NAMA:SUSANTI
NPM:2413031034
1. Kritik terhadap keputusan menggunakan nilai wajar (fair value) untuk pesawat
Benar secara konseptual? — Bersyarat.
Dari sudut pandang tujuan pelaporan (decision-usefulness), fair value sering lebih relevan karena menunjukkan estimasi nilai ekonomi terkini yang berguna bagi investor—terutama investor asing yang menilai aset besar seperti pesawat. Jadi argumen manajemen tentang “substance over form” dan kebutuhan investor global memiliki dasar.
Namun IFRS/PSAK menekankan reliability (faithful representation) juga. Jika pasar aktif untuk pesawat tidak ada atau sangat terbatas di Indonesia, pengukuran fair value menjadi sangat bergantung pada asumsi, model valuasi, dan input Level-3 (non-observable inputs). Ketergantungan tinggi pada estimasi subjektif meningkatkan risiko ketidakandalan dan manipulasi.
Auditor menyorot masalah validitas data pasar lokal: secara profesional ini valid—ketika pasar tidak aktif, standar mensyaratkan penggunaan teknik
penilaian yang andal dan pengungkapan yang luas; jika teknik/inputs tidak memadai, penggunaan historical cost atau basis konservatif lain mungkin lebih tepat.
Kesimpulan: Keputusan memilih fair value dapat dibenarkan jika (1) perusahaan menggunakan metode valuasi yang kuat (market/ income/ cost approaches), (2) menggunakan penilai independen berkompetensi tinggi, (3) menyediakan pengungkapan lengkap tentang asumsi dan sensitivitas, dan (4) ada bukti yang memadai bahwa fair value mencerminkan kondisi ekonomi. Tanpa itu, tetap pada historical cost atau menggandeng pendekatan hybrid lebih defensible.
2. Penjelasan konseptual (PSAK vs IFRS) — per poin diminta
a. Tujuan laporan keuangan
IFRS: Menekankan decision-usefulness untuk investor, kreditor, dan pengguna eksternal lain — menyediakan informasi yang membantu menilai arus kas masa depan.
PSAK (Indonesia): Sejauh besar PSAK telah mengadopsi tujuan yang sama (karena konvergensi dengan IFRS): menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi. Perbedaan praktis muncul pada interpretasi/penekanan lokal dan aturan pelaksanaan.
b. Karakteristik kualitatif informasi
Keduanya menempatkan relevance dan faithful representation sebagai karakteristik fundamental; comparability, verifiability, timeliness, understandability sebagai enhancing characteristics.
Perbedaan muncul di praktik: PSAK kadang menyertakan pedoman implementasi yang lebih konservatif atau penekanan pada kepatuhan lokal/penyesuaian pajak/aturan.
c. Basis pengukuran
IFRS: Mengakui beberapa basis (historical cost, fair value, amortized cost, value in use) dan mengatur penggunaan fair value (lihat IFRS 13) dengan hirarki input (Level 1–3). IFRS mendorong penggunaan fair value bila relevan dan dapat diukur secara andal.
PSAK: Sudah banyak menyesuaikan aturannya agar sejalan dengan IFRS; tetapi dalam praktik PSAK/otoritas lokal bisa memberikan pedoman atau pengecualian apabila pasar lokal tidak mendukung fair value (mis. permasalahan pajak, praktik industri, atau keterbatasan data).
d. Asumsi entitas dan kelangsungan usaha (going concern)
Keduanya berasumsi entitas adalah going concern kecuali ada bukti sebaliknya. Asumsi ini mempengaruhi basis pengukuran (mis. historical cost vs. liquidation value) dan pengungkapan.
3. Apakah fair value “mencerminkan realitas ekonomi” di konteks Indonesia?
Tidak selalu. Fair value adalah konsep yang sangat berguna, tetapi validitasnya bergantung pada ketersediaan pasar aktif dan kualitas input valuasi. Untuk aset spesifik seperti pesawat di pasar domestik yang tipis, fair value sering berubah menjadi model-driven (Level-3) sehingga:
Lebih rentan terhadap asumsi manajemen (mis. projected cash flows, discount rates, residual values).
Membutuhkan pengungkapan sensitivitas untuk menjadi berguna.
Dapat menimbulkan volatilitas laba yang besar dan pengaruh permodalan (covenant) yang tak diinginkan.
Oleh sebab itu, fair value bisa mencerminkan realitas ekonomi jika
penilaian dilakukan dengan ketat, tapi bila tidak, historical cost mungkin memberikan representasi yang lebih andal (meskipun kurang relevan).
4. Rekomendasi praktis untuk PT Garuda Sejahtera (tindak lanjut yang konkret)
1. Jangan ubah basis pengukuran secara unilateral — buat justifikasi tertulis: metodologi valuasi, penilai independen, data pasar yang dipakai, dan dokumentasi audit mendukung.
2. Gunakan model hybrid bila perlu: mis. akui aset pada historical cost tetapi ungkapkan fair value sebagai informasi tambahan (atau sebaliknya), tergantung regulasi PSAK yang relevan.
3. Tingkatkan pengungkapan: metode, asumsi utama, sensitivitas (berapa perubahan nilai jika discount rate naik/turun 100 bp, dll.).
4. Minta penilai independen bersertifikat dan lakukan peer review.
5. Pertimbangkan implikasi kontraktual & pajak (covenant hutang, dasar pengenaan pajak) sebelum perubahan.
6. Libatkan dewan audit dan auditor eksternal sedari awal untuk menghindari catatan audit material.
5. Haruskah Indonesia mengikuti sepenuhnya kerangka konseptual IFRS tanpa penyesuaian lokal? — Pendapat kritis
Saya tidak setuju dengan adopsi IFRS “sepenuhnya tanpa penyesuaian lokal.” Alasan:
1. Kematangan pasar: Banyak instrumen dan pasar di Indonesia belum setara likuiditas/pengungkapan dengan pasar maju; penerapan aturan fair value secara ketat dapat memaksa estimasi Level-3 yang rendah reliabilitasnya.
2. Sosial & ekonomi: Sektor usaha di Indonesia lebih beragam, banyak usaha memerlukan kepastian aturan pajak dan kepatuhan yang stabil; perubahan ukuran pengukuran bisa memengaruhi stabilitas ekonomi perusahaan (mis. maskapai penerbangan terkena fluktuasi besar).
3. Kapasitas penegakan & sumber daya: Penyusun laporan, penilai, auditor independen perlu kapasitas dan sumber daya; adopsi penuh tanpa peningkatan kapabilitas berisiko menyebabkan praktik pelaporan yang buruk.
4. Regulasi & pajak: Interaksi antara laporan keuangan dan aturan pajak/ketenagakerjaan/kontrak hutang memerlukan penyesuaian lokal agar tidak menimbulkan konsekuensi tidak diinginkan.
Namun: PSAK sebaiknya mengadopsi prinsip-prinsip IFRS (konvergensi) untuk meningkatkan komparabilitas global, sambil mempertahankan fleksibilitas implementasi dan pengecualian darurat yang jelas. Model yang bijak: converge in principle, adapt in application — artinya pakai kerangka IFRS sebagai dasar tetapi sediakan pedoman lokal, transisi bertahap, dan program capacity building.
6. Penutup singkat — rekomendasi untuk Dewan Komisaris
Minta manajemen membuktikan bahwa fair value untuk pesawat didukung oleh data dan metode yang andal; jika tidak, dukung rekomendasi auditor untuk memakai historical cost atau hybrid treatment sampai pasar/kapasitas valuasi membaik.
Prioritaskan transparansi dan pengungkapan: investor lebih bisa menerima estimasi yang kuat dan transparan daripada angka fair value yang tampak arbitrer.
Dorong kebijakan jangka menengah: investasi dalam kapabilitas valuasi, audit, dan dialog dengan regulator (OJK/IKAI) untuk pedoman sektor-spesifik (aviation).