Tugas Mandiri P Sugeng

Tugas Mandiri P Sugeng

Number of replies: 7

1. Saat ini sedang viral Kepsek menampar seorang siswa yang merokok, sehingga dipolisikan.

2. Deskripsikan desain dan model pembelajaran yang sesuai bagi siswa siswa yang melanggar peraturan sehingga siswa tersebut bisa sadar dan berubah ke arah yang lebih baik

3. dikumpul via v class paling lambat  18 Okt 25 pukul 12.00 wib

4. saya masih d Jember, terimakasih


In reply to First post

Re: Tugas Mandiri P Sugeng

Resti Apriliyani གིས-
NAMA : Resti Apriliyani
NPM : 2523031007

TUGAS MANDIRI DESAIN DAN MODEL PEMBELAJARAN

Kasus yang sedang viral tentang kepala sekolah diduga menampar siswa di Banten karena kedapatan merokok menimbulkan keprihatinan publik. Komisi X DPR menegaskan bahwa “sekolah bukan tempat menumbuhkan ketakutan”, melainkan ruang pendidikan yang membentuk karakter dan moral peserta didik secara manusiawi (Chaerul Umam, Tribunnews.com, 2025). Tindakan kekerasan fisik, meski dimaksudkan sebagai pembinaan, justru bertentangan dengan prinsip pendidikan karakter dan perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kasus ini menunjukkan masih adanya kesenjangan antara idealisme pendidikan karakter dengan praktik disiplin yang cenderung represif. Oleh karena itu, perlu dirancang desain dan model pembelajaran yang edukatif, reflektif, dan humanis untuk membina siswa yang melanggar peraturan tanpa menggunakan kekerasan.

Desain pembelajaran yang tepat bagi siswa yang melanggar peraturan sekolah, seperti kasus siswa yang kedapatan merokok, perlu diarahkan pada proses pembinaan karakter berbasis refleksi dan tanggung jawab sosial. Tujuan utama dari desain ini bukan untuk menghukum, melainkan untuk membantu siswa menyadari kesalahan, memahami dampak perilakunya, serta menumbuhkan motivasi untuk berubah secara sadar.
1. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah identifikasi dan konseling awal. Pada tahap ini, guru bimbingan konseling (BK) bersama wali kelas melakukan pendekatan personal kepada siswa untuk memahami latar belakang pelanggaran yang dilakukan. Sering kali, perilaku melanggar tata tertib seperti merokok bukan muncul tiba-tiba, tetapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, pergaulan, maupun tekanan emosional. Melalui dialog empatik dan komunikasi yang menenangkan, siswa diharapkan merasa aman untuk terbuka dan menceritakan penyebab perilakunya.
2. Tahap kedua adalah refleksi diri. Guru dapat memberikan tugas reflektif berupa penulisan jurnal atau surat kepada diri sendiri yang berisi perasaan, alasan, dan dampak dari tindakan yang dilakukan. Melalui refleksi ini, siswa diajak untuk berpikir secara mendalam tentang konsekuensi dari perbuatannya baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun sekolah. Refleksi diri merupakan langkah penting untuk menumbuhkan kesadaran moral dari dalam diri, bukan karena tekanan dari luar.
3. Selanjutnya, dilakukan klarifikasi nilai atau Value Clarification Technique (VCT). Guru memfasilitasi diskusi nilai-nilai moral dan etika yang relevan dengan pelanggaran yang terjadi. Misalnya, siswa diajak berdiskusi tentang pentingnya menjaga kesehatan, menghargai peraturan sekolah, dan tanggung jawab sebagai pelajar. Melalui metode VCT, siswa tidak hanya mengetahui mana yang benar dan salah, tetapi juga belajar menimbang nilai berdasarkan nalar dan hati nurani mereka sendiri.
4. Tahap berikutnya adalah proyek sosial berbasis tanggung jawab (Project-Based Learning). Pada tahap ini, siswa dilibatkan dalam kegiatan nyata yang berdampak positif bagi lingkungan sekolah. Contohnya, siswa yang pernah merokok dapat diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari tim “Sekolah Sehat Tanpa Rokok” atau membuat poster dan video edukatif tentang bahaya rokok. Kegiatan proyek seperti ini akan membantu siswa menyalurkan energinya secara produktif, menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial, serta memperbaiki citra dirinya di hadapan teman-teman.
5. Tahap terakhir adalah evaluasi dan penguatan karakter. Setelah seluruh rangkaian kegiatan pembinaan selesai, guru bersama siswa melakukan refleksi akhir terhadap proses yang telah dijalani. Dalam refleksi ini, siswa diajak mengevaluasi perubahan sikap dan perilaku yang telah terjadi serta menetapkan komitmen pribadi untuk memperbaiki diri ke depannya. Guru juga memberikan penguatan positif atas setiap perubahan kecil yang ditunjukkan oleh siswa, agar muncul motivasi intrinsik untuk terus berperilaku disiplin.
Model Pembelajaran
1. Model Restorative Learning
Model ini berfokus pada pemulihan hubungan sosial setelah pelanggaran terjadi. Guru memfasilitasi dialog antara siswa pelanggar, pihak yang terdampak, dan komunitas sekolah untuk mencari solusi dan pemulihan moral. Pendekatan ini menekankan tanggung jawab, empati, dan perbaikan diri, bukan hukuman fisik.
2. Model Pembelajaran Karakter Reflektif
Model ini mengacu pada teori perkembangan moral Kohlberg (1981) yang menekankan pentingnya berpikir moral dan refleksi dalam membentuk kesadaran etis. Siswa tidak hanya diberi tahu apa yang benar, tetapi diajak merenungkan konsekuensi moral dari perbuatannya.
3. Model Social and Emotional Learning (SEL)
Berdasarkan kerangka CASEL (2015), model ini membina lima kompetensi utama: kesadaran diri, pengelolaan emosi, empati, keterampilan sosial, dan pengambilan keputusan etis. Guru dapat memfasilitasi kegiatan seperti role play tentang dampak perilaku buruk atau diskusi empatik untuk menumbuhkan kepekaan moral.

Implementasi di Lingkungan Sekolah
1. Pelibatan Guru BK dan Orang Tua
Proses pembinaan dilakukan secara kolaboratif, agar siswa merasa didukung, bukan dihakimi.
2. Budaya Sekolah Positif
Sekolah perlu membangun kultur positif melalui pembiasaan reflektif seperti morning reflection dan student pledge yang menanamkan nilai disiplin dan tanggung jawab.
3. Penguatan Aturan Edukatif
Tata tertib sekolah harus selaras dengan prinsip pendidikan karakter dan perlindungan anak sesuai Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Siswa yang melanggar peraturan sekolah seharusnya dibimbing melalui pendekatan pembelajaran karakter yang humanis dan reflektif, bukan melalui kekerasan fisik. Model Restorative Learning, Value Clarification Technique, dan Social and Emotional Learning dapat membantu siswa menyadari kesalahannya, mengembangkan empati, dan bertanggung jawab atas tindakannya. Dengan demikian, sekolah benar-benar menjadi tempat menumbuhkan kesadaran, bukan ketakutan, serta mewujudkan fungsi pendidikan yang memanusiakan manusia.

DAFTAR PUSTAKA
CASEL. (2015). Framework for Systemic Social and Emotional Learning. Chicago: Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning.
Chaerul Umam. (2025, Oktober 15). Kepsek Diduga Tampar Siswa di Banten, Komisi X DPR: Sekolah Bukan Tempat Menumbuhkan Ketakutan. Tribunnews.com. https://www.tribunnews.com/nasional/7742436/kepsek-diduga-tampar-siswa-di-banten-komisi-x-dpr-sekolah-bukan-tempat-menumbuhkan-ketakutan
Kohlberg, L. (1981). Essays on Moral Development, Vol. I: The Philosophy of Moral Development. San Francisco: Harper & Row.
Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Kemendikbud. (2015). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.