Nama: Ayu Dwiyanti Astuti Primayola
NPM: 2012011070
1. Lembaga Penyelesaian Sengketa Internasional
Singapore
International Arbitration Centre (“SIAC”)
SIAC merupakan lembaga yang mengelola proses arbitrase di Singapura yang didirikan pada tahun 1991. SIAC merupakan lembaga independen yang memiliki track record dalam memberikan pelayanan yang berkualitas, efisien, dan jasa arbitrase netral untuk komunitas bisnis global. Begitu setidaknya tagline SIAC yang terpapar dalam situs resminya. Beberapa pebisnis seperti dari Australia, China (Hong Kong), India, Amerika Serikat, serta belahan dunia lainya. Oleh karena itu, SIAC menyiapkan arbiter bukan hanya dari Singapura, tetapi juga negara-negara maju lainnya seperti Australia, Belgia, Jepang, Singapura, Inggris dan Amerika Serikat. Beracara di SIAC, tentu saja perlu mengikuti aturan ad hoc yang dimiliki lembaga tersebut. Sebagian besar perkaranya diatur berdasarkan peraturan arbitrasenya sendiri yang diadopsi oleh para pihak di dalam perjanjian arbitrase mereka. SIAC dapat pula mengatur arbitrase berdasarkan aturan lainnya yang disetujui oleh para pihak. Selain itu, para pihak juga “dimanjakan” dengan fitur-fitur yang ada di situs resmi SIAC. Salah satunya adalah kalkulator bagi para pihak untuk memperkirakan berapa biaya yang harus dibayar bila berperkara di SIAC berdasarkan nilai sengketa dan jumlah arbiter yang dipilih. Lokasinya yang cukup dekat dengan Indonesia membuat banyak pebisnis Indonesia memilih jalur melalui SIAC. Salah satunya karena umumnya arbiter yang ada di SIAC jauh lebih memahami seluk beluk masalah pembisnis di Indonesia. Selain itu, SIAC Rules kerap dinilai lebih effisien, hemat biaya, dan fleksibel. Ditambah lagi arbiter SIAC dapat menggabungkan fitur dari sistem hukum civil law dan common law.
The Internasional Centre For Settlement of Investment Dispute (ISCID)
Didirikan pada tahun 1966, ICSID adalah badan arbitrase internasional yang didirikan berdasarkan “Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States”. Berkantor pusat di Washington DC Amerika Serikat, ISCID memiliki yurisdiksi untuk menangani sengketa investasi antara negara dengan warga negara (perusahaan) asing. Mayoritas arbiter ISCID dalam sebuah perkara adalah warga negara yang bukan berasal dari pihak yang bersengketa. Salah satu aturan yang digunakan di forum ini adalah ICSID Rules, meski begitu aturan lain seperti UNCITRAL dan aturan ad hoc lainnya juga bisa digunakan di forum ini. Yang menarik dari ISCID, sistem penyelesaian sengketanya memiliki fitur unik dengan aturan terpisah untuk arbitrase, konsiliasi dan kasus fakta. Meski sebagai sebagai organisasi non-profit, ISCID mampu menyediakan struktur biaya yang hemat dan transparan untuk layanan. ISCID juga menawarkan fasilitas kelas sidang pertama di tempat Bank Dunia di seluruh dunia tanpa biaya tambahan.
WIPO Arbitration Centre
WIPO Arbitrasion adalah suatu badan internasional yang mengkhsususkan diri dalam adminsitrasi sengketa arbitrase yang melibatkan isu-isu kekayaan intelektual (HKI) seperti patent, copyrights dan trademarks. Didirikan pada tahun 1994, WIPO hadir sebagai insitusi non profit yang netral yang menawarkan waktu dan biaya yang hemat untuk menjadi salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Pada prinsipnya, WIPO memiliki tugas untuk menentukan standar dan aturan internasional dalam Intelectual Propeties (IP). Di samping itu, WIPO menghadirkan alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi atau arbitrase ang cepat dengan arbiter yang berkualitas. Dalam pemilihan arbiter, WIPO menyediakan arbiter dari praktisi yang sangat khusus dan ahli yang mencakup spectrum hukum dan teknis berkaitan dengan kekayaan intelektual. Para pihak juga dapat menentukan arbiter tunggal berdasarkan kesepakatan bersama-sama. Apabila memilih tiga anggota arbiter, para pihak masing-masing menunjuk salah satu arbiter yang dijadikan arbiter pemimpin.
International Chamber of Commerce (ICC)
ICC yang didirikan pada tahun 1923 di Paris, Perancis merupakan salah satu forum arbitrase terkemuka dan tertua yang menangani kasus arbitrase komersial internasional di Perancis, serta Eropa secara keseluruhan. Fokus peran ICC menangani masalah kekayaan intelektual, joint-venture, pengaturan pembelian saham atau proyek-proyek konstruksi. Lebih lanjut, sebagaimana dikutip dari websitenya, ICC memiliki daya tarik sebagai penyelesaian sengketa yang memberi solusi secara netral, menghemat waktu dan uang, serta bahkan cukup fleksibel untuk memenuhi tuntutan dari para pihak yang berasal dari berbagai sektor ekonomi. Para pihak yang memilih ICC tidak harus mereka yang sudah terdaftar sebagai anggota ICC. Mereka yang bukan berasal dari anggota ICC juga masih bisa memilih lembaga ini sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Bahkan, ICC telah memanjakan calon pengguna-nya dengan menyediakan klausul standar yang tersedia untuk disertakan dalam kontrak komersial dalam beberapa bahasa dan saat ini sudah lebih mudah diakses daripada sebelumnya. Pendekatan yang ketat, proses yang efisien dan aturan praktis mencakup setiap masalah kontrak merupakan nilai dan pendekatan yang selalu dipegang oleh arbiter ICC dalam menangani perkara. Tim Arbiter ICC berasal dari seluruh dunia yang diakui dan dihormati keahliannya dalam menyelesaikan sengketa internasional. Berbeda dengan kebanyaka lembaga serupa, ICC memantau seluruh proses dari tahap permintaan awal untuk arbitrase hingga akhir rancangan.
The London Court of
International Arbitration (LCIA)
The London Court of
International Arbitration (LCIA) adalah salah satu lembaga arbitrase yang tertua di dunia. Lembaga ini secara resmi berdiri pada 1891, tetapi cikal bakalnya sudah mulai ada sejak 5 April 1883. Setelah berganti nama beberapa kali, lembaga ini pun kemudian resmi menyandang nama “The London Court of
International Arbitration” pada 1981. Nama tersebut untuk merefleksikan bahwa kasus-kasus yang datang didominasi oleh kasus internasional.
The LCIA menyediakan penyelesaian sengketa yang efisien, fleksibel, impartial terlepas dari lokasi para pihak dan berdasarkan setiap sistem hukum apapun yang dikehendaki para pihak. Sebagaimana disebutkan di atas, the LCIA memang sangat banyak menangani kasus sengketa internasional. Buktinya, sebagaimana dikutip dari situs resminya, 80 persen pihak dari kasus yang sedang ditangani saat ini bukan warga negara Inggris Raya. Lebih lanjut, the LCIA memiliki akses yang cukup kuat terhadap arbiter-arbiter dan ahli-ahli arbitrase yang handal dan pengalaman dari berbagai yurisdiksi. Setiap orang atau perusahaan bisa menjadi pihak di LCIA tanpa harus mendaftar menjadi anggota terlebih dahulu.
2. Judges and Lawyer
Definisi dan arti kata Judge Made Law adalah pembentukan hukum oleh hakim. Istilah ini dikenal kuat dalam sistem hukum common law atau Anglo Saxon yang menempatkan pengadilan sebagai pusat supremasi dalam konteks hukum. Oleh karena itu, setiap pertimbangan dan putusan yang dilakukan oleh pengadilan melalui tangan hakim merupakan suatu ketentuan yang mengikat untuk penyelesaian sengketa-sengketa yang sama dimasa yang akan datang. Daya ikat tersebutlah yang disebut dengan hukum yang berasal dari tangan hakim. Untuk konteks Indonesia yang berpedoman pada Sistem Hukum Eropa Kontinental/Civil Law, pertimbangan dan putusan hakim bukan suatu hal yang mengikat secara mutlak kepada pihak ketiga di luar perkara.
Pertimbangan dan putusan hakim dalam common law bersifat mengikat pihak ketiga dalam kasus yang sama secara mutlak.
Perspektif bahwa pertimbangan dan putusan hakim mengikat secara hukum akhirnya mengharuskan para hakim untuk menganalisa dari berbagai perspektif untuk membuat putusan karena akan menimbulkan akibat hukum yang lebih luas. Berbeda dari sistem hukum Civil Law yang pada hakikatnya hakim sudah diberikan pedoman putusan dari Peraturan Perundang-Undangan, hakim pada common law cenderung lebih banyak mengaji putusan dan pertimbangan para hakim sebelumnya. Meskipun demikian, corak ini sudah jarang ditemukan/bukan lagi suatu hal yang mutlak karena telah terjadi pencampuran sistem hukum di masing-masing negara modern.
Walaupun dikatakan sudah terjadi pencampuran hukum, namun corak-corak tersebut masih meninggalkan suatu ciri khas perspektif para hakim di suatu negara. Untuk itu di negara common law atau Anglo Saxon, tindakan hakim dalam menentukan suatu kaidah hukum yang baru disebut sebagai pembuatan hukum oleh hakim. Sedangkan dalam konteks Civil Law atau Eropa Kontinental, hakim hanya sebatas menemukan hukumnya semata. Daya ikat penemuan hukum ini tidak mutlak, kecuali telah dilakukan suatu penerimaan secara meluas terhadap pertimbangan dan putusan hakim bersangkutan.
3. How is the process
Istilah Proses memiliki arti sebagai berikut dalam hukum.
• Ini bisa menjadi proses dalam setiap tindakan atau penuntutan. Misalnya Proses Hukum
• Dapat berupa surat panggilan atau surat perintah yang mengharuskan seseorang untuk hadir di pengadilan atau seorang terdakwa diberitahukan adanya tindakan hukum terhadapnya.
• Sehubungan dengan paten, ini mengacu pada metode, operasi, atau serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai suatu akhir atau hasil yang baru dan berguna dengan mengubah karakteristik kimia atau fisik suatu bahan. Ini adalah kategori hukum dari penemuan yang dapat dipatenkan.
Meskipun istilah 'proses' umumnya diasosiasikan dengan pemanggilan, namun tidak terbatas pada 'pemanggilan'. Dalam arti luas, istilah ini setara dengan, atau sinonim dengan, 'prosedur', atau 'proses'. Terkadang istilah ini juga didefinisikan secara luas. sebagai sarana di mana pengadilan memaksa pemenuhan tuntutannya.
Proses adalah istilah hukum untuk pengiriman salinan dokumen hukum seperti panggilan, pengaduan, panggilan pengadilan, perintah untuk menunjukkan alasan, surat perintah, pemberitahuan untuk keluar dari tempat dan dokumen tertentu lainnya. Penyerahan biasanya dilakukan dengan penyerahan pribadi kepada terdakwa atau orang lain kepada siapa surat-surat itu ditujukan. "Layanan pengganti" dapat dilakukan dengan menyerahkan dokumen kepada penduduk dewasa di sebuah rumah, dengan seorang karyawan dengan tugas manajemen di kantor bisnis atau dengan "agen penerimaan layanan" yang ditunjuk (biasanya diidentifikasi dengan pengajuan ke Sekretaris Negara Negara), atau, dalam beberapa kasus, dengan memasang di tempat yang menonjol diikuti dengan mengirimkan salinan melalui surat resmi kepada pihak lawan. Dalam kasus-kasus tertentu terdakwa yang tidak hadir atau tidak dikenal, pengadilan akan mengizinkan layanan dengan publikasi di surat kabar. Setelah layanan , dokumen asli, bersama dengan "pengembalian layanan" yang membuktikan bahwa hal yang sama dilayani, diajukan ke pengadilan untuk menunjukkan bahwa masing-masing pihak dilayani.
4. is the decision or verdict were binding
Jika bicara soal arti putusan final pada putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”), artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Sedangkan arti putusan mengikat dalam Putusan MK yaitu putusan tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Begitupula sifat final pada putusan arbitrase dan putusan BPSK yang tidak dapat diajukan banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
Namun, khusus putusan BPSK, meski tidak ada upaya banding dan kasasi yang dapat dilakukan terhadap putusan BPSK, namun terhadap putusan BPSK dapat diajukan upaya hukum keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
Sifat Final dan Mengikat Pada Putusan MK
Bicara soal sifat final dan mengikat (final and binding) dalam suatu putusan, maka kita dapat merujuk pada sifat final dan mengikat suatu putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”).
Menjatuhkan putusan final adalah salah satu kewenangan MK yang telah diatur dalamPasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”):
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
c. memutus pembubaran partai politik
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Yang dimaksud putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).[1] Jadi, akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.
Semantara, sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Demikian yang dijelaskan dalam artikel Menguji Sifat ‘Final dan Mengikat’ dengan Hukum Progresif.
Dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi (hal. 81-82) tentang Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat dijelaskan bahwa secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frase “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dari rangkaian pemeriksaan”, sedangkan frase mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harafiah ini maka frase final dan frase mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya akhir dari suatu proses pemeriksaan, telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi.
Masih bersumber dari laman yang sama, makna harafiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan MK artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht). Putusan MK memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap semua komponen bangsa termasuk obyek yang disengketa.
Akibat Hukum dari Putusan MK yang Final dan Mengikat
Masih bersumber dari jurnal yang sama (hal. 91-92), adapun akibat hukum dari putusan MK yang final dan mengikat dalam makna positif adalah sebagai berikut:
Mendorong terjadinya proses politik
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat mendorong terjadinya proses politik menyangkut:
a. Amendemen atau merubah undang‑undang atau membuat undang-undang baru, akibat hukum dari putusan MK yang telah memutuskan tentang sebuah undang‑undang dianggap bertentangan dengan UUD.
b. Proses politik akan terjadi akibat dari putusan MK tentang hasil pemilihan umum.
c. Putusan MK yang menyatakan adanya pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 akibat dari adanya putusan MK.
Akibat hukum dari putusan tersebut adalah mendorong terjadinya proses politik di MPR untuk memberhentikan atau menolak memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden yang dinyatakan bersalah oleh putusan MK tersebut. Oleh karena itu, putusan MK dapat meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak dan kewajiban tertentu. Dengan kata lain, putusan itu akan membawa akibat tertentu yang mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan/atau kewenangan.
Mengakhiri sebuah sengketa hukum
Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU MK butir b, c, dan d menentukan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Masih bersumber dari jurnal yang sama (hal. 92-95), adapun akibat hukum dalam makna negatif adalah sebagai berikut:
Membatalkan sebuah keputusan politik dan atau sebuah undang‑undang hasil produk politik.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat membatalkan sebuah produk undang‑undang yang dibahas oleh pembuat undang‑undang yang melibatkan dua kekuasaan besar yaitu kekuasaan legislatif (DPR) dan kekuasaan eksekutif (Pemerintah) melalui suatu perdebatan yang alot dalam jangka waktu yang cukup panjang dengan menghabiskan anggaran negara yang cukup besar.
Terguncang rasa keadilan pihak‑pihak yang tidak puas terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tidak memberi kesempatan kepada pihak‑pihak yang merasakan putusan tersebut mengandung nilai‑nilai ketidakadilan dan tidak puas terhadap putusan tersebut untuk menempuh jalur hukum lain.
Dalam perspektif ke depan dapat membawa pembusukan hukum dari dalam hukum itu sendiri.
Pembusukan hukum terkait dengan lemahnya penegakan hukum. Apabila tidak dilaksanakan karena tidak mempunyai kekuatan memaksa (eksekutorial) sehingga putusan tersebut hanyalah putusan di atas kertas (law in book). Tatkala penegakan hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi justru dapat menurunkan kewibawaan hukum lembaga tersebut serta dapat membuat masyarakat menjadi kacau balau(chaos), merupakan normless society dalam kenyataan (in het werkelijkheid).
Sifat Final dan Mengikat Pada Putusan Arbitrase
Di samping itu, sifat putusan final dan mengikat ini dapat juga kita temukan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”). Putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase ini dijatuhkan oleh arbiter.
Arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah diperjanjikan bersama.
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Artinya, putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali.
Sifat Final dan Mengikat Pada Putusan BPSK
Tak hanya putusan MK dan putusan arbitrase saja yang mempunyai sifat final dan mengikat, putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”) juga bersifat final dan mengikat.
Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis dan putusan majelis ini final dan mengikat. Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan BPSK tidak ada upaya banding dan kasasi.
Namun terhadap putusan BPSK dapat diajukan upaya hukum keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu tersebut dianggap menerima putusan BPSK.