FORUM JAWABAN ANALISIS KASUS II

FORUM JAWABAN ANALISIS KASUS II

FORUM JAWABAN ANALISIS KASUS II

Number of replies: 7
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS KASUS II

by neesha zefanya -
Nama : Neesha Zefanya Putri Irawan
Npm : 2411011071
Kelas : Manajemen

analisis kasus

Kasus “awan gelap” bagi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia menggambarkan situasi suram terkait penegakan dan perlindungan HAM yang masih jauh dari harapan. Pada tahun-tahun terakhir, terutama pada 2019, berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan tidak mendapatkan proses keadilan dan akuntabilitas yang memadai. Pembatasan kebebasan berekspresi dan beragama semakin menguat, disertai diskriminasi berbasis gender, serta pelanggaran hak perempuan yang kerap diikuti oleh pernyataan pejabat yang merendahkan martabat mereka. Selain itu, konflik di Papua terus mengalami peningkatan pelanggaran HAM, sementara hukuman mati dan tindakan eksekusi di luar pengadilan masih terus terjadi. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah meratifikasi berbagai perjanjian HAM internasional, implementasi dan penegakan HAM di lapangan masih sangat bermasalah.

Upaya penegakan HAM juga terhambat oleh faktor-faktor struktural seperti pemangkasan anggaran lembaga penegak HAM dan kurangnya keberpihakan negara terhadap korban pelanggaran HAM. Komnas HAM dan lembaga terkait sering kali mengalami keterbatasan sumber daya untuk menjalankan fungsi pengawasan dan penyelesaian kasus. Selain itu, impunitas atau tidak adanya hukuman bagi pelaku pelanggaran HAM menjadi masalah besar yang membuat pelanggaran serupa berulang dan sulit diminimalisir. Gerakan masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa pun terus mengingatkan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti Tragedi 1965, pembunuhan Munir, dan insiden Tanjung Priok, agar keadilan dan pemulihan hak korban bisa terwujud. Jadi, “awan gelap” HAM di Indonesia bukan hanya soal pelanggaran yang terjadi, tetapi juga kegagalan sistem hukum dan politik dalam memberikan perlindungan dan keadilan bagi seluruh warga negara.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS KASUS II

by Anisa Futri -
NAMA : ANISA FUTRI
NPM : 2411011119
PRODI : MANAJEMEN

A. Isi artikel dan analisis penegakan HAM serta hal positif yang diperoleh
Artikel ini menguraikan kondisi penegakan HAM di Indonesia pada tahun 2019 yang mengalami kemunduran cukup signifikan. Banyak pelanggaran HAM berat di masa lalu belum terselesaikan, kebebasan sipil dan berekspresi semakin dibatasi, serta diskriminasi dan kekerasan masih terjadi, terutama di Papua. Namun, ada beberapa kemajuan, seperti komitmen Indonesia untuk meratifikasi berbagai perjanjian HAM internasional, reformasi di sektor keamanan, dan bangkitnya pergerakan mahasiswa serta masyarakat sipil yang aktif memperjuangkan hak-hak warga. Hal positif yang bisa diambil adalah adanya kesadaran dan gerakan sosial yang tetap berjuang meskipun menghadapi berbagai hambatan.
B. Analisis demokrasi Indonesia berdasarkan nilai budaya dan prinsip demokrasi berketuhanan
Demokrasi di Indonesia seharusnya berlandaskan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang mengedepankan musyawarah, gotong royong, serta penghormatan terhadap keberagaman. Prinsip demokrasi yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti setiap kebijakan dan keputusan harus didasari oleh moral dan etika yang menghormati kemanusiaan dan keadilan. Idealnya, demokrasi Indonesia mengintegrasikan kearifan lokal dan spiritualitas bangsa sehingga menghasilkan pemerintahan yang adil, inklusif, dan menghargai hak asasi manusia.
C. Praktik demokrasi Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan Pancasila, UUD 1945, dan HAM
Dalam praktiknya, demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, terutama dalam hal penghormatan terhadap HAM. Banyak kasus pelanggaran HAM belum terselesaikan, kebebasan sipil kerap dibatasi, dan aparat keamanan sering bertindak represif terhadap pengkritik pemerintah. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara praktik demokrasi yang berjalan dengan cita-cita luhur yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi.
D. Sikap terhadap anggota parlemen yang mengatasnamakan rakyat namun menjalankan agenda pribadi
Diperlukan sikap kritis terhadap anggota parlemen yang mengaku mewakili rakyat tetapi justru menjalankan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif dan demokrasi secara keseluruhan. Para wakil rakyat harus bertanggung jawab, transparan, dan mengutamakan kepentingan rakyat yang mereka wakili agar demokrasi dapat berjalan dengan baik dan hak-hak masyarakat dapat terlindungi.
E. Pendapat mengenai kekuasaan kharismatik yang memanfaatkan loyalitas dan emosi rakyat serta hubungannya dengan HAM
Kekuasaan kharismatik yang bersumber dari tradisi atau agama dan mampu menggerakkan loyalitas serta emosi rakyat berpotensi disalahgunakan untuk tujuan yang tidak jelas, bahkan mengorbankan rakyat sebagai korban. Hal ini bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang menuntut perlindungan martabat, kebebasan, dan keadilan bagi setiap individu. Di era demokrasi modern, kekuasaan harus dijalankan secara rasional, transparan, dan bertanggung jawab, bukan berdasarkan manipulasi emosi atau otoritarianisme yang mengabaikan HAM.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS KASUS II

by fany rahmawati -
Nama: Fany Rahmawati
Npm: 2411011052
Prodi: S1 manajemen



Artikel ini menggambarkan bahwa sepanjang tahun 2019, kondisi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mengalami banyak kemunduran. Komnas HAM dan LBH Jakarta mencatat bahwa pemerintah belum maksimal dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu, terutama yang melibatkan aparat negara. Selain itu, kebebasan ruang sipil seperti kebebasan berekspresi dan dinyatakan semakin dibatasi, baik melalui kebijakan maupun tindakan aparat di lapangan.

Ada juga bentuk diskriminasi berbasis gender yang terus terjadi, termasuk pernyataan pejabat yang melarang perempuan. Di wilayah Papua, pelanggaran HAM bahkan disebut semakin parah, dengan banyak warga Papua yang mengalami kekerasan, pengabaian hak ekonomi, serta perlakuan yang rasis.

Meski begitu, masih ada sisi positif yang menjadi harapan ke depan. Misalnya, Indonesia telah meratifikasi hampir seluruh perjanjian internasional mengenai HAM. Gerakan masyarakat sipil juga mulai kembali aktif, seperti mahasiswa yang menggelar demonstrasi, masyarakat adat yang menolak reklamasi di Bali, serta kelompok petani yang mempertahankan hak atas tanahnya di Kendeng.

Masalah utama yang ditekankan dalam artikel ini adalah bahwa negara belum secara serius menunjukkan tanggung jawabnya terhadap penyediaan HAM. Pemerintah lebih fokus menjaga stabilitas politik dan keamanan, namun mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Bahkan, rekonsiliasi pelanggaran HAM masa lalu dilakukan tanpa mengungkap kebenaran, yang justru membuka jalan bagi pelanggaran HAM baru karena tidak adanya pertanggungjawaban.


*Upaya Penyelesaian dan Harapan ke Depan

Untuk memperbaiki situasi HAM di Indonesia, ada beberapa langkah penting yang perlu dilakukan:

1. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara menyeluruh. Pemerintah harus mengedepankan proses hukum yang adil dan transparan, bukan hanya rekonsiliasi yang bersifat simbolis. Keadilan bagi korban hanya bisa tercapai jika pelaku diadili dan kebenaran terungkap secara terbuka.

2. Perluasan ruang kebebasan sipil. Negara wajib melindungi hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, dan berekspresi tanpa takut dikriminalisasi. Pembela HAM, aktivis, dan jurnalis harus mendapat perlindungan hukum dari ancaman dan kekerasan.

3. Penghapusan diskriminasi dan perlakuan tidak adil. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang menjamin kesetaraan bagi seluruh warga negara, termasuk kelompok minoritas, perempuan, dan masyarakat adat. Rasisme terhadap Papua, misalnya, harus diakui dan ditangani dengan serius, namun tidak dapat disangkal.



A. Isi artikel & hal positifnya

Artikel ini menunjukkan bahwa penegakan HAM di Indonesia masih lemah, terutama dalam menangani pelanggaran HAM masa lalu, kebebasan berpendapat, dan diskriminasi. Namun, ada harapan lewat gerakan masyarakat sipil dan komitmen terhadap perjanjian HAM internasional.
Hal positifnya, artikel ini menyadarkan pentingnya peran masyarakat dalam menjaga HAM dan mendorong pemerintah untuk lebih bertanggung jawab.

B. Demokrasi Indonesia & nilai budaya

Demokrasi Indonesia seharusnya mencerminkan nilai-nilai budaya seperti musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial. Sayangnya, praktik demokrasi saat ini sering mengabaikan prinsip-prinsip tersebut.
Demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya membawa nilai-nilai etika dan moral dalam berpolitik, bukan sekadar formalitas agama.

C. Praktik demokrasi saat ini

Secara hukum, demokrasi Indonesia mengacu pada Pancasila dan UUD 1945. Namun, dalam praktiknya masih banyak kebijakan yang belum sepenuhnya menghargai HAM, terutama dalam hal kebebasan berekspresi dan kesetaraan.

D. Parlemen dan agenda politik pribadi

Ketika wakil rakyat menjalankan agenda pribadi dan mengabaikan aspirasi masyarakat, itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi. Mereka seharusnya memperjuangkan suara rakyat, bukan kepentingan kelompok

E. Kekuasaan kharismatik & HAM

Pihak yang menyalahgunakan kekuasaan tradisi atau agama untuk menggerakkan emosi rakyat demi kepentingan tertentu telah menyimpang dari nilai HAM. Dalam demokrasi, rakyat seharusnya dilindungi, bukan dimanipulasi untuk kepentingan yang tidak jelas.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS KASUS II

by NADIV NAFIS WAVI -
NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN

Analisis Kasus “Awan Gelap” bagi HAM di Indonesia

Kasus “awan gelap” bagi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia mencerminkan ironi besar dalam sistem demokrasi kita. Di satu sisi, Indonesia telah mengadopsi dan meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, seolah-olah ingin menunjukkan komitmen tinggi terhadap penghormatan dan perlindungan HAM. Namun, di sisi lain, implementasi di lapangan masih sangat jauh dari harapan. Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan, terutama di wilayah konflik seperti Papua, menjadi potret nyata kegagalan negara dalam melindungi warganya sendiri. Bahkan, beberapa kebijakan negara sering kali justru menjadi pemicu pelanggaran, misalnya melalui kebijakan keamanan yang represif atau pembatasan kebebasan berekspresi yang sering diwarnai tuduhan subversif atau makar terhadap aktivis yang kritis terhadap pemerintah.

Menurut saya, persoalan mendasar yang menyebabkan “awan gelap” ini bukan hanya pada tataran teknis penegakan hukum, tetapi juga pada kerangka politik yang tidak berpihak kepada korban. Dalam banyak kasus, negara justru lebih sibuk menjaga citra stabilitas ketimbang menyelesaikan konflik secara adil. Misalnya, dalam kasus Papua, pendekatan militeristik masih lebih diutamakan ketimbang pendekatan dialog yang mengedepankan penghormatan terhadap HAM. Pendekatan yang cenderung represif inilah yang justru melanggengkan stigma separatis dan menambah ketegangan antara negara dan masyarakat Papua. Selain itu, retorika pemerintah mengenai komitmen HAM sering kali tidak diikuti dengan aksi nyata, sehingga rakyat hanya disuguhi janji kosong tanpa realisasi.

Lebih jauh, saya juga melihat adanya masalah mendasar dalam kesadaran kolektif masyarakat terkait pentingnya HAM. Meskipun berbagai gerakan masyarakat sipil telah berupaya keras untuk mengedukasi publik dan mendorong perubahan kebijakan, pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang belum memahami atau bahkan menganggap HAM hanya sebagai slogan elit perkotaan. Banyak yang memandang HAM sebagai ancaman bagi kedaulatan negara atau sebagai agenda asing yang hendak melemahkan bangsa. Padahal, sejatinya HAM adalah hak dasar setiap manusia tanpa terkecuali, termasuk hak atas hidup, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan kebebasan dari penyiksaan. Pandangan negatif terhadap HAM ini seolah-olah dibiarkan oleh negara demi menjaga status quo.

Dengan demikian, saya berpendapat bahwa penegakan HAM di Indonesia memerlukan transformasi mendasar, bukan hanya tambal sulam kebijakan. Pertama, negara harus lebih serius memperkuat lembaga-lembaga penegak HAM seperti Komnas HAM, bukan malah memotong anggaran atau melemahkan kewenangan mereka. Kedua, perlu ada upaya masif untuk menginternalisasi nilai-nilai HAM ke dalam kurikulum pendidikan dan budaya masyarakat, agar penghormatan HAM menjadi bagian dari kesadaran kolektif bangsa. Ketiga, penting sekali untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan mekanisme yang adil, transparan, dan partisipatif, supaya tidak menambah daftar panjang korban yang merasa keadilan tak pernah hadir. Tanpa langkah-langkah mendasar ini, “awan gelap” HAM akan terus membayangi perjalanan bangsa Indonesia, bahkan di tengah demokrasi yang kerap dibanggakan.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS KASUS II

by Martsha Afifah Putri _2451011017 -
Nama : Martsha Afifah Putri
Npm : 2451011017
Kelas : S1 Manajemen

Artikel ini memperlihatkan bahwa penegakan HAM di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan serius, mulai dari pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan hingga pembatasan kebebasan sipil dan diskriminasi yang terus berlangsung, terutama di Papua. Hal positif yang bisa saya ambil adalah masih adanya semangat masyarakat sipil dan mahasiswa yang aktif menyuarakan keadilan, serta upaya reformasi hukum yang terus berjalan meski lambat. Demokrasi Indonesia, jika dikembalikan pada nilai-nilai budaya seperti musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial, seharusnya mampu menjadi sistem yang manusiawi dan menjunjung tinggi HAM. Namun, realitanya sering kali bertolak belakang, terutama ketika para wakil rakyat justru lebih mementingkan agenda pribadi atau kelompoknya. Ketika kekuasaan kharismatik dimanfaatkan untuk membangkitkan fanatisme buta demi tujuan yang tidak jelas, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip HAM dan demokrasi yang sehat, karena rakyat justru dijadikan korban atas nama kekuasaan, bukan dilindungi martabat dan haknya sebagai manusia.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS KASUS II

by Ganianda Gumilang -
Nama: Ganianda Gumilang
NPM: 2411011058
Kelas: MKU PKN
Prodi: S1 Manajemen

"Awan Gelap untuk HAM di Indonesia"

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan fondasi utama dari kehidupan bernegara yang adil dan demokratis.

Menurut Komnas HAM dan Amnesty International Indonesia, berbagai agenda penegakan HAM mengalami stagnasi. Tidak adanya akuntabilitas atas pelanggaran HAM masa lalu, pembatasan kebebasan berekspresi, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dan tindakan represif terhadap pembela HAM menunjukkan betapa lemah komitmen negara terhadap prinsip-prinsip keadilan. Situasi di Papua menjadi potret menyakitkan, di mana pelanggaran HAM terus terjadi tanpa penyelesaian yang jelas. Padahal, konstitusi dan berbagai perjanjian internasional telah diratifikasi Indonesia sebagai komitmen terhadap HAM universal.

Demokrasi Indonesia semestinya tidak hanya meniru sistem Barat, tetapi berdiri di atas nilai-nilai luhur bangsa seperti gotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan keadilan sosial. Adat istiadat berbagai daerah di Indonesia mengajarkan penyelesaian konflik dengan dialog dan konsensus, bukan dominasi kekuasaan.

Salah satu kekhasan demokrasi Indonesia adalah landasannya pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini seharusnya menjadi jaminan moral bahwa kekuasaan dijalankan dengan etika, menjunjung hak hidup dan martabat manusia. Tetapi dalam praktiknya, nilai ketuhanan kerap dimanipulasi untuk membenarkan tindakan otoriter atau kepentingan politik sempit. Ketika agama dijadikan alat mobilisasi kekuasaan, bukan sebagai sumber inspirasi moral, maka demokrasi menjadi rusak dari dalam.

Praktik demokrasi Indonesia hari ini seringkali menyimpang dari cita-cita Pancasila dan UUD 1945. Prinsip persatuan, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap HAM sering dikalahkan oleh kepentingan politik jangka pendek. Pembentukan undang-undang yang minim partisipasi publik, pembatasan kebebasan berpendapat, serta kriminalisasi terhadap aktivis menunjukkan ketidaksesuaian antara praktik dan konstitusi.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS KASUS II

by Evania Nurresya -
Nama : Evania Nurresya Arsana
NPM : 2451011044
Kelas : MKU Pancasila 2025
Prodi :S1 Manajemen
Analisis Kasus
A. Bagaimanakah isi artikel tersebut dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia dan berikan analisismu secara jelas? Hal positif apa yang Anda dapatkan setelah membaca artikel tersebut?
Artikel "Awan Gelap untuk HAM di Indonesia" menyampaikan kondisi penegakan HAM di Indonesia yang masih memprihatinkan. Banyak pelanggaran HAM berat masa lalu belum terselesaikan, kebebasan sipil dibatasi, serta masih maraknya diskriminasi terhadap kelompok rentan, terutama di Papua. Komnas HAM dan LBH Jakarta bahkan menyoroti kembalinya gaya otoritarian yang mempersempit ruang ekspresi publik.

Analisis saya, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara aturan hukum dan implementasinya. HAM di Indonesia belum menjadi prioritas utama negara, meskipun secara normatif Indonesia sudah meratifikasi banyak perjanjian internasional. Namun, ada sisi positif yang tetap bisa dilihat: kebangkitan masyarakat sipil, mahasiswa, dan komunitas lokal yang tetap kritis dan berani menyuarakan keadilan, seperti yang terjadi di Kendeng dan Bali. Ini menjadi harapan bahwa penegakan HAM tetap bisa diperjuangkan dari bawah.

B. Berikan analisismu mengenai demokrasi Indonesia diambil dari nilai-nilai adat istiadat/budaya asli masyarakat Indonesia! Bagaimanakah pendapatmu mengenai prinsip demokrasi Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa?
Demokrasi di Indonesia sebenarnya memiliki akar kuat dalam budaya lokal, seperti nilai musyawarah, mufakat, dan gotong royong. Ini mencerminkan bahwa demokrasi kita seharusnya tidak meniru sepenuhnya model Barat, tapi lebih menyesuaikan dengan konteks budaya Indonesia yang menjunjung kebersamaan dan kesepakatan bersama.

Mengenai prinsip demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, saya melihat ini sebagai prinsip yang menyeimbangkan antara kebebasan dan tanggung jawab moral. Demokrasi kita seharusnya tidak bebas semaunya, tapi tetap berlandaskan nilai-nilai etika, kemanusiaan, dan spiritualitas. Namun di lapangan, nilai ini kadang disalahgunakan untuk melegitimasi intoleransi atau dominasi kelompok tertentu atas nama agama. Padahal, seharusnya nilai Ketuhanan menumbuhkan rasa saling menghormati dan keadilan antarumat manusia.

C. Bagaimanakah praktik demokrasi Indonesia saat ini apakah telah sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945 serta menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia?
Secara konstitusi, demokrasi Indonesia memang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung HAM. Namun dalam praktiknya, masih banyak yang tidak sesuai. Misalnya, pembatasan kebebasan berpendapat, kriminalisasi aktivis, ketimpangan ekonomi, dan masih lemahnya perlindungan terhadap kelompok minoritas.

Menurut saya, demokrasi kita lebih banyak berjalan secara prosedural—hanya sebatas pemilu dan representasi—namun belum menyentuh demokrasi substansial yang menjunjung keadilan sosial, kemanusiaan, dan persamaan hak. Artinya, prinsip-prinsip dalam Pancasila seperti sila ke-2 (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila ke-5 (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) belum benar-benar diwujudkan.

D. Bagaimanakah sikap Anda mengenai kondisi di mana anggota parlemen yang mengatasnamakan suara rakyat tetapi melaksanakan agenda politik mereka sendiri dan berbeda dengan kepentingan nyata masyarakat?
Saya menilai bahwa kondisi ini adalah bentuk nyata dari kegagalan representasi dalam sistem demokrasi. Ketika anggota parlemen mengatasnamakan suara rakyat tetapi justru menjalankan agenda pribadi atau partainya, maka kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif semakin terkikis.

Sebagai mahasiswa, saya merasa bahwa kita tidak bisa tinggal diam. Harus ada kesadaran kolektif untuk terus mengawasi, mengkritisi, dan menuntut transparansi serta akuntabilitas wakil rakyat. Demokrasi hanya bisa berjalan baik jika rakyat tetap aktif dalam menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap pemimpinnya.

E. Bagaimanakah pendapatmu mengenai pihak-pihak yang memiliki kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi, maupun agama, tega menggerakkan loyalitas dan emosi rakyat yang bila perlu menjadi tumbal untuk tujuan yang tidak jelas dan bagaimanakah hubungannya dengan konsep hak asasi manusia pada era demokrasi dewasa saat ini?
Menurut saya, penggunaan kekuasaan kharismatik—baik yang berbasis tradisi maupun agama—untuk menggerakkan massa secara emosional demi tujuan yang tidak jelas adalah bentuk manipulasi yang berbahaya. Ini bisa menjebak masyarakat dalam fanatisme yang membutakan nalar dan kesadaran kritis. Ketika rakyat dijadikan alat politik, bahkan sampai jadi “tumbal”, maka jelas itu melanggar prinsip dasar HAM.

Dalam era demokrasi yang sehat, kekuasaan harus dijalankan secara rasional dan bertanggung jawab, bukan dengan menunggangi emosi atau simbol keagamaan demi kekuasaan. Hak asasi manusia menjamin kebebasan berpikir, memilih, dan menolak keterlibatan dalam gerakan yang tidak berdasar. Oleh karena itu, kekuasaan kharismatik harus tunduk pada prinsip-prinsip HAM dan demokrasi yang adil.