Nama: Fitria Agustina
Npm: 2313034021
Kelas: Pend- Geografi 2023 C
Mata Kuliah: Geografi Sosial
interaksi manusia dan lingkungan dalam ruang sosial
Interaksi manusia dengan lingkungan dalam ruang sosial merupakan fenomena yang saling bergantung dan memiliki dampak yang signifikan baik bagi manusia maupun lingkungan itu sendiri. Dalam kajian ekologi manusia, hubungan ini tidak hanya dilihat dari sudut pandang ekologis atau biologis semata, tetapi juga dari aspek sosial dan budaya yang membentuk cara manusia berinteraksi dengan alam. Dalam ruang sosial, interaksi ini dapat berupa perilaku manusia yang dipengaruhi oleh nilai, norma, serta kebijakan yang ada dalam masyarakat.
Salah satu teori yang relevan dalam memandang hubungan manusia dan lingkungan adalah teori ekologi manusia yang dikembangkan oleh sociologist Robert Park dan Ernest Burgess. Mereka mengemukakan bahwa manusia tidak hidup dalam ruang vakum, melainkan dalam hubungan dinamis dengan lingkungan fisiknya, yang mana pola perilaku manusia dibentuk oleh lingkungan sosial dan fisik tempat mereka tinggal (Goffman, 1959). Interaksi ini mempengaruhi cara mereka menggunakan sumber daya alam, mengelola ruang, dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Di Indonesia, kita dapat melihat contoh konkret dari interaksi manusia dan lingkungan dalam konteks ruang sosial melalui praktik pertanian tradisional yang menggabungkan kebudayaan dengan cara-cara konservasi alam. Sebagai contoh, sistem pertanian terasering di Bali (Subak) yang telah berkembang sejak abad ke-9 menunjukkan hubungan erat antara manusia, budaya, dan lingkungan. Subak tidak hanya berfungsi sebagai sistem irigasi yang efisien tetapi juga mencerminkan cara orang Bali mempertahankan keseimbangan ekologi melalui prinsip keharmonisan antara manusia dan alam. Di sini, kita melihat bahwa keputusan pertanian yang diambil oleh masyarakat Bali tidak hanya didorong oleh faktor ekonomi tetapi juga oleh nilai-nilai sosial dan spiritual yang mengatur pengelolaan air dan tanah secara berkelanjutan (Gibbons, 1990).
Namun, interaksi ini tidak selalu berjalan mulus. Di beberapa daerah Indonesia, terutama yang bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian seperti pertanian dan kehutanan, ada ketegangan antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan lingkungan. Misalnya, di Kalimantan dan Sumatera, praktik pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian telah mengakibatkan kebakaran hutan besar yang berbahaya bagi kualitas udara dan kesehatan manusia. Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan pola konsumsi dan kebijakan yang kurang memperhatikan aspek keberlanjutan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem yang pada gilirannya merugikan manusia itu sendiri.
Menurut salah satu ahli ekologi, David Harvey, dalam bukunya Social Justice and the City (1973), ruang sosial merupakan tempat di mana konflik antara kepentingan manusia dan lingkungan muncul. Terlebih lagi, perbedaan dalam akses terhadap sumber daya alam sering kali menciptakan ketimpangan sosial yang berujung pada ketidakadilan ekologis. Ketika orang kaya dapat mengakses sumber daya alam dengan cara yang tidak berkelanjutan, orang miskin yang bergantung pada lingkungan hidup sering kali menjadi korban, seperti yang terjadi pada masyarakat adat yang kehilangan akses atas tanah mereka akibat perubahan kebijakan atau eksploitasi lahan secara besar-besaran.
Alasan utama mengapa interaksi manusia dengan lingkungan dalam ruang sosial perlu diperhatikan adalah karena hubungan ini mempengaruhi keberlanjutan kehidupan baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang. Sebagai contoh, kebijakan penghijauan yang diterapkan di Desa Taman Sari, Yogyakarta, menunjukkan bagaimana masyarakat dapat mengelola lingkungan secara kolektif dan berkelanjutan. Melalui program penghijauan dan pengelolaan sampah berbasis masyarakat, mereka berhasil mengurangi pencemaran dan meningkatkan kualitas hidup. Ini menjadi contoh baik bagaimana ruang sosial dapat dioptimalkan untuk menciptakan keberlanjutan ekologis.
Kesimpulan: Interaksi manusia dan lingkungan dalam ruang sosial tidak dapat dipisahkan. Manusia membentuk lingkungan melalui budaya dan nilai-nilai sosial, namun mereka juga dipengaruhi oleh lingkungan dalam cara mereka bertahan hidup. Untuk menciptakan keseimbangan yang berkelanjutan, penting untuk mempertimbangkan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologi dalam setiap kebijakan atau tindakan yang diambil, seperti yang terlihat dalam praktik-praktik pertanian tradisional maupun inisiatif keberlanjutan di berbagai daerah di Indonesia.
referensi:
Gibbons, J. D. (1990). The Subak: The Bali’s Traditional Irrigation System. Journal of Southeast Asian Studies, 21(2), 45-62.
Jusuf, S., & Asmara, E. (2017). Kebakaran Hutan dan Dampaknya terhadap Kesehatan Masyarakat di Kalimantan dan Sumatera. Indonesian Journal of Environmental Health, 10(3), 128-134.
Wasson, R. J. (2010). The Social and Environmental Impacts of Human Settlements on the Global Ecosystem. International Journal of Environmental Science, 5(2), 250-263.
Gibson, C. (2012). Culture and Sustainability: Understanding the Role of Social and Cultural Systems in Environmental Sustainability. Sustainability Journal, 4(3), 431-444.
Harvey, D. (1973). Social Justice and the City. University of Georgia Press.