabila dapat diandalkan, sedangkan PSAK lebih mengutamakan biaya historis dengan kemungkinan revaluasi secara terbatas. Asumsi entitas dan kelangsungan usaha (going concern) digunakan sebagai dasar dalam kedua kerangka ini.

Dari sudut pandang saya, apakah Indonesia sebaiknya sepenuhnya mengadopsi IFRS? Jawabannya adalah tidak secara penuh. IFRS memang berperan penting untuk meningkatkan transparansi, menarik investor asing, dan mempermudah perbandingan global. Namun, kondisi pasar di Indonesia yang masih terbatas, kemampuan penilai yang belum merata, serta biaya penerapan yang relatif tinggi, menjadikan penyesuaian lokal tetap perlu dilakukan. Oleh karena itu, Indonesia sebaiknya terus melakukan konvergensi PSAK menuju IFRS, sambil tetap mempertahankan adaptasi yang sesuai dengan karakteristik ekonomi, sosial, dan tingkat perkembangan pasar domestik.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Rahma Dwi Gishela -

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh bu

Nama: Rahma Dwi Gishela

NPM: 2413031038

Kelas: 24B

PT Garuda Sejahtera memilih nilai wajar karena dianggap lebih relevan dan sesuai dengan IFRS, khususnya untuk menarik investor global. Secara konseptual hal ini memang dapat dibenarkan karena mendukung prinsip relevansi dan substance over form. Namun, dalam konteks Indonesia penerapannya bermasalah karena pasar pesawat kurang likuid sehingga penentuan nilai wajar lebih bergantung pada asumsi daripada data nyata. Hal ini berisiko menurunkan keterandalan informasi, sementara PSAK lebih menekankan prinsip kehati-hatian dengan biaya historis yang objektif dan terverifikasi.

Jika dibandingkan, PSAK dan IFRS memiliki perbedaan utama. Tujuan laporan keuangan dalam PSAK menekankan akuntabilitas manajemen, sedangkan IFRS lebih berorientasi pada kebutuhan investor. Karakteristik kualitatif PSAK memakai istilah andal/reliability, sementara IFRS menggunakan faithful representation. Basis pengukuran PSAK cenderung historical cost, sedangkan IFRS lebih menonjolkan fair value. Untuk asumsi entitas dan kelangsungan usaha, keduanya sama-sama menggunakan entity assumption dan going concern.

Melihat kondisi Indonesia, adopsi penuh IFRS tanpa penyesuaian lokal belum sepenuhnya tepat. Memang IFRS bisa meningkatkan daya banding global, tetapi keterbatasan pasar, literasi keuangan, dan ketersediaan data di Indonesia membuat penerapan mentah-mentah bisa mengurangi kualitas informasi. Karena itu, Indonesia lebih tepat menggunakan pendekatan konvergensi IFRS dengan penyesuaian lokal, agar laporan keuangan tetap relevan secara internasional sekaligus andal dalam konteks domestik.


Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh ALZIRAH SABRINA -
Assalamu'alaikum bu, izin mengirimkan jawaban studi kasus diatas
Nama: Alzirah Sabrina
NPM: 241301049

1. PT Garuda Sejahtera menggunakan nilai wajar (fair value) sudah sangat sesuai karena penggunaan tersebut cocok untuk investor global dan sesuai dengan prinsip substance over form karena dapat secara nyata menggambarkan kondisi ekonomi kita. Tapi jika dilihat di Indonesia pasar jual-beli pesawat itu hampir tidak ada, sehingga harga yang digunakan sering pakai hitungan asumsi. Namun dalam menggunakan hitungan asumsi perlu dasar data yang kuat, jika tidak angka fair value dapat menjadi subjektif, dan rawan untuk mempercantik laporan, kalua kita perhatikan PSAK dan IFRS menyebutkan laporan itu harus relevan dan andall. Jadi, Keputusan ini cocok saja kalua datanya jelas dan metodenya kuat, jika tidak begitu dihawatirkan penggunaan biaya historis lebih aman.
2. Perbandingan PSAK vs IFRS terlihat jelas pada fokus masing-masing, PSAK fokus pada kebutuhan domestik, IFRS sendiri fokus pada kebutuhan internasional.selanjutnya karakteristik kualitatif, PSAK menggunakan ungkapan andal (reliability), IFRS pakai faithful representation. Di pengukuran nya, PSAK lebih tertuju pada biaya historis yang konservatif, IFRS bebas tidak membatasi penggunaan nilai wajar. Kemudian asumsi entitas dan kelangsungan usaha, PSAK vs IFRS sama-sama mengakui entitas sebagai unit yang berbeda dan berasumsi Perusahaan akan terus beroperasi.
3. Indonesia sepertinya belum bisa untuk ikut IFRS, kenapa? Alasannya karena kondisi pasar kita itu masih sedikit, terlebih lagi susah untuk mencari data yang valid, belum lagi banyak biaya-biaya yang perlu dikeluarkan seperti biaya penerapan yang tinggi. Namun sebenarnya IFRS itu bagus untuk digunakan secara global, tapi resikonya laporan bisa jadi tidak realistis. Jadi jika ingin digunakan agar pas dan sesuai perlu acuan IFRS, diimbangi dengan kondisi ekonomi, sosial, dan pasar yang sudah matang.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Anindia Maharani -
Assalamu'alaikum wr.wb
Nama : Anindia Maharani
Npm : 2413031042

1. Garuda milih pake nilai wajar buat ngukur asetnya itu debatable banget, apalagi di Indonesia yang pasar pesawatnya gak seramai negara lain. Kita bedah pake prinsip PSAK sama IFRS:
Kalo dari PSAK:
a. Keandalan: PSAK tuh lebih mentingin informasi yang bisa dipercaya. Nah, nentuin nilai wajar di pasar yang sepi itu subjektif banget, jadi kurang reliable, karena tidak didukung oleh transaksi pasar yang nyata. Harga lama (historical cost), walau ada kurangnya, lebih gampang dicek dan dianggap lebih bisa diandelin di pasar yang gak likuid.
b. Konservatisme: Walau gak jadi prinsip utama lagi, konservatisme di PSAK tuh masih ada efeknya. Auditor nyaranin pake harga lama itu karena khawatir asetnya jadi kegedean kalo nilai wajarnya gak sesuai kondisi pasar.
Kalo dari IFRS:
a. Relevansi: IFRS itu lebih fokus ke informasi yang relevan buat ngambil keputusan. Nilai wajar dianggap lebih relevan karena nunjukkin kondisi pasar terkini dan nilai ekonomi aset yang lebih akurat.
b. Substance over Form: Garuda bilang nilai wajar lebih nunjukkin “substance over form,” ini prinsip penting di IFRS. Tapi, ini perlu dipikirin mateng-mateng. Kalo nilai wajarnya gak didukung pasar yang aktif dan transparan, ya Cuma angka di atas kertas yang gak nyata.
c. Narik Investor Global: Pake IFRS bisa narik investor asing karena standarnya lebih dikenal di dunia. Tapi, investor yang pinter juga bakal ngeliat keandalan informasi. Nilai wajar yang gak jelas asalnya dari pasar yang likuid bisa bikin mereka ragu.

Intinya, Keputusan Garuda ini sah-sah aja kalo mereka bisa buktiin nilai wajarnya beneran nilai ekonomi pesawat dan bisa diverifikasi. Tapi, kalo pasar aktifnya dikit banget, mending pake harga lama aja, lebih sesuai sama prinsip keandalan dan konservatisme, plus investor juga lebih percaya

2. Perbandingan Kerangka Konsep PSAK vs. IFRS
Secara umum, tujuan laporan keuangan menurut PSAK adalah menyediakan informasi yang relevan dan andal bagi pengguna laporan keuangan untuk pengambilan keputusan ekonomi. Sementara itu, IFRS bertujuan menyediakan informasi keuangan tentang entitas pelapor yang berguna bagi investor, pemberi pinjaman, dan kreditor lainnya untuk membuat keputusan tentang penyediaan sumber daya ke entitas. Karakteristik kualitatif informasi menurut PSAK adalah relevan, andal, dapat dibandingkan, dan gampang dipahamin. Sedangkan menurut IFRS, karakteristiknya adalah relevansi dan representasi jujur (faithful representation), serta karakteristik peningkatan: komparabilitas, verifiabilitas, ketepatan waktu, dan understandability. Dasar pengukuran yang digunakan dalam PSAK adalah biaya historis dan nilai wajar (dalam kasus tertentu), sementara IFRS lebih sering menggunakan nilai wajar, meskipun biaya historis masih relevan. Asumsi yang mendasari PSAK adalah kelangsungan usaha (going concern), entitas akuntansi (accounting entity), periode waktu (time period), dan satuan moneter (monetary unit). Sementara IFRS hanya menekankan asumsi kelangsungan usaha (going concern).

3. Indonesia Harus Full IFRS Tanpa Penyesuaian?
Tidak, Indonesia jangan langsung niru IFRS mentah-mentah. Karena Pasaran di Indonesia belum se-efisien dan se-likuid di negara maju. Pake nilai wajar kebablasan bisa masalah kalo gak ada pasar aktif buat nentuin nilainya.
Infrastruktur akuntansi sama regulasi kita juga mungkin belum siap buat IFRS full. Kemudian budaya konservatisme masih kuat di indonesia, Pake nilai wajar yang agresif bisa dianggap gak hati-hati. Pemahaman dan kepercayaan masyarakat ke laporan keuangan juga masih perlu ditingkatin. Standar yang ribet malah bikin susah dan gak percaya. Indonesia punya bisnis dan regulasi yang beda dari negara lain. Beberapa standar IFRS perlu diubah biar pas sama kondisi di sini. PSAK yang disesuaiin sama IFRS (adopsi atau konvergensi) bikin kita tetep relevan di dunia tapi juga bisa memenuhi kebutuhan di Indonesia. Kesimpulannya Indonesia mending adopsi atau konvergensi sama IFRS pelan-pelan aja, sambil mikirin faktor ekonomi, sosial, dan pasar lokal. Penyesuaian itu penting biar standar akuntansi yang dipake relevan, bisa diandelin, dan gampang dipahamin di sini. Kalo langsung niru IFRS tanpa mikir panjang, malah bikin masalah dan gak ngasih manfaat yang maksimal buat ekonomi kita.

Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Dini Hanifa -
Assalamualaikum Wr.Wb
Nama :Dini Hanifa
NPM :2413031055
Kelas : 24B

1. PT Garuda Sejahtera saat ini menggunakan pendekatan nilai wajar (fair value) dalam
pengakuan aset pesawat, dengan mengacu pada kerangka konseptual IFRS. Auditor
perusahaan menyoroti bahwa pasar aktif untuk pesawat di Indonesia sangat terbatas, sehingga
reliabilitas pengukuran nilai wajar dipertanyakan.
Manajemen berpendapat bahwa penggunaan nilai wajar lebih mencerminkan substance over
form dan kebutuhan untuk menarik investor global. Namun, terdapat risiko bahwa angka yang
disajikan tidak sepenuhnya mencerminkan realitas ekonomi di Indonesia.
Kesimpulannya, keputusan PT Garuda Sejahtera memilih nilai wajar secara konseptual dapat
dibenarkan jika pengukuran nilai wajar dilakukan dengan andal dan transparan, sesuai
karakteristik kualitatif dan tujuan pelaporan keuangan dalam kerangka PSAK dan IFRS. Namun,
jika pengukuran nilai wajar menggunakan asumsi yang tidak dapat diverifikasi secara memadai,
maka keputusan tersebut harus dikritisi karena dapat menurunkan keandalan dan konsistensi
laporan keuangan di konteks pelaporan Indonesia
2. Tujuan Laporan Keuangan: -
IFRS (Conceptual Framework 2018): Tujuan utama laporan keuangan adalah
menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat bagi investor, pemberi pinjaman, dan
kreditur lain dalam pengambilan keputusan ekonomi, khususnya menilai prospek arus kas
masa depan serta posisi keuangan dan kinerja perusahaan. Fokus utamanya adalah
decision usefulness. -
PSAK (Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan Indonesia): Tujuan laporan keuangan
hampir sama karena PSAK telah mengadopsi IFRS. Laporan keuangan disusun untuk
memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna dalam pengambilan
keputusan ekonomi, tetapi juga menekankan kebutuhan lokal, seperti kepentingan
regulator dan otoritas pajak.
Karakteristik Kualitatif Informasi: - -
IFRS: Dua karakteristik kualitatif utama adalah relevance (relevansi) dan faithful
representation (penyajian jujur). Karakteristik pendukung meliputi comparability,
verifiability, timeliness, dan understandability. Ada juga kendala biaya-manfaat (cost
constraint).
PSAK: Mengadopsi karakteristik yang sama dengan IFRS. Relevansi dan representasi
setia dipandang sebagai kualitas utama, sementara keterbandingan, dapat diverifikasi,
ketepatan waktu, dan dapat dipahami sebagai pendukung. Perbedaan hanya pada
penekanan praktik lokal, misalnya dalam tingkat pengungkapan agar sesuai dengan
kondisi perusahaan di Indonesia.
Basis Pengukuran: - -
IFRS: Mengakui berbagai basis pengukuran, antara lain biaya historis (historical cost),
nilai kini (present value), nilai wajar (fair value), dan nilai realisasi/penyelesaian.
Pemilihan basis bergantung pada relevansi dan reliabilitas untuk penyajian laporan
keuangan.
PSAK: Secara prinsip sama karena telah mengadopsi IFRS. PSAK juga menggunakan
biaya historis, nilai wajar, dan nilai kini. Namun, dalam praktik, entitas di Indonesia
sering lebih konservatif, lebih banyak memakai biaya historis karena keterbatasan pasar
aktif dan kapasitas penilaian fair value di Indonesia.
Asumsi entitas dan kelangsungan usaha: - -
IFRS: Mengasumsikan entitas pelapor sebagai unit yang terpisah (reporting entity
assumption) dan laporan keuangan disusun dengan asumsi kelangsungan usaha (going
concern assumption) kecuali jika manajemen bermaksud atau tidak punya alternatif selain
melikuidasi atau menghentikan operasi.
PSAK: Sama dengan IFRS, yakni entitas dipandang sebagai unit pelapor yang terpisah
dari pemiliknya dan laporan disusun dengan asumsi kelangsungan usaha. Jika ada
keraguan signifikan, entitas wajib mengungkapkan dalam catatan laporan keuangan.
3. Pendapat saya: tidak setuju bahwa Indonesia sebaiknya mengikuti sepenuhnya kerangka
konseptual IFRS tanpa penyesuaian lokal. Adopsi prinsip IFRS secara substansial (tujuan,
karakteristik kualitatif, pilihan basis ukur) sudah tepat dan menguntungkan, tetapi penerapan
“straight IFRS” tanpa penyesuaian implementasi berisiko dalam konteks ekonomi, sosial, dan
kematangan pasar Indonesia.
Mengadopsi kerangka konseptual IFRS secara substansial adalah positif untuk
keterbandingan dan transparansi.
Namun adopsi penuh tanpa penyesuaian lokal terutama pada area measurement heavy seperti
fair value berisiko di lingkungan pasar yang masih matang dan kapasitas profesi yang belum
sepenuhnya siap. Oleh karena itu: adopsi bertahap dengan penyesuaian implementasi,
peningkatan kapasitas, dan penguatan governance/enforcement adalah pendekatan yang paling
pragmatis dan aman untuk Indonesia.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Muhammad Syafiq Al Ghifary -
Nama: Muhammad Syafiq Al Ghifary
NPM: 2413031044

1. Kritik terhadap keputusan PT Garuda Sejahtera
Penggunaan nilai wajar (fair value) secara konseptual dapat diterima karena menawarkan informasi yang lebih relevan bagi investor global dan sesuai dengan prinsip substance over form dalam IFRS. Namun, di Indonesia, pasar pesawat yang tidak likuid membuat pengukuran sangat bergantung pada asumsi tingkat 3, sehingga menurunkan keandalan laporan keuangan. Auditor tepat mengangkat risiko bias tersebut. Oleh karena itu, jika data pasar dan penilaian independen kurang memadai, penggunaan biaya historis lebih sesuai atau nilai wajar dapat disajikan bersama biaya historis sebagai informasi tambahan.

2. Perbandingan PSAK dengan IFRS
Tujuan laporan keuangan:
- IFRS bertujuan menyediakan informasi yang berguna bagi investor dan kreditor global.
- PSAK memiliki tujuan serupa, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan lokal dan regulator.

Karakteristik kualitatif:
- IFRS menekankan relevansi dan representasi yang setia sebagai unsur utama, serta kemampuan perbandingan, verifikasi, ketepatan waktu, dan kemudahan pemahaman sebagai unsur pendukung.
- PSAK juga mengadopsi karakteristik tersebut, namun menekankan keseimbangan antara relevansi dan keandalan sesuai kondisi pasar Indonesia.

Basis pengukuran:
- IFRS mengenali biaya historis dan nilai wajar dengan panduan hierarki input dari IFRS 13.
- PSAK sejalan, tetapi memberikan fleksibilitas lebih dalam menghadapi kondisi pasar yang tidak aktif.

Asumsi entitas dan kelangsungan usaha:
- Kedua standar menggunakan asumsi kelangsungan usaha kecuali ada indikasi sebaliknya.
- PSAK menambahkan panduan pengungkapan yang disesuaikan dengan regulasi lokal.

3. Sikap terhadap adopsi IFRS penuh di Indonesia
Adopsi IFRS secara total tidak sepenuhnya tepat. Indonesia harus mengadopsi IFRS demi keseragaman internasional, tetapi penyesuaian lokal tetap diperlukan karena:
- Banyak aset di Indonesia yang pasar valuasinya tidak likuid, sehingga nilai wajar sering kurang dapat diandalkan.
- Kualitas auditor dan penilai di Indonesia belum merata.
- Peraturan fiskal dan kontraktual mengharuskan penggunaan angka yang lebih konservatif.
- Pemangku kepentingan domestik lebih mengutamakan stabilitas angka laporan.

Kesimpulannya, Indonesia sebaiknya menjadikan IFRS sebagai dasar penyusunan laporan keuangan, tetapi PSAK harus menyediakan pedoman teknis yang sesuai dengan kondisi lokal agar laporan tetap relevan, andal, dan sesuai dengan situasi ekonomi nasional.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Alfiya Nadhira Syifa -

Assalamualaikum bu

Nama: Alfiya Nadhira Syifa

NPM: 2413031037

Kelas: 2024 B

1.    Keputusan PT Garuda Sejahtera menggunakan nilai wajar (fair value) untuk menilai pesawatnya memang sejalan dengan prinsip IFRS yang menekankan relevansi informasi bagi investor, terutama untuk menarik minat investor global. Namun, dalam konteks Indonesia, keputusan ini belum sepenuhnya tepat secara konseptual karena pasar pesawat di Indonesia tidak aktif dan data sulit diverifikasi. Berdasarkan kerangka konseptual PSAK dan IFRS, penggunaan nilai wajar hanya dapat dibenarkan jika pengukurannya dapat diandalkan (reliable) dan mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya. Jika nilai wajar diperoleh dari asumsi subjektif tanpa pasar aktif, maka penyajian laporan keuangan tidak lagi memenuhi prinsip faithful representation. Oleh karena itu, penggunaan biaya historis (historical cost) lebih sesuai untuk menjaga keandalan dan kehati-hatian laporan keuangan di Indonesia.

 

2.    Secara umum, kerangka konseptual PSAK dan IFRS memiliki dasar yang hampir sama karena PSAK sudah mengonvergensi ke IFRS, namun terdapat perbedaan dalam penerapannya. Tujuan laporan keuangan pada keduanya adalah memberikan informasi yang berguna bagi pengguna eksternal, tetapi PSAK lebih menyesuaikan dengan kondisi ekonomi nasional, sementara IFRS bersifat global. Karakteristik kualitatif utama keduanya sama, yaitu relevansi  dan penyajian yang jujur (faithful representation), hanya saja IFRS lebih fleksibel dalam penggunaan pertimbangan profesional. Dalam hal basis pengukuran, IFRS lebih mendorong penggunaan nilai wajar jika dapat diukur dengan andal, sedangkan PSAK lebih berhati-hati dan mengutamakan biaya historis. Keduanya juga sama-sama berasumsi bahwa entitas akan terus beroperasi (going concern), kecuali ada indikasi kuat sebaliknya.


3.    Saya kurang setuju jika Indonesia sepenuhnya menerapkan IFRS tanpa adanya penyesuaian terhadap kondisi lokal. Memang, penerapan IFRS secara global dapat meningkatkan keterbandingan laporan keuangan dan menarik minat investor asing, namun situasi ekonomi dan tingkat kematangan pasar di Indonesia belum sepenuhnya mendukung hal tersebut. Banyak aset di Indonesia, seperti pesawat atau properti tertentu, tidak memiliki pasar aktif sehingga penentuan nilai wajarnya sering kali bergantung pada perkiraan dan asumsi yang kurang andal. Selain itu, keterbatasan jumlah penilai profesional, biaya penerapan standar yang tinggi, serta sistem pengawasan dan penegakan aturan yang belum merata juga menjadi kendala. Oleh karena itu, langkah yang paling bijak adalah tetap mengadopsi prinsip IFRS namun dengan penyesuaian lokal yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan sosial Indonesia, sambil memperkuat kemampuan regulator, akuntan, dan penilai agar penerapan standar internasional dapat berjalan efektif dan realistis.


Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Az Zahra Syahlia Putri -
Nama : Az Zahra Syahlia Putri
Npm : 2413031041
Izin menjawab studi kasus nya Bu/pak
Indonesia sebaiknya tidak mengikuti sepenuhnya kerangka konseptual IFRS tanpa penyesuaian lokal hal itu disebabkan oleh beberapa alasan seperti:
1. kondisi ekonomi dan pasar yang mana Indonesia memiliki kondisi ekonomi dan pasar yang unik sehingga penyesuaian lokal diperlukan untuk memastikan bahwa laporan keuangan mencerminkan realitas ekonomi yang sebenarnya
2. Tingkat kematangan pasar yang mana pasar modal Indonesia masih berkembang sehingga perlu penyesuaian untuk memastikan bahwa laporan keuangan dapat dipahami dan dipercaya oleh investor
3. Kebutuhan investor lokal yang mana investor lokal memiliki kebutuhan yang berbeda dengan investor asing sehingga penyesuaian lokal diperlukan untuk memastikan bahwa laporan keuangan mencerminkan kebutuhan investor lokal.
Dalam kesimpulannya PT Garuda sejahtera perlu mempertimbangkan penggunaan kerangka konseptual PSAK yang telah disesuaikan dengan kebutuhan lokal serta memastikan bahwa penggunaan nilai wajar sebagai dasar pengukuran dapat diandalkan dan mencerminkan realitas ekonomi yang sebenarnya di Indonesia.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: CASE STUDY

oleh Zesen Arianto -
nama : zesen arianto
npm : 2413031059

Keputusan PT Garuda Sejahtera menggunakan nilai wajar dapat dibenarkan secara konseptual menurut IFRS karena dianggap lebih relevan dan mencerminkan substance over form, namun dalam konteks Indonesia penggunaan fair value harus mempertimbangkan prinsip PSAK khususnya faithful representation, di mana nilai harus dapat diukur secara andal. Pasar pesawat di Indonesia yang tidak aktif membuat fair value berpotensi kurang dapat diverifikasi sehingga auditor menilai biaya historis lebih konservatif. Sementara PSAK dan IFRS memiliki tujuan laporan keuangan dan karakteristik kualitatif yang hampir sama, IFRS lebih menekankan relevansi dan perspektif pasar global, sedangkan PSAK menekankan kesesuaian dengan kondisi ekonomi Indonesia. Karena itu, Indonesia tidak seharusnya mengikuti IFRS sepenuhnya tanpa penyesuaian lokal; tingkat kematangan pasar, ketersediaan data, serta kondisi ekonomi–regulasi domestik menuntut adaptasi agar laporan keuangan tetap relevan sekaligus andal.