Forum Analisis Jurnal
Dari segi kerangka teoretis, jurnal ini memiliki fondasi yang cukup solid. Penulis berhasil membangun argumentasi dengan menggabungkan berbagai konsep dari tokoh-tokoh seperti Sunoto dan Notonegoro tentang hakekat Pancasila, teori kebijakan hukum pidana dari Barda Nawawi Arief, serta teori pengaruh media massa dari Bryant dan Hoefnagels. Konsep tentang lima hakekat Pancasila yang meliputi hakekat Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil dijelaskan dengan baik sebagai norma yang seharusnya menjadi tolok ukur dalam setiap pemberitaan media massa. Penulis juga berhasil menjelaskan perkembangan historis media massa di Indonesia mulai dari era Hindia Belanda hingga era reformasi, yang memberikan konteks penting tentang dinamika pers Indonesia. Penggunaan berbagai referensi dari undang-undang seperti UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU ITE juga memperkuat landasan yuridis penelitian ini.
Temuan utama penelitian ini cukup kritis dan mengkhawatirkan. Penulis menyimpulkan bahwa pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam peran media massa memberitakan informasi belum terlaksana dengan baik. Masih banyak terdapat berita yang tidak teruji kebenarannya dan dapat merusak tatanan sosial. Media massa dinilai hanya memuat berita sebagai pemuas informasi saja tanpa menanamkan pembentukan pribadi sosial yang berjiwa Pancasila. Kondisi ini diperparah dengan fenomena berita hoaks dan sensasionalisme yang mengejar rating atau jumlah klik tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkan. Penulis juga mengkritik praktik "koran kuning" yang memberitakan kekerasan secara berlebihan dengan foto-foto yang tidak etis dan judul bombastis. Temuan ini menunjukkan adanya gap yang signifikan antara idealitas fungsi media massa sebagaimana diatur dalam undang-undang dengan realitas praktik di lapangan.
Namun demikian, penelitian ini memiliki beberapa kelemahan metodologis yang cukup mendasar. Sebagai penelitian normatif, jurnal ini sangat minim data empiris dan analisis kasus konkret. Penulis tidak menyajikan sampling media massa tertentu yang diteliti, tidak ada analisis isi pemberitaan secara sistematis, dan tidak ada data kuantitatif yang mengukur sejauh mana kegagalan media massa dalam menanamkan nilai Pancasila. Penelitian hanya mengandalkan kajian norma, asas-asas hukum, dan doktrin tanpa melakukan verifikasi empiris terhadap praktik pemberitaan aktual. Padahal, untuk mengklaim bahwa media massa gagal menjalankan fungsinya, diperlukan bukti-bukti empiris yang kuat melalui analisis konten berita, survei terhadap jurnalis, atau studi kasus terhadap media-media tertentu. Ketiadaan data empiris ini membuat argumen penulis terkesan normatif-idealis tanpa ground reality yang kuat.
Kelemahan lain yang cukup signifikan adalah minimnya solusi konkret dan operasional yang ditawarkan. Jurnal ini lebih banyak mengidentifikasi dan mengkritik permasalahan tanpa memberikan rekomendasi praktis yang dapat diimplementasikan. Misalnya, penulis tidak menjelaskan secara detail bagaimana mekanisme penanaman nilai Pancasila dalam praktik jurnalistik sehari-hari, apa indikator konkret dari "berita berjiwa Pancasila", atau bagaimana model kerjasama ideal antara media massa dengan lembaga penegak hukum dan regulator seperti Dewan Pers atau KPI. Penulis hanya menyebutkan perlunya pelatihan ulang bagi sumber daya manusia media massa dan pengawasan oleh Komisi Penyiaran Independen, namun tidak elaborasi lebih lanjut tentang bentuk pelatihan seperti apa atau mekanisme pengawasan yang efektif. Padahal, solusi operasional ini sangat penting agar penelitian tidak hanya berhenti pada tataran kritik akademis tetapi dapat memberikan kontribusi praktis bagi pemangku kepentingan.
Aspek lain yang kurang mendapat perhatian memadai dalam jurnal ini adalah konteks era digital dan media sosial. Meskipun penulis menyebut internet dan UU ITE, analisis tentang tantangan media sosial, citizen journalism, dan fenomena berita hoaks yang marak di platform digital masih sangat terbatas. Padahal, di era digital saat ini, ancaman terhadap tatanan sosial tidak hanya datang dari media massa konvensional seperti televisi dan surat kabar, tetapi justru lebih masif dari media sosial dan platform digital yang tidak terikat regulasi ketat seperti media massa tradisional. Fenomena buzzer, polarisasi politik di media sosial, dan viralitas konten tanpa verifikasi adalah tantangan kontemporer yang seharusnya mendapat porsi analisis lebih besar. Penelitian ini tampak lebih fokus pada media massa konvensional dan kurang mengantisipasi transformasi ekosistem media yang sudah sangat berbeda.
Jurnal ini juga tidak membahas beberapa aspek penting lainnya yang sebenarnya sangat relevan dengan tema penelitian. Pertama, peran literasi media masyarakat sebagai konsumen berita tidak disinggung sama sekali. Padahal, keberhasilan media massa dalam menjalankan fungsi kontrol sosial dan menanamkan nilai Pancasila juga sangat bergantung pada tingkat literasi media audiens. Masyarakat yang memiliki literasi media yang baik akan lebih kritis dalam menerima informasi dan tidak mudah terprovokasi oleh berita sensasional atau hoaks. Kedua, aspek ekonomi-politik media yang sangat mempengaruhi independensi pemberitaan tidak dianalisis. Realitas bahwa media massa juga adalah entitas bisnis yang harus mencari keuntungan, dan seringkali dimiliki oleh konglomerat atau politisi, sangat mempengaruhi objektifitas pemberitaan. Ketiga, tidak ada perbandingan dengan praktik media massa di negara lain yang mungkin bisa menjadi pembelajaran tentang bagaimana media dapat menjalankan fungsi kontrol sosial dengan tetap menjunjung nilai-nilai luhur.
Meski demikian, penelitian ini tetap memberikan kontribusi penting dalam diskursus akademis tentang hubungan antara Pancasila, media massa, dan pencegahan kejahatan. Jurnal ini berhasil menegaskan kembali relevansi nilai-nilai Pancasila di era modern dan mengkritisi praktik media massa yang cenderung pragmatis dan komersial. Argumen penulis bahwa kebijakan non-penal melalui kontrol sosial media massa perlu diperkuat sebagai alternatif dari kebijakan penal yang memiliki keterbatasan adalah pandangan yang progresif dan sesuai dengan perkembangan kriminologi modern yang lebih menekankan pencegahan daripada pemidanaan. Penelitian ini juga penting sebagai pengingat bagi praktisi media, akademisi, dan regulator tentang tanggung jawab sosial pers yang tidak boleh diabaikan demi mengejar rating atau keuntungan semata.
Untuk pengembangan penelitian selanjutnya, saya merekomendasikan beberapa hal. Pertama, perlu dilakukan penelitian dengan metode campuran (mixed method) yang menggabungkan analisis normatif dengan penelitian empiris seperti analisis isi pemberitaan media massa tertentu, wawancara mendalam dengan jurnalis dan redaktur, serta survei terhadap audiens untuk mengukur persepsi mereka tentang kualitas pemberitaan. Kedua, perlu dikembangkan framework operasional tentang "jurnalisme berdasar Pancasila" yang konkret dan aplikatif, termasuk panduan editorial, kode etik spesifik, dan mekanisme penilaian kualitas berita. Ketiga, penelitian lanjutan sebaiknya menganalisis kasus-kasus konkret seperti pemberitaan ujaran kebencian, hoaks politik, trial by the press, atau sensasionalisme kriminal untuk melihat secara detail bagaimana nilai-nilai Pancasila dilanggar atau ditegakkan. Keempat, perlu melibatkan perspektif multidisipliner dengan mengintegrasikan ilmu komunikasi, sosiologi, dan teknologi informasi, tidak hanya perspektif hukum. Kelima, solusi berbasis teknologi seperti fact-checking digital, AI untuk verifikasi berita, dan platform kolaboratif antara media dengan masyarakat perlu dieksplorasi sebagai alternatif solusi di era digital.
Sebagai kesimpulan, jurnal ini memiliki nilai penting dalam mendorong refleksi kritis terhadap peran media massa di Indonesia dan urgensi penerapan nilai-nilai Pancasila dalam praktik jurnalistik. Argumen utama penulis bahwa media massa belum optimal dalam menjalankan fungsi kontrol sosial dan menanamkan nilai Pancasila adalah kritik yang relevan dan perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pemangku kepentingan. Namun, untuk menjadi kontribusi yang lebih berdampak dan aplikatif, penelitian ini perlu diperkuat dengan data empiris, analisis kasus konkret, dan rekomendasi solusi yang operasional. Diperlukan juga perluasan cakupan analisis untuk mencakup dinamika media digital dan media sosial yang menjadi tantangan utama saat ini. Dengan perbaikan-perbaikan tersebut, penelitian tentang tema ini dapat memberikan kontribusi yang lebih signifikan bagi pengembangan ekosistem media massa Indonesia yang sehat, bertanggung jawab, dan berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Jurnal berjudul “Penanaman Nilai-Nilai Pancasila Melalui Kontrol Sosial oleh Media Massa untuk Menekan Kejahatan di Indonesia” karya Ariesta Wibisono Anditya (2020) mengkaji peran media massa dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila sekaligus menjalankan fungsi kontrol sosial guna mencegah terjadinya kejahatan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keresahan mengenai sejauh mana media benar-benar berfungsi sebagai sarana pendidikan moral dan normatif, atau justru hanya berperan sebagai penyampai informasi yang bersifat konsumtif semata.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode normatif dengan pendekatan hukum dan sosial. Penulis menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan media, nilai-nilai Pancasila, serta teori-teori tentang kontrol sosial. Analisis dilakukan secara deskriptif-eksplanatoris untuk menjelaskan keterkaitan antara media massa dan proses penanaman nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik pengamalan nilai-nilai Pancasila oleh media massa masih tergolong lemah. Banyak pemberitaan yang kurang akurat, cenderung sensasional, dan tidak memberikan nilai edukasi yang memadai. Media lebih menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan informasi dan sensasi dibandingkan upaya pembentukan moral publik. Padahal, media memiliki peran strategis dalam pencegahan kejahatan melalui penyampaian informasi yang mendidik, berimbang, serta menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Namun, potensi tersebut belum dimaksimalkan karena media lebih berorientasi pada rating dan popularitas.
Selain itu, kemajuan teknologi dan arus globalisasi mempercepat penyebaran informasi, tetapi juga meningkatkan risiko munculnya hoaks, propaganda, serta bias pemberitaan. Masyarakat menjadi semakin konsumtif terhadap informasi, namun tidak diiringi dengan penguatan pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila. Penelitian ini juga menyoroti kecenderungan media yang mengejar sensasi, khususnya dalam pemberitaan hukum yang sering menggunakan judul provokatif, menampilkan foto pelaku atau korban, serta menyajikan narasi emosional yang melanggar etika. Praktik tersebut jelas tidak sejalan dengan nilai moral Pancasila.
Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa media massa belum mampu secara optimal menanamkan nilai-nilai Pancasila melalui fungsi kontrol sosialnya. Masih banyak berita yang tidak melalui proses verifikasi yang baik dan bersifat sensasional sehingga berpotensi merusak tatanan sosial. Media dinilai belum berhasil menjadi sarana pembentukan karakter bangsa karena lebih memprioritaskan kebutuhan informasi jangka pendek dibandingkan penanaman nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.
Secara kritis, jurnal ini memiliki keunggulan pada kejelasan landasan teori, kekuatan аргumen, serta relevansinya dengan kondisi media digital masa kini. Namun, kelemahannya terletak pada keterbatasan data empiris karena penelitian hanya bersifat normatif, serta kurangnya contoh kasus konkret dan solusi yang aplikatif. Oleh sebab itu, penelitian selanjutnya disarankan menggunakan metode lapangan seperti survei atau observasi terhadap media, serta memperdalam kajian mengenai etika pemberitaan di era digital.
Penulis juga menguraikan hubungan hukum dan etika melalui tiga dimensi, yaitu substansi dan wadah, keluasan cakupan, serta alasan manusia menaati atau melanggar aturan. Etika digambarkan sebagai landasan moral yang lebih luas daripada hukum, sehingga setiap pelanggaran hukum pasti merupakan pelanggaran etika, meskipun tidak setiap pelanggaran etika dapat dijerat secara hukum. Dengan membandingkan hukum sebagai wadah dan etika sebagai isi moral, jurnal ini menekankan bahwa hukum seharusnya merupakan manifestasi konkret dari nilai-nilai etis yang hidup dalam masyarakat. Hal ini menjadi relevan dalam politik hukum karena pejabat publik maupun lembaga negara memerlukan pedoman etik agar tidak semata-mata bertindak berdasarkan legalitas formal, melainkan juga mempertimbangkan kebaikan substantif dan tanggung jawab moral.
Lebih jauh, jurnal ini menyoroti tahap perkembangan etika dari doktrin keagamaan hingga menjadi perangkat yang mengatur perilaku profesional dan institusional, seperti kode etik dan peradilan etik. Tahapan ini menggambarkan bagaimana etika yang awalnya bersifat abstrak kemudian mengalami konkretisasi seiring kebutuhan masyarakat untuk mengatur perilaku warganya. Pada titik inilah politik hukum harus mampu menyerap nilai-nilai etis yang telah berkembang agar norma hukum yang dibentuk tidak hanya memenuhi aspek kepastian hukum, tetapi juga mencerminkan rasa keadilan dan kebaikan. Pembahasan mengenai berbagai perspektif ahli hukum tentang definisi politik hukum memperlihatkan bahwa politik hukum selalu melibatkan proses pemilihan nilai yang berkembang di masyarakat, kemudian diselaraskan dengan konstitusi, dan akhirnya dituangkan dalam produk hukum.
Secara keseluruhan, jurnal ini menegaskan bahwa hubungan antara hukum dan etika dalam politik hukum Indonesia tidak dapat dipisahkan, karena hukum hanya dapat berjalan efektif jika didukung oleh kesadaran etis masyarakat dan pejabat publik. Tanpa landasan etika yang kuat, hukum berisiko menjadi alat kekuasaan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Sebaliknya, etika tanpa dukungan hukum akan kehilangan kekuatan mengikatnya. Oleh karena itu, keduanya harus bekerja secara harmonis, terutama dalam proses perencanaan dan pembentukan hukum yang menjadi inti dari politik hukum nasional. Penulis menyimpulkan bahwa keberadaan Pancasila sebagai sumber nilai tertinggi bangsa menjadi kunci dalam harmonisasi ini, karena nilai-nilainya mampu menjadi pedoman moral sekaligus dasar filosofis bagi pembangunan hukum Indonesia agar tetap berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan kepentingan nasional.
Inti dari jurnal ini adalah bagaimana etika harus bersemayam di dalam hukum. Kita diajak melihat hubungan keduanya dalam tiga dimensi, yang paling menyentuh adalah perbandingan yang personal: jika hukum adalah bungkusnya, maka etika adalah isi atau substansi yang jauh lebih luas cakupannya. Etika adalah pagar preventif bagi perilaku kita, jauh sebelum tindakan itu menyentuh batas benar dan salah dalam hukum. Hal ini mengingatkan kita bahwa kepatuhan sejati pada hukum seharusnya bukan karena ketakutan akan sanksi, melainkan muncul dari kesadaran diri bahwa aturan itu memang baik dan perlu dipenuhi. Inilah esensi kemanusiaan dan moralitas yang dibutuhkan agar hukum tidak menjadi sekadar aturan kaku.
Lantas, apa yang menjadi pemandu utama dalam memilih nilai-nilai ini?
Jurnal ini memberikan jawaban tegas Pancasila. Pancasila adalah sumber nilai dan sumber etik yang menjadi roh yang menggerakkan hukum dan etika itu sendiri. Ia memastikan bahwa pilihan-pilihan dalam politik hukum kita mulai dari perencanaan hingga pembentukannya selalu selaras dengan cita-cita luhur bangsa. Ketika kita menempatkan Pancasila sebagai jiwa, hukum yang tercipta akan memiliki hati nurani, menjadikannya alat yang benar-benar mewujudkan keadilan sosial bagi kita semua.
Nama : Alya Defina Hidayat
NPM : 2515061022
Kelas : PSTI C
Jurnal ini membahas hubungan antara hukum dan etika dalam pembentukan politik hukum di Indonesia, dengan menempatkan Pancasila sebagai sumber nilai dan etika utama. Jurnal ini menjelaskan bahwa politik hukum adalah arah dan kebijakan dasar yang menentukan bagaimana hukum dirumuskan dan dikembangkan untuk mencapai tujuan negara, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Melalui berbagai pandangan ahli, politik hukum dipahami sebagai proses memilih nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan menyesuaikannya dengan konstitusi untuk kemudian dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Sejarah perkembangan politik hukum Indonesia juga diuraikan melalui TAP MPRS No. 2/1960, GBHN, hingga Prolegnas sebagai instrumen perencanaan hukum yang terstruktur.
Jurnal ini menegaskan bahwa etika dan hukum memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Etika merupakan dasar moral dan filosofi perilaku manusia, sementara hukum merupakan bentuk konkret yang mengatur perilaku tersebut melalui aturan formal. Hubungan keduanya dipahami melalui tiga dimensi: (1) dimensi substansi dan wadah, di mana etika menjadi isi nilai dan hukum menjadi bentuk normatifnya; (2) dimensi keluasan, di mana cakupan etika lebih luas daripada hukum sehingga pelanggaran hukum pasti melanggar etika, tetapi tidak sebaliknya; dan (3) dimensi kepatuhan, di mana etika berfungsi mendorong kepatuhan berdasarkan kesadaran moral, bukan sekadar ketakutan terhadap sanksi. Dalam konteks politik hukum, etika berperan sebagai pagar preventif untuk mencegah penyimpangan perilaku sebelum masuk ke ranah penegakan hukum.
Secara kritis, jurnal ini menunjukkan bahwa pembentukan hukum di Indonesia tidak sepenuhnya murni berdasarkan etika dan nilai Pancasila, tetapi dipengaruhi oleh dinamika politik seperti dominasi kekuatan partai, kepentingan kelompok, dan negosiasi politik dalam proses legislasi. Meskipun demikian, Pancasila tetap menjadi sumber nilai normatif yang seharusnya menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan hukum nasional. Jurnal ini menegaskan perlunya sinkronisasi antara nilai etika dan produk hukum agar hukum tidak sekadar menjadi alat politik, tetapi benar-benar mencerminkan moral publik, keadilan, dan kepentingan bangsa.
Nama : Abdul Hakim Arrauf
NPM : 2515061043
Kelas : PSTI C
Jurnal berjudul "Hubungan Antara Hukum dan Etika dalam Politik Hukum
di Indonesia (Membaca Pancasila sebagai Sumber Nilai dan Sumber Etik)"
yang ditulis oleh Sri Pujiningsih, memiliki fokus utama untuk membedah
bagaimana Hukum dan Etika saling berhubungan satu sama lain, terutama dalam
konteks proses pembentukan kebijakan di Indonesia yang dikenal sebagai Politik
Hukum. Secara spesifik, penulis mencoba menempatkan Pancasila sebagai landasan
filosofis tertinggi yang berfungsi ganda: sebagai sumber nilai sekaligus
sebagai sumber etik. Intinya, tujuannya adalah memahami tidak hanya apa
hubungan di antara keduanya, tetapi juga di mana posisi hubungan ini seharusnya
berdiri di tengah pusaran Politik Hukum nasional.
Latar belakang kajian ini bermula dari komitmen fundamental bangsa, yaitu
tujuan negara Indonesia yang termuat jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Agar
tujuan tersebut tercapai, segala rencana dan perumusan kaidah harus disepakati
oleh seluruh elemen bangsa, sebuah proses yang dalam diskursus akademis kita
kenal sebagai Politik Hukum. Menariknya, pembentukan kaedah hukum (legislasi)
yang merupakan hasil akhir dari kebijakan publik, seringkali tidak luput dari
tarik-menarik dan dominasi kepentingan politik di parlemen. Oleh karena itu,
penulis melihat bahwa Etika Terapan—sebuah cabang filsafat yang membahas
perilaku ideal manusia bernegara—mutlak diperlukan sebagai pisau analisis
kritis untuk meninjau pola-pola politik hukum yang berjalan di negara kita hari
ini.
Diskusi utama dalam jurnal ini menyimpulkan bahwa relasi antara Etika dan Hukum
dapat dilihat melalui tiga lensa berbeda. Pertama, secara substansi dan wadah,
Etika berfungsi sebagai isi, sedangkan Hukum hanyalah bungkusnya. Kedua,
berdasarkan cakupan keluasan, Etika jelas lebih luas; ini berarti setiap
pelanggaran hukum sudah pasti melanggar etika, namun tidak sebaliknya (seperti
ungkapan bahwa “Hukum mengapung di lautan Etika”). Ketiga, dilihat dari alasan
kepatuhan, Etika dipatuhi karena adanya kesadaran diri dan anggapan bahwa itu
adalah kebaikan, bukan semata karena takut sanksi seperti halnya hukum. Fungsi
paling krusial Etika adalah sebagai pagar preventif dan koreksi perilaku; ia
bertindak sebagai filter pertama agar penyimpangan etika, khususnya pada
pejabat publik yang mengandalkan kepercayaan, dapat diselesaikan sebelum harus
masuk ke ranah mekanisme hukum formal.
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa Politik Hukum harus dipahami
sebagai sebuah sikap memilih nilai-nilai yang berkembang di masyarakat,
menentukannya berdasarkan skala prioritas, dan kemudian mengikatnya dalam
produk hukum setelah diselaraskan dengan konstitusi (UUD 1945). Secara
historis, perumusan kebijakan ini telah dilakukan sejak 15 tahun pasca
kemerdekaan melalui TAP MPRS No. 2 tahun 1960 (GBPNSB), yang kemudian menjelma
menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan diperbarui secara berkala.
Intinya, hubungan antara Etika dan Hukum dikukuhkan melalui tiga dimensi utama
tersebut—substansi/wadah, keluasan cakupan, dan motivasi kepatuhan—yang
menunjukkan kedudukan Etika sebagai landasan moral yang menjadi ruang lingkup
Hukum.
Npm : 2515061097
Kelas : Psti C
Jurnal ini membahas hubungan antara hukum dan etika dalam politik hukum di Indonesia. Dari awal tulisan, penulis sudah menekankan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat beragam, baik dari segi budaya, bahasa, maupun latar belakang masyarakatnya. Karena keberagaman itu, negara membutuhkan aturan yang bisa menyatukan semua elemen bangsa. Aturan tersebut tidak hanya berupa hukum tertulis, tetapi juga nilai-nilai etika yang hidup dalam masyarakat. Penulis kemudian menghubungkan hal ini dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yang menjadi dasar arah pembangunan hukum di Indonesia.
Dalam jurnal ini, penulis menjelaskan bahwa politik hukum adalah arah atau kebijakan dasar yang digunakan negara untuk membentuk hukum. Politik hukum tidak muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil dari proses panjang yang melibatkan banyak pihak, terutama lembaga negara dan kekuatan politik. Penulis menunjukkan bahwa sejak awal kemerdekaan, Indonesia sudah berusaha merumuskan arah pembangunan hukum, meskipun prosesnya baru benar-benar terstruktur setelah keluarnya TAP MPRS No. 2 Tahun 1960. Dokumen tersebut kemudian berkembang menjadi GBHN yang diperbarui setiap lima tahun. Melalui mekanisme ini, negara memiliki pedoman yang jelas tentang hukum apa yang perlu dibentuk dan tujuan apa yang ingin dicapai.
Selain membahas politik hukum, penulis juga memberikan perhatian besar pada peran etika. Etika dipahami sebagai pedoman moral yang mengatur perilaku manusia. Berbeda dengan hukum yang bersifat formal dan memiliki sanksi, etika lebih bersifat internal dan mengandalkan kesadaran individu. Penulis menjelaskan bahwa etika sebenarnya lebih luas daripada hukum. Banyak tindakan yang dianggap tidak etis, tetapi tidak bisa diproses secara hukum karena tidak ada aturan tertulis yang mengaturnya. Namun, setiap pelanggaran hukum pasti melanggar etika, karena hukum pada dasarnya lahir dari nilai-nilai etika yang disepakati masyarakat.
Penulis juga mengutip beberapa ahli untuk memperkuat argumennya. Salah satu yang menarik adalah pandangan Jimly Asshiddiqie yang mengibaratkan hukum sebagai “bungkus nasi”, sedangkan etika adalah “isi nasi dan lauknya”. Artinya, hukum hanyalah wadah, sedangkan etika adalah nilai yang menjadi inti dari perilaku manusia. Tanpa etika, hukum hanya menjadi aturan kosong yang tidak memiliki makna. Pandangan ini menunjukkan bahwa hukum dan etika tidak bisa dipisahkan, terutama dalam konteks politik hukum yang menentukan arah pembentukan aturan negara.
Dalam bagian lain, penulis menyoroti bagaimana proses pembentukan hukum di Indonesia sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik. Partai politik yang memiliki kekuatan besar cenderung lebih dominan dalam menentukan isi undang-undang. Hal ini membuat politik hukum tidak selalu berjalan sesuai dengan nilai-nilai etika yang ideal. Penulis menekankan bahwa dalam kondisi seperti ini, etika sangat penting untuk menjaga agar proses pembentukan hukum tetap berada pada jalur yang benar. Etika menjadi pengingat bahwa hukum tidak boleh hanya mengikuti kepentingan kelompok tertentu, tetapi harus berpihak pada kepentingan masyarakat luas.
Penulis juga menjelaskan bahwa etika berfungsi sebagai pagar awal sebelum seseorang melanggar hukum. Jika seseorang sudah memiliki kesadaran etis yang kuat, maka ia tidak akan mudah melakukan tindakan yang merugikan orang lain atau melanggar aturan. Dalam konteks pejabat publik, etika menjadi sangat penting karena mereka memegang amanah masyarakat. Jika penyimpangan perilaku pejabat langsung ditangani dengan pendekatan hukum, kepercayaan publik bisa menurun. Karena itu, penyelesaian melalui mekanisme etika sering dianggap lebih tepat untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan masyarakat.
Secara keseluruhan, jurnal ini memberikan gambaran yang cukup lengkap tentang bagaimana hukum dan etika saling berkaitan dalam politik hukum Indonesia. Penulis berhasil menunjukkan bahwa hukum tidak bisa berdiri sendiri tanpa etika, dan etika membutuhkan hukum agar nilai-nilai moral bisa diterapkan secara nyata dalam kehidupan bernegara. Jurnal ini juga mengingatkan bahwa politik hukum harus selalu berpijak pada nilai-nilai etika agar tidak terjebak dalam kepentingan politik semata. Dengan pemahaman seperti ini, pembentukan hukum di Indonesia diharapkan bisa lebih mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
NPM : 2555061003
Kelas : PSTI C
Setelah membaca jurnal ini, saya memahami bahwa menekankan adanya hubungan yang sangat erat antara hukum dan etika politik dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Hukum diposisikan sebagai aturan formal yang mengikat, sedangkan etika politik berperan sebagai pedoman moral yang mengarahkan perilaku para aktor politik. Jurnal ini menunjukkan bahwa hukum tanpa landasan etika akan bersifat kaku dan berpotensi disalahgunakan, sementara etika tanpa dukungan hukum tidak memiliki kekuatan mengikat dalam praktik politik.
Etika politik seharusnya menjadi roh dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum. Perilaku politik yang hanya berorientasi pada kepatuhan hukum formal, tetapi mengabaikan nilai moral, dapat melahirkan praktik-praktik yang secara hukum sah namun secara etis menyimpang, seperti penyalahgunaan kekuasaan dan politik kepentingan. Oleh karena itu, penulis menegaskan pentingnya integritas, kejujuran, dan tanggung jawab moral sebagai bagian dari etika politik yang harus dijalankan oleh pejabat publik.