Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

Number of replies: 22

Seluruh mahasiswa disilahkan untuk berikan pertanyaan dan tanggapan terkait peresentasi kelompok :

Motivation and Affect.

**NAMA_NPM_PERTANYAAN/TANGGAPAN

Seluruh anggota kelompok yg presentasi disilahkan untuk memberikan jawaban dan tanggapan atas semua feedback.


In reply to First post

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Rivi Tiara Ayu -
Rivi Tiara Ayu_2411012003
Berdasarkan teori kebutuhan Maslow, menurut kalian di era digital sekrang level kebutuhan mana si yang paling sering dimanfaatkan pemasar buat narik konsumen?
In reply to Rivi Tiara Ayu

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Dhyan Herlia Putri -
Menurut teori kebutuhan Maslow, di era digital saat ini pemasar paling sering memanfaatkan kebutuhan pada tiga level teratas, yaitu kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan aktualisasi diri. Banyak strategi pemasaran digital berfokus pada kebutuhan sosial dengan menciptakan rasa kebersamaan, misalnya melalui kampanye komunitas, penggunaan influencer, dan fitur interaktif di media sosial yang membuat konsumen merasa menjadi bagian dari sebuah kelompok. Selain itu, kebutuhan akan penghargaan juga sangat sering digunakan, terutama melalui sistem poin, badge, level membership, atau promo eksklusif yang membuat konsumen merasa lebih dihargai dan memiliki status khusus. Tidak hanya itu, pemasar semakin sering memanfaatkan kebutuhan aktualisasi diri dengan menawarkan produk atau layanan yang membantu konsumen mengembangkan diri, seperti aplikasi belajar, webinar, atau produk yang mendukung nilai-nilai keberlanjutan dan kontribusi sosial.

Dengan kata lain, strategi pemasaran digital masa kini cenderung mendorong konsumen untuk merasa terhubung secara sosial, mendapatkan pengakuan, dan merasa bahwa mereka berkontribusi atau berkembang menjadi versi terbaik dari diri mereka.
In reply to First post

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Youngky Setiawan -
Youngky Setiawan_2411012021_Dalam konteks digital (misalnya e-learning atau media sosial), jelaskan faktor motivasi apa yang lebih dominan?
In reply to Youngky Setiawan

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Dhyan Herlia Putri -
Dalam konteks digital seperti e-learning atau media sosial, faktor motivasi yang biasanya lebih dominan adalah motivasi self-actualization, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan untuk berkembang, berinteraksi, dan mendapatkan pengakuan.

Pada platform e-learning, motivasi self-actualiztion muncul ketika pengguna terdorong untuk belajar demi mengembangkan diri, memperoleh keterampilan baru, atau mencapai tujuan pribadi. Misalnya, seseorang mengikuti kursus online bukan hanya untuk mendapatkan sertifikat, tetapi karena ingin meningkatkan kemampuan diri atau mempersiapkan karier yang lebih baik. Faktor seperti rasa ingin tahu, kepuasan ketika menyelesaikan modul, dan perasaan pencapaian ketika meraih progress badge biasanya menjadi pendorong utama.

Sementara pada media sosial, motivasi yang dominan sering kali adalah kebutuhan sosial dan penghargaan. Pengguna terdorong untuk berinteraksi, berbagi pengalaman, mendapatkan like, komentar, dan followers. Semua itu memberi perasaan diterima dan dihargai oleh komunitas. Di sini motivasi bisa menjadi kombinasi antara motivasi intrinsik (ingin terhubung dengan orang lain) dan motivasi ekstrinsik (ingin mendapatkan validasi atau popularitas).

Secara umum, bisa disimpulkan bahwa dalam dunia digital, motivasi yang dominan adalah motivasi intrinsik untuk belajar, berinteraksi, dan berkembang, tetapi diperkuat oleh motivasi ekstrinsik berupa penghargaan, pengakuan, dan hadiah digital yang disediakan platform.
In reply to First post

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Sekar Arum Parawanti - -
Sekar Arum Parawanti_2411012023
Jika motivasi lahir dari tension (ketegangan), bagaimana perusahaan bisa menciptakan “ketegangan” buatan tanpa terkesan manipulatif?
In reply to Sekar Arum Parawanti -

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Dhyan Herlia Putri -
Perusahaan bisa memunculkan rasa “butuh” atau “urgensi” dengan menampilkan perbedaan antara kondisi sekarang dan manfaat yang bisa didapat jika konsumen mengambil tindakan. Misalnya, dalam e-learning, mereka bisa menampilkan data tentang keterampilan yang sedang tren di pasar kerja dan peluang gaji yang lebih tinggi bagi yang memiliki skill tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan positif, konsumen merasa ada jarak antara kemampuan mereka saat ini dan kemampuan yang dibutuhkan sehingga mereka terdorong untuk mendaftar kursus.

Di media sosial atau e-commerce, perusahaan sering menciptakan ketegangan melalui strategi seperti limited-time offer, countdown timer, atau exclusive drops. Namun agar tidak terasa manipulatif, pesan yang disampaikan harus jujur dan transparan. Misalnya, jika promo hanya berlaku sampai tanggal tertentu, perusahaan benar-benar menghentikan promo tersebut setelah waktunya habis.

Ketegangan juga bisa diciptakan dengan mendorong aspirasi positif, seperti kampanye yang mengajak konsumen ikut mendukung gerakan sosial atau gaya hidup sehat. Alih-alih menakut-nakuti, perusahaan menekankan harapan akan hasil yang lebih baik di masa depan. Dengan begitu, konsumen termotivasi karena ingin memperbaiki keadaan, bukan karena diintimidasi.

Singkatnya, “tension” yang sehat bisa diciptakan melalui edukasi, transparansi, dan pemberian tujuan yang jelas, sehingga konsumen merasa termotivasi untuk bertindak karena melihat peluang perbaikan, bukan karena merasa dipaksa.
In reply to First post

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by NABILA ZAKIA ILMI -
Nabila Zakia Ilmi_2451012023
Menurut teori motivasi (Maslow, Herzberg, McClelland, dsb.), apakah semua motivasi bersifat universal, atau ada yang bergantung pada konteks individu/masyarakat tertentu?
In reply to NABILA ZAKIA ILMI

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Dhyan Herlia Putri -
tidak semua motivasi bersifat universal, ada yang cenderung berlaku umum untuk semua manusia, tapi ada juga yang sangat bergantung pada konteks individu atau masyarakat.

Teori Maslow, misalnya, sering dianggap universal karena menyatakan bahwa semua manusia memiliki hierarki kebutuhan dari fisiologis sampai aktualisasi diri. Namun, penelitian menunjukkan bahwa urutan kebutuhan itu bisa berbeda tergantung budaya. Di masyarakat kolektivis (seperti banyak negara Asia), kebutuhan sosial dan kebersamaan bisa jadi lebih penting daripada kebutuhan penghargaan individual. Jadi, walaupun kebutuhan itu ada di semua orang, prioritasnya bisa berbeda.

Herzberg juga membedakan faktor motivator dan faktor higiene, dan ini relatif universal (semua orang akan terganggu jika lingkungan kerja buruk, semua orang senang jika diakui prestasinya). Tapi, jenis penghargaan yang memotivasi seseorang bisa berbeda tergantung nilai yang ia pegang. Misalnya, di masyarakat dengan orientasi materialistis, bonus uang bisa sangat memotivasi, sedangkan di masyarakat yang lebih menghargai keseimbangan hidup, fleksibilitas waktu kerja lebih dihargai.

McClelland malah menekankan bahwa kebutuhan berprestasi (need for achievement), kebutuhan berkuasa (need for power), dan kebutuhan berafiliasi (need for affiliation) sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup, budaya, dan pendidikan. Artinya, tingkat dominasi masing-masing kebutuhan berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain.

Kesimpulannya, motivasi memiliki komponen universal (semua manusia butuh makan, rasa aman, dan pengakuan), tetapi cara memenuhinya dan urutan prioritasnya sangat kontekstual tergantung budaya, kepribadian, dan situasi sosial. Itu sebabnya pemasar dan manajer SDM perlu memahami latar belakang audiens atau karyawannya agar strategi motivasi yang digunakan tepat sasaran.
In reply to First post

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Shalwa Putri Ikhtiarini -
2411012036_Shalwa Putri Ikhtiarini_Di perilaku konsumen, keputusan beli karena rasa ‘nggak enak’ ke penjual tuh masuk kategori apa? Kayak "ah udah terlanjur masuk" atau "ah udah terlanjur nanya, beli aja deh paling ga satu", itu masuk motivasi atau affect kah? Terus gimana cara ngurangin pengaruhnya?
In reply to Shalwa Putri Ikhtiarini

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Dhyan Herlia Putri -
Kalau kita lihat dari sudut perilaku konsumen, keputusan membeli karena rasa “nggak enak” sebenarnya lebih dekat ke affect daripada murni motivasi, Karena:
Motivasi biasanya lahir dari tujuan atau kebutuhan yang jelas, misalnya ingin memenuhi kebutuhan dasar atau mencapai kepuasan tertentu. sedangkan Affect adalah respons emosional, bisa positif atau negatif, yang memengaruhi keputusan tanpa perlu proses berpikir yang rasional. Rasa “nggak enak” itu adalah emosi sosial semacam tekanan psikologis karena tidak enak hati pada penjual atau takut dianggap tidak sopan. Itu bukan kebutuhan nyata yang harus dipenuhi, tapi emosi sesaat yang akhirnya mendorong kita membeli. Dalam teori psikologi konsumen, ini bisa dikaitkan dengan normative influence (tekanan sosial untuk bertindak sesuai norma) atau compulsive/impulse buying yang dipicu oleh perasaan tidak nyaman.

Supaya konsumen tidak terlalu sering “terjebak” membeli karena rasa nggak enak, ada beberapa cara:
1. Membangun kesadaran diri (self-awareness): Sadari bahwa membeli karena rasa sungkan bukanlah kewajiban, dan tidak membeli bukan berarti tidak sopan.
2. Mencari alternatif pembelian yang lebih rasional: Kalau sudah terlanjur tanya, bisa bilang jujur “terima kasih infonya, saya pikir-pikir dulu” ini cara etis untuk menolak.
3. Mengatur konteks pembelian: Platform digital sering kali membantu mengurangi tekanan sosial karena interaksi tidak terlalu personal. Konsumen bisa memanfaatkan belanja online untuk menghindari rasa sungkan.
4. Dari sisi pemasar: Penjual yang etis sebaiknya tidak menekan konsumen dengan membuat mereka merasa bersalah. Strategi soft-selling atau memberi opsi “tidak jadi beli” akan membuat konsumen lebih nyaman dan bisa membangun loyalitas jangka panjang.
In reply to First post

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by annisya agustina -
annisya agustina_026
Berikan contoh nyata produk yang lebih banyak dibeli karena motivasi afektif daripada karena fungsi utamanya
In reply to annisya agustina

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Dhyan Herlia Putri -
Produk yang sering dibeli karena motivasi afektif adalah buket bunga. Secara fungsi, bunga tidak punya kegunaan praktis yang signifikan, tidak bisa dimakan, tidak menyelesaikan masalah sehari-hari, dan cepat layu. Namun, orang tetap membeli karena alasan emosional: ingin membuat orang lain senang, menunjukkan kasih sayang, atau sekadar ikut merayakan momen istimewa.

Contoh lainnya adalah merchandise K-Pop seperti lightstick. Fungsinya sebenarnya terbatas, hanya lampu kecil, tetapi penggemar rela membelinya karena ada keterikatan emosional dengan idolanya. Kepemilikan lightstick membuat mereka merasa menjadi bagian dari komunitas fandom dan mendapatkan rasa bangga saat menghadiri konser.
In reply to First post

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Khashia Nadia Putri Pramudiyanto -
Khashia Nadia_2411012024
Menurut pengalaman dan pengamatan teman-teman, konsumen digital lebih sering terdorong oleh motivasi rasional (utilitarian) atau motivasi emosional (hedonic)? Jelaskan dengan contoh
In reply to Khashia Nadia Putri Pramudiyanto

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Dhyan Herlia Putri -
Kalau melihat pengalaman sehari-hari dan pengamatan tren belanja digital, konsumen digital sekarang lebih sering terdorong oleh motivasi emosional (hedonic) dibandingkan motivasi rasional murni (utilitarian).

Banyak orang membuka marketplace atau media sosial bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fungsional, tetapi untuk mencari hiburan, inspirasi, atau sekadar menghilangkan bosan. Contohnya, fenomena checkout tengah malam saat ada promo 9.9 atau 11.11 banyak konsumen membeli produk yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan hanya karena tergoda diskon besar, gratis ongkir, atau tampilan keranjang belanja yang penuh memberi rasa puas.

Contoh lain adalah pembelian skincare atau fashion yang sering dipicu oleh rekomendasi influencer di TikTok atau Instagram. Keputusan beli lebih dipengaruhi oleh rasa penasaran, FOMO (fear of missing out), atau ingin ikut tren, daripada pertimbangan rasional seperti kebutuhan kulit atau anggaran. Bahkan aplikasi seperti TikTok Shop dan Shopee Live sengaja didesain untuk memicu belanja impulsif lewat flash sale dan interaksi langsung dengan penjual, sehingga pengalaman belanja terasa seperti hiburan.

Namun, bukan berarti motivasi rasional tidak ada. Konsumen tetap menggunakan fitur perbandingan harga, membaca ulasan produk, dan mencari voucher sebelum membeli. Tetapi kecenderungan belanja karena alasan emosional terlihat lebih menonjol, terutama di kalangan generasi muda yang melihat belanja online sebagai bagian dari gaya hidup dan sarana self-reward.
In reply to First post

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Rintan Susanti . -
Ringan Susanti_2411012032
Bagaimana perusahaan dapat memanfaatkan faktor afektif konsumen dalam strategi pemasaran misalnya iklan berbasis emosi?
In reply to Rintan Susanti .

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Tio Rahellita br sihaloho -
Perusahaan bisa banget memanfaatkan faktor afektif konsumen dalam strategi pemasarannya dengan cara memainkan emosi. Iklan sekarang nggak cuma nunjukin fungsi produk, tapi lebih sering ngasih cerita atau suasana hati yang bisa bikin orang kebawa perasaan. Misalnya, brand kopi bikin iklan yang menekankan momen kebersamaan keluarga, bukan sekadar rasa kopi itu sendiri. Atau brand smartphone yang lebih menonjolkan bagaimana HP bisa bikin kita merasa lebih percaya diri dan dekat dengan orang lain, bukan cuma spek kamera atau memori. Strategi ini efektif karena konsumen biasanya lebih gampang ingat perasaan yang ditimbulkan dibanding detail teknis produk. Dengan menciptakan iklan yang menyentuh sisi afektif, perusahaan bisa bikin konsumen merasa ‘punya hubungan emosional’ dengan produk atau brand, sehingga pada akhirnya lebih loyal dan mau beli walaupun harganya lebih mahal. Jadi kuncinya adalah bikin orang merasa bahwa membeli produk itu bukan cuma soal fungsi, tapi juga soal identitas, kebanggaan, dan pengalaman emosional yang mereka dapat
In reply to Rintan Susanti .

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Dhyan Herlia Putri -
Perusahaan dapat memanfaatkan faktor afektif konsumen dengan menciptakan strategi pemasaran yang menstimulasi emosi positif melalui iklan dan pengalaman merek. Misalnya, iklan berbasis emosi sering menggunakan storytelling yang menyentuh hati, musik yang mengharukan, atau visual yang hangat untuk membangun kedekatan emosional dengan audiens. Brand personality juga berperan penting, karena merek yang dipersepsikan ramah, peduli, atau menyenangkan akan lebih mudah membuat konsumen merasa terhubung secara emosional. Selain itu, perusahaan dapat memanfaatkan kampanye yang berkaitan dengan isu sosial atau kepedulian, seperti donasi atau gerakan peduli lingkungan, untuk memicu empati dan rasa bangga konsumen. Emosi juga bisa digunakan untuk mendorong keputusan cepat melalui rasa takut ketinggalan (FOMO) dengan promo terbatas atau produk edisi spesial. Tidak hanya itu, menciptakan pengalaman yang menyenangkan di toko, acara, maupun platform digital dapat membuat konsumen merasa dihargai. Testimoni emosional dari pengguna lain dan pesan yang dipersonalisasi, seperti ucapan ulang tahun atau rekomendasi khusus, juga mampu memperkuat hubungan emosional dan meningkatkan loyalitas konsumen.
In reply to First post

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Raihan sidik Fadhilah -
nama : Raihan sidik fadhilah
NPM : 2451012026
menurut theory maslow (self actualization) kenapa seseorang tetap bersemangat mengajar atau berkarya meskipun kebutuhan finansialnya sudah terpenuhi?
In reply to Raihan sidik Fadhilah

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Allyssia Okta Ramadhani Putri -
betulll bangettt, jadi kenapa sii menurut teori maslow itu seseorang tetap bersemangat mengejar karya walaupun memiliki kebutuhan finansial yang sudah tercukupi, jadi, karena seseorang yang sudah mencapai tahap self-actualization akan memiliki motivasi yang berbeda dari mereka yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Pada tahap ini, dorongan utama bukan lagi soal mencari uang atau memenuhi kebutuhan finansial, melainkan bagaimana ia bisa mengekspresikan diri sepenuhnya, mengembangkan potensi yang dimiliki, serta memberikan kontribusi yang lebih luas bagi orang lain. Itulah sebabnya banyak orang tetap bersemangat mengajar atau berkarya meskipun secara materi mereka sudah cukup.

Mengajar, misalnya, bukan hanya sekadar pekerjaan bagi seseorang yang sudah sampai di tahap aktualisasi diri, melainkan sebuah panggilan hidup. Ada rasa puas dan bahagia ketika ia bisa membagikan ilmu, melihat orang lain berkembang, dan menyadari bahwa kehadirannya memberi makna. Begitu juga dalam berkarya, hasil yang dihasilkan bukan hanya untuk mendapatkan penghasilan, tetapi menjadi cara untuk meninggalkan jejak, menyampaikan ide, dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.
In reply to Raihan sidik Fadhilah

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Dhyan Herlia Putri -
Menurut teori Maslow, jika kebutuhan finansial seseorang sudah terpenuhi (artinya kebutuhan dasar seperti fisiologis dan rasa aman telah tercapai), motivasi yang mendorong perilakunya akan bergeser ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan akan penghargaan (esteem) dan puncaknya kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization). Pada tahap aktualisasi diri, seseorang terdorong untuk mengembangkan potensi diri secara penuh, mengekspresikan kreativitas, dan memberikan kontribusi bermakna bagi orang lain atau masyarakat.

Itulah sebabnya seseorang tetap bersemangat mengajar atau berkarya meskipun tidak lagi termotivasi oleh uang. Aktivitas tersebut memberi rasa puas batin, makna hidup, dan kesempatan untuk “menjadi versi terbaik dirinya.” Misalnya, seorang dosen yang terus menulis buku atau penelitian bukan semata-mata karena gaji, tetapi karena ia ingin berbagi ilmu, mencetak generasi baru, dan meninggalkan legacy intelektual. Jadi, motivasinya sudah bergeser dari motivasi eksternal (finansial) menjadi motivasi internal yang bersifat psikologis dan emosional.
In reply to First post

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Reihan Rizki Ananda -
Reihan Rizki Ananda_2411012082
Menurut kalian, apakah konsumen lebih sering dipengaruhi oleh motivasi rasional atau emosional dalam belanja digital?
In reply to Reihan Rizki Ananda

Re: Discuss Yuk! Sesi 4 : Motivation and Affect

by Dhyan Herlia Putri -
Menurut saya, dalam belanja digital konsumen justru lebih sering dipengaruhi oleh motivasi emosional dibandingkan motivasi rasional. Hal ini karena platform belanja online dirancang untuk menimbulkan respons afektif yang mendorong keputusan cepat, seperti tampilan visual yang menarik, promo flash sale dengan waktu terbatas, notifikasi diskon, atau desain antarmuka yang membuat pengalaman belanja terasa menyenangkan. Banyak konsumen membeli barang karena rasa “takut ketinggalan” (FOMO), ingin ikut tren, atau sekadar merasa senang melihat produk yang lucu dan estetik, meskipun tidak benar-benar membutuhkannya. Motivasi rasional, seperti mempertimbangkan harga termurah atau kualitas terbaik, tentu tetap ada, tetapi sering kali terjadi setelah emosi mendorong konsumen untuk masuk ke aplikasi dan mulai melihat-lihat. Contohnya, saat ada promo 10.10 di e-commerce, banyak orang membeli produk yang sebelumnya tidak ada di daftar belanja hanya karena tergoda diskon besar atau bonus gratis ongkir. Hal ini menunjukkan bahwa emosi menjadi pendorong utama dalam perilaku belanja digital, sementara pertimbangan rasional cenderung menjadi pembenaran setelah keputusan hampir dibuat.