FORUM JAWABAN ANALIS KASUS
Silahkan analisis dan jawablah menggunakan bahasa anda sendiri, terlebih dahulu tulislah nama, npm, kelas dan prodi. Terima kasih
Nama : Neesha Zefanya Putri Irawan
Npm : 2411011071
Kelas : Manajemen
analisis kasus
Kasus “awan gelap” bagi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia menggambarkan situasi suram terkait penegakan dan perlindungan HAM yang masih jauh dari harapan. Pada tahun-tahun terakhir, terutama pada 2019, berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan tidak mendapatkan proses keadilan dan akuntabilitas yang memadai. Pembatasan kebebasan berekspresi dan beragama semakin menguat, disertai diskriminasi berbasis gender, serta pelanggaran hak perempuan yang kerap diikuti oleh pernyataan pejabat yang merendahkan martabat mereka. Selain itu, konflik di Papua terus mengalami peningkatan pelanggaran HAM, sementara hukuman mati dan tindakan eksekusi di luar pengadilan masih terus terjadi. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah meratifikasi berbagai perjanjian HAM internasional, implementasi dan penegakan HAM di lapangan masih sangat bermasalah.
Upaya penegakan HAM juga terhambat oleh faktor-faktor struktural seperti pemangkasan anggaran lembaga penegak HAM dan kurangnya keberpihakan negara terhadap korban pelanggaran HAM. Komnas HAM dan lembaga terkait sering kali mengalami keterbatasan sumber daya untuk menjalankan fungsi pengawasan dan penyelesaian kasus. Selain itu, impunitas atau tidak adanya hukuman bagi pelaku pelanggaran HAM menjadi masalah besar yang membuat pelanggaran serupa berulang dan sulit diminimalisir. Gerakan masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa pun terus mengingatkan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti Tragedi 1965, pembunuhan Munir, dan insiden Tanjung Priok, agar keadilan dan pemulihan hak korban bisa terwujud. Jadi, “awan gelap” HAM di Indonesia bukan hanya soal pelanggaran yang terjadi, tetapi juga kegagalan sistem hukum dan politik dalam memberikan perlindungan dan keadilan bagi seluruh warga negara.
Npm : 2411011071
Kelas : Manajemen
analisis kasus
Kasus “awan gelap” bagi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia menggambarkan situasi suram terkait penegakan dan perlindungan HAM yang masih jauh dari harapan. Pada tahun-tahun terakhir, terutama pada 2019, berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan tidak mendapatkan proses keadilan dan akuntabilitas yang memadai. Pembatasan kebebasan berekspresi dan beragama semakin menguat, disertai diskriminasi berbasis gender, serta pelanggaran hak perempuan yang kerap diikuti oleh pernyataan pejabat yang merendahkan martabat mereka. Selain itu, konflik di Papua terus mengalami peningkatan pelanggaran HAM, sementara hukuman mati dan tindakan eksekusi di luar pengadilan masih terus terjadi. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah meratifikasi berbagai perjanjian HAM internasional, implementasi dan penegakan HAM di lapangan masih sangat bermasalah.
Upaya penegakan HAM juga terhambat oleh faktor-faktor struktural seperti pemangkasan anggaran lembaga penegak HAM dan kurangnya keberpihakan negara terhadap korban pelanggaran HAM. Komnas HAM dan lembaga terkait sering kali mengalami keterbatasan sumber daya untuk menjalankan fungsi pengawasan dan penyelesaian kasus. Selain itu, impunitas atau tidak adanya hukuman bagi pelaku pelanggaran HAM menjadi masalah besar yang membuat pelanggaran serupa berulang dan sulit diminimalisir. Gerakan masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa pun terus mengingatkan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti Tragedi 1965, pembunuhan Munir, dan insiden Tanjung Priok, agar keadilan dan pemulihan hak korban bisa terwujud. Jadi, “awan gelap” HAM di Indonesia bukan hanya soal pelanggaran yang terjadi, tetapi juga kegagalan sistem hukum dan politik dalam memberikan perlindungan dan keadilan bagi seluruh warga negara.
NAMA : ANISA FUTRI
NPM : 2411011119
PRODI : MANAJEMEN
A. Isi artikel dan analisis penegakan HAM serta hal positif yang diperoleh
Artikel ini menguraikan kondisi penegakan HAM di Indonesia pada tahun 2019 yang mengalami kemunduran cukup signifikan. Banyak pelanggaran HAM berat di masa lalu belum terselesaikan, kebebasan sipil dan berekspresi semakin dibatasi, serta diskriminasi dan kekerasan masih terjadi, terutama di Papua. Namun, ada beberapa kemajuan, seperti komitmen Indonesia untuk meratifikasi berbagai perjanjian HAM internasional, reformasi di sektor keamanan, dan bangkitnya pergerakan mahasiswa serta masyarakat sipil yang aktif memperjuangkan hak-hak warga. Hal positif yang bisa diambil adalah adanya kesadaran dan gerakan sosial yang tetap berjuang meskipun menghadapi berbagai hambatan.
B. Analisis demokrasi Indonesia berdasarkan nilai budaya dan prinsip demokrasi berketuhanan
Demokrasi di Indonesia seharusnya berlandaskan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang mengedepankan musyawarah, gotong royong, serta penghormatan terhadap keberagaman. Prinsip demokrasi yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti setiap kebijakan dan keputusan harus didasari oleh moral dan etika yang menghormati kemanusiaan dan keadilan. Idealnya, demokrasi Indonesia mengintegrasikan kearifan lokal dan spiritualitas bangsa sehingga menghasilkan pemerintahan yang adil, inklusif, dan menghargai hak asasi manusia.
C. Praktik demokrasi Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan Pancasila, UUD 1945, dan HAM
Dalam praktiknya, demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, terutama dalam hal penghormatan terhadap HAM. Banyak kasus pelanggaran HAM belum terselesaikan, kebebasan sipil kerap dibatasi, dan aparat keamanan sering bertindak represif terhadap pengkritik pemerintah. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara praktik demokrasi yang berjalan dengan cita-cita luhur yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi.
D. Sikap terhadap anggota parlemen yang mengatasnamakan rakyat namun menjalankan agenda pribadi
Diperlukan sikap kritis terhadap anggota parlemen yang mengaku mewakili rakyat tetapi justru menjalankan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif dan demokrasi secara keseluruhan. Para wakil rakyat harus bertanggung jawab, transparan, dan mengutamakan kepentingan rakyat yang mereka wakili agar demokrasi dapat berjalan dengan baik dan hak-hak masyarakat dapat terlindungi.
E. Pendapat mengenai kekuasaan kharismatik yang memanfaatkan loyalitas dan emosi rakyat serta hubungannya dengan HAM
Kekuasaan kharismatik yang bersumber dari tradisi atau agama dan mampu menggerakkan loyalitas serta emosi rakyat berpotensi disalahgunakan untuk tujuan yang tidak jelas, bahkan mengorbankan rakyat sebagai korban. Hal ini bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang menuntut perlindungan martabat, kebebasan, dan keadilan bagi setiap individu. Di era demokrasi modern, kekuasaan harus dijalankan secara rasional, transparan, dan bertanggung jawab, bukan berdasarkan manipulasi emosi atau otoritarianisme yang mengabaikan HAM.
NPM : 2411011119
PRODI : MANAJEMEN
A. Isi artikel dan analisis penegakan HAM serta hal positif yang diperoleh
Artikel ini menguraikan kondisi penegakan HAM di Indonesia pada tahun 2019 yang mengalami kemunduran cukup signifikan. Banyak pelanggaran HAM berat di masa lalu belum terselesaikan, kebebasan sipil dan berekspresi semakin dibatasi, serta diskriminasi dan kekerasan masih terjadi, terutama di Papua. Namun, ada beberapa kemajuan, seperti komitmen Indonesia untuk meratifikasi berbagai perjanjian HAM internasional, reformasi di sektor keamanan, dan bangkitnya pergerakan mahasiswa serta masyarakat sipil yang aktif memperjuangkan hak-hak warga. Hal positif yang bisa diambil adalah adanya kesadaran dan gerakan sosial yang tetap berjuang meskipun menghadapi berbagai hambatan.
B. Analisis demokrasi Indonesia berdasarkan nilai budaya dan prinsip demokrasi berketuhanan
Demokrasi di Indonesia seharusnya berlandaskan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang mengedepankan musyawarah, gotong royong, serta penghormatan terhadap keberagaman. Prinsip demokrasi yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti setiap kebijakan dan keputusan harus didasari oleh moral dan etika yang menghormati kemanusiaan dan keadilan. Idealnya, demokrasi Indonesia mengintegrasikan kearifan lokal dan spiritualitas bangsa sehingga menghasilkan pemerintahan yang adil, inklusif, dan menghargai hak asasi manusia.
C. Praktik demokrasi Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan Pancasila, UUD 1945, dan HAM
Dalam praktiknya, demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, terutama dalam hal penghormatan terhadap HAM. Banyak kasus pelanggaran HAM belum terselesaikan, kebebasan sipil kerap dibatasi, dan aparat keamanan sering bertindak represif terhadap pengkritik pemerintah. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara praktik demokrasi yang berjalan dengan cita-cita luhur yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi.
D. Sikap terhadap anggota parlemen yang mengatasnamakan rakyat namun menjalankan agenda pribadi
Diperlukan sikap kritis terhadap anggota parlemen yang mengaku mewakili rakyat tetapi justru menjalankan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif dan demokrasi secara keseluruhan. Para wakil rakyat harus bertanggung jawab, transparan, dan mengutamakan kepentingan rakyat yang mereka wakili agar demokrasi dapat berjalan dengan baik dan hak-hak masyarakat dapat terlindungi.
E. Pendapat mengenai kekuasaan kharismatik yang memanfaatkan loyalitas dan emosi rakyat serta hubungannya dengan HAM
Kekuasaan kharismatik yang bersumber dari tradisi atau agama dan mampu menggerakkan loyalitas serta emosi rakyat berpotensi disalahgunakan untuk tujuan yang tidak jelas, bahkan mengorbankan rakyat sebagai korban. Hal ini bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang menuntut perlindungan martabat, kebebasan, dan keadilan bagi setiap individu. Di era demokrasi modern, kekuasaan harus dijalankan secara rasional, transparan, dan bertanggung jawab, bukan berdasarkan manipulasi emosi atau otoritarianisme yang mengabaikan HAM.
Nama: Fany Rahmawati
Npm: 2411011052
Prodi: S1 manajemen
Artikel ini menggambarkan bahwa sepanjang tahun 2019, kondisi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mengalami banyak kemunduran. Komnas HAM dan LBH Jakarta mencatat bahwa pemerintah belum maksimal dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu, terutama yang melibatkan aparat negara. Selain itu, kebebasan ruang sipil seperti kebebasan berekspresi dan dinyatakan semakin dibatasi, baik melalui kebijakan maupun tindakan aparat di lapangan.
Ada juga bentuk diskriminasi berbasis gender yang terus terjadi, termasuk pernyataan pejabat yang melarang perempuan. Di wilayah Papua, pelanggaran HAM bahkan disebut semakin parah, dengan banyak warga Papua yang mengalami kekerasan, pengabaian hak ekonomi, serta perlakuan yang rasis.
Meski begitu, masih ada sisi positif yang menjadi harapan ke depan. Misalnya, Indonesia telah meratifikasi hampir seluruh perjanjian internasional mengenai HAM. Gerakan masyarakat sipil juga mulai kembali aktif, seperti mahasiswa yang menggelar demonstrasi, masyarakat adat yang menolak reklamasi di Bali, serta kelompok petani yang mempertahankan hak atas tanahnya di Kendeng.
Masalah utama yang ditekankan dalam artikel ini adalah bahwa negara belum secara serius menunjukkan tanggung jawabnya terhadap penyediaan HAM. Pemerintah lebih fokus menjaga stabilitas politik dan keamanan, namun mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Bahkan, rekonsiliasi pelanggaran HAM masa lalu dilakukan tanpa mengungkap kebenaran, yang justru membuka jalan bagi pelanggaran HAM baru karena tidak adanya pertanggungjawaban.
*Upaya Penyelesaian dan Harapan ke Depan
Untuk memperbaiki situasi HAM di Indonesia, ada beberapa langkah penting yang perlu dilakukan:
1. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara menyeluruh. Pemerintah harus mengedepankan proses hukum yang adil dan transparan, bukan hanya rekonsiliasi yang bersifat simbolis. Keadilan bagi korban hanya bisa tercapai jika pelaku diadili dan kebenaran terungkap secara terbuka.
2. Perluasan ruang kebebasan sipil. Negara wajib melindungi hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, dan berekspresi tanpa takut dikriminalisasi. Pembela HAM, aktivis, dan jurnalis harus mendapat perlindungan hukum dari ancaman dan kekerasan.
3. Penghapusan diskriminasi dan perlakuan tidak adil. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang menjamin kesetaraan bagi seluruh warga negara, termasuk kelompok minoritas, perempuan, dan masyarakat adat. Rasisme terhadap Papua, misalnya, harus diakui dan ditangani dengan serius, namun tidak dapat disangkal.
Npm: 2411011052
Prodi: S1 manajemen
Artikel ini menggambarkan bahwa sepanjang tahun 2019, kondisi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mengalami banyak kemunduran. Komnas HAM dan LBH Jakarta mencatat bahwa pemerintah belum maksimal dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu, terutama yang melibatkan aparat negara. Selain itu, kebebasan ruang sipil seperti kebebasan berekspresi dan dinyatakan semakin dibatasi, baik melalui kebijakan maupun tindakan aparat di lapangan.
Ada juga bentuk diskriminasi berbasis gender yang terus terjadi, termasuk pernyataan pejabat yang melarang perempuan. Di wilayah Papua, pelanggaran HAM bahkan disebut semakin parah, dengan banyak warga Papua yang mengalami kekerasan, pengabaian hak ekonomi, serta perlakuan yang rasis.
Meski begitu, masih ada sisi positif yang menjadi harapan ke depan. Misalnya, Indonesia telah meratifikasi hampir seluruh perjanjian internasional mengenai HAM. Gerakan masyarakat sipil juga mulai kembali aktif, seperti mahasiswa yang menggelar demonstrasi, masyarakat adat yang menolak reklamasi di Bali, serta kelompok petani yang mempertahankan hak atas tanahnya di Kendeng.
Masalah utama yang ditekankan dalam artikel ini adalah bahwa negara belum secara serius menunjukkan tanggung jawabnya terhadap penyediaan HAM. Pemerintah lebih fokus menjaga stabilitas politik dan keamanan, namun mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Bahkan, rekonsiliasi pelanggaran HAM masa lalu dilakukan tanpa mengungkap kebenaran, yang justru membuka jalan bagi pelanggaran HAM baru karena tidak adanya pertanggungjawaban.
*Upaya Penyelesaian dan Harapan ke Depan
Untuk memperbaiki situasi HAM di Indonesia, ada beberapa langkah penting yang perlu dilakukan:
1. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara menyeluruh. Pemerintah harus mengedepankan proses hukum yang adil dan transparan, bukan hanya rekonsiliasi yang bersifat simbolis. Keadilan bagi korban hanya bisa tercapai jika pelaku diadili dan kebenaran terungkap secara terbuka.
2. Perluasan ruang kebebasan sipil. Negara wajib melindungi hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, dan berekspresi tanpa takut dikriminalisasi. Pembela HAM, aktivis, dan jurnalis harus mendapat perlindungan hukum dari ancaman dan kekerasan.
3. Penghapusan diskriminasi dan perlakuan tidak adil. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang menjamin kesetaraan bagi seluruh warga negara, termasuk kelompok minoritas, perempuan, dan masyarakat adat. Rasisme terhadap Papua, misalnya, harus diakui dan ditangani dengan serius, namun tidak dapat disangkal.
NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN
Analisis Kritis Kasus Pelanggaran HAM 2019: Perspektif Relasi Kuasa dan Struktur Sosial
Jika kita telaah artikel tersebut dengan kacamata yang lebih kritis, problem HAM di Indonesia tahun 2019 bukan sekadar soal kelalaian negara dalam menegakkan hukum atau ketidakmampuan aparat menjalankan tugas. Persoalan yang lebih mendasar justru terletak pada bagaimana negara—dalam hal ini pemerintah dan aparat keamanannya—berperan aktif mereproduksi ketidakadilan struktural yang menjadi akar pelanggaran HAM itu sendiri. Dengan kata lain, negara bukan hanya “gagal” melindungi HAM, tetapi justru menjadi aktor dominan dalam proses marginalisasi masyarakat sipil, terutama kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, dan penduduk Papua.
Artikel ini menyinggung pembatasan kebebasan berekspresi, namun sebenarnya lebih luas dari itu: pembungkaman ruang sipil ini mencerminkan relasi kuasa antara negara yang hegemonik dengan rakyat yang tidak memiliki cukup ruang untuk menegosiasikan hak-haknya. Upaya mengekang demonstrasi mahasiswa, kriminalisasi aktivis, hingga penggunaan aparat untuk mengintimidasi masyarakat sipil adalah bagian dari strategi negara untuk mempertahankan stabilitas politik dan ekonomi yang pro-elite. Di balik jargon “keamanan nasional” dan “stabilitas”, tersembunyi praktik-praktik kontrol sosial yang justru memperparah ketidaksetaraan, meminggirkan suara minoritas, dan mengabaikan proses keadilan substantif.
Dalam konteks Papua, misalnya, rasisme dan kekerasan struktural bukan hanya disebabkan oleh kegagalan negara menegakkan HAM, melainkan juga oleh sejarah panjang kolonialisme internal, di mana pembangunan ekonomi dan politik di Papua dijalankan dengan mengabaikan aspirasi masyarakat lokal, bahkan mematikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Di sini, konflik HAM tidak bisa dilihat hanya sebagai pelanggaran yang butuh penyelesaian teknis-hukum, tetapi juga sebagai cerminan relasi kuasa yang timpang antara pusat dan daerah, antara elite dan rakyat, antara mayoritas dan minoritas.
Dari perspektif ini, solusi yang diajukan artikel—seperti rekonsiliasi, pengadilan HAM, dan kebijakan antirasisme—hanya akan menjadi tambal sulam jika tidak disertai transformasi mendasar dalam struktur kekuasaan dan distribusi sumber daya. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bukan hanya soal mengadili pelaku, tapi juga soal mendekonstruksi relasi kuasa yang memungkinkan terjadinya pelanggaran berulang. Demikian pula, kebebasan berekspresi tak akan berarti tanpa demokratisasi ekonomi dan politik yang memberi ruang bagi rakyat untuk menjadi subjek, bukan hanya objek kebijakan.
Dengan demikian, pemenuhan HAM di Indonesia bukan sekadar menuntut komitmen pemerintah, melainkan juga perombakan mendasar terhadap struktur negara, agar negara bukan lagi aktor pelanggar HAM, tetapi menjadi mitra rakyat dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial.
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN
Analisis Kritis Kasus Pelanggaran HAM 2019: Perspektif Relasi Kuasa dan Struktur Sosial
Jika kita telaah artikel tersebut dengan kacamata yang lebih kritis, problem HAM di Indonesia tahun 2019 bukan sekadar soal kelalaian negara dalam menegakkan hukum atau ketidakmampuan aparat menjalankan tugas. Persoalan yang lebih mendasar justru terletak pada bagaimana negara—dalam hal ini pemerintah dan aparat keamanannya—berperan aktif mereproduksi ketidakadilan struktural yang menjadi akar pelanggaran HAM itu sendiri. Dengan kata lain, negara bukan hanya “gagal” melindungi HAM, tetapi justru menjadi aktor dominan dalam proses marginalisasi masyarakat sipil, terutama kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, dan penduduk Papua.
Artikel ini menyinggung pembatasan kebebasan berekspresi, namun sebenarnya lebih luas dari itu: pembungkaman ruang sipil ini mencerminkan relasi kuasa antara negara yang hegemonik dengan rakyat yang tidak memiliki cukup ruang untuk menegosiasikan hak-haknya. Upaya mengekang demonstrasi mahasiswa, kriminalisasi aktivis, hingga penggunaan aparat untuk mengintimidasi masyarakat sipil adalah bagian dari strategi negara untuk mempertahankan stabilitas politik dan ekonomi yang pro-elite. Di balik jargon “keamanan nasional” dan “stabilitas”, tersembunyi praktik-praktik kontrol sosial yang justru memperparah ketidaksetaraan, meminggirkan suara minoritas, dan mengabaikan proses keadilan substantif.
Dalam konteks Papua, misalnya, rasisme dan kekerasan struktural bukan hanya disebabkan oleh kegagalan negara menegakkan HAM, melainkan juga oleh sejarah panjang kolonialisme internal, di mana pembangunan ekonomi dan politik di Papua dijalankan dengan mengabaikan aspirasi masyarakat lokal, bahkan mematikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Di sini, konflik HAM tidak bisa dilihat hanya sebagai pelanggaran yang butuh penyelesaian teknis-hukum, tetapi juga sebagai cerminan relasi kuasa yang timpang antara pusat dan daerah, antara elite dan rakyat, antara mayoritas dan minoritas.
Dari perspektif ini, solusi yang diajukan artikel—seperti rekonsiliasi, pengadilan HAM, dan kebijakan antirasisme—hanya akan menjadi tambal sulam jika tidak disertai transformasi mendasar dalam struktur kekuasaan dan distribusi sumber daya. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bukan hanya soal mengadili pelaku, tapi juga soal mendekonstruksi relasi kuasa yang memungkinkan terjadinya pelanggaran berulang. Demikian pula, kebebasan berekspresi tak akan berarti tanpa demokratisasi ekonomi dan politik yang memberi ruang bagi rakyat untuk menjadi subjek, bukan hanya objek kebijakan.
Dengan demikian, pemenuhan HAM di Indonesia bukan sekadar menuntut komitmen pemerintah, melainkan juga perombakan mendasar terhadap struktur negara, agar negara bukan lagi aktor pelanggar HAM, tetapi menjadi mitra rakyat dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial.
Sebagai balasan Kiriman pertama
Re: FORUM JAWABAN ANALIS KASUS
Nama : Martsha Afifah Putri
Npm : 2451011017
Kelas : S1 Manajemen
Artikel “Awan Gelap untuk HAM di Indonesia” menunjukkan bahwa penegakan hak asasi manusia di Indonesia masih sangat lemah, terutama dalam hal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, pembatasan kebebasan sipil, diskriminasi berbasis gender dan ras, serta situasi HAM di Papua. Meskipun begitu, masih ada harapan melalui keterlibatan masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa sebagai kontrol sosial. Demokrasi Indonesia yang idealnya bersumber dari nilai budaya seperti musyawarah dan gotong royong, seharusnya menciptakan keadilan sosial, namun praktiknya sering dibajak oleh elite politik demi kepentingan sendiri. Demokrasi yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan, bukan digunakan untuk membenarkan penindasan. Ketika kekuasaan digunakan untuk menggerakkan rakyat secara emosional demi ambisi pribadi, maka hal itu telah mencederai hak asasi manusia karena rakyat dijadikan alat, bukan subjek utama dari demokrasi itu sendiri.
Npm : 2451011017
Kelas : S1 Manajemen
Artikel “Awan Gelap untuk HAM di Indonesia” menunjukkan bahwa penegakan hak asasi manusia di Indonesia masih sangat lemah, terutama dalam hal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, pembatasan kebebasan sipil, diskriminasi berbasis gender dan ras, serta situasi HAM di Papua. Meskipun begitu, masih ada harapan melalui keterlibatan masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa sebagai kontrol sosial. Demokrasi Indonesia yang idealnya bersumber dari nilai budaya seperti musyawarah dan gotong royong, seharusnya menciptakan keadilan sosial, namun praktiknya sering dibajak oleh elite politik demi kepentingan sendiri. Demokrasi yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan, bukan digunakan untuk membenarkan penindasan. Ketika kekuasaan digunakan untuk menggerakkan rakyat secara emosional demi ambisi pribadi, maka hal itu telah mencederai hak asasi manusia karena rakyat dijadikan alat, bukan subjek utama dari demokrasi itu sendiri.
Nama: Ganianda Gumilang
NPM: 2411011058
Kelas: MKU PKN
Prodi: S1 Manajemen
"Awan Gelap untuk HAM di Indonesia" yang membahas kondisi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada tahun 2019:
Artikel "Awan Gelap untuk HAM di Indonesia" memberikan gambaran suram mengenai kondisi penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia sepanjang tahun 2019. Melalui refleksi dari lembaga-lembaga seperti Komnas HAM, LBH Jakarta, dan pendapat para pakar seperti Usman Hamid dan Asmin Fransiska, terungkap bahwa negara masih jauh dari komitmen utuh terhadap HAM.
kegagalan negara dalam memenuhi hak-hak dasar warganya. Pelanggaran HAM berat di masa lalu belum juga diselesaikan secara adil, bahkan terkesan dibiarkan. Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan beragama, diskriminasi gender, rasisme di Papua, serta vonis mati menjadi bukti konkret kemunduran nilai-nilai HAM. Pemerintah tampak gagal dalam menjamin keadilan, transparansi, dan perlindungan hukum terhadap kelompok rentan.
Demokrasi Indonesia semestinya dibangun atas fondasi nilai-nilai budaya lokal seperti musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial. Dalam konteks adat istiadat, masyarakat Indonesia sejak dahulu memiliki mekanisme penyelesaian konflik berbasis komunitas dan nilai-nilai moral.
Demokrasi Pancasila menempatkan sila pertama—Ketuhanan Yang Maha Esa—sebagai landasan moral dan spiritual. Seharusnya, hal ini mendorong praktik politik yang menjunjung tinggi keadilan, kebenaran, dan penghargaan terhadap sesama manusia. Namun, realitas politik Indonesia menunjukkan penyalahgunaan nilai agama untuk kepentingan politik dan pembenaran kekuasaan, yang justru merusak makna luhur dari demokrasi yang berketuhanan.
Idealnya, demokrasi Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, yang menjamin HAM dan keadilan sosial. Namun, praktik yang ada belum sepenuhnya mencerminkan hal tersebut. Masih banyak kebijakan dan keputusan politik yang mengabaikan kepentingan rakyat dan bertentangan dengan prinsip keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.
NPM: 2411011058
Kelas: MKU PKN
Prodi: S1 Manajemen
"Awan Gelap untuk HAM di Indonesia" yang membahas kondisi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada tahun 2019:
Artikel "Awan Gelap untuk HAM di Indonesia" memberikan gambaran suram mengenai kondisi penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia sepanjang tahun 2019. Melalui refleksi dari lembaga-lembaga seperti Komnas HAM, LBH Jakarta, dan pendapat para pakar seperti Usman Hamid dan Asmin Fransiska, terungkap bahwa negara masih jauh dari komitmen utuh terhadap HAM.
kegagalan negara dalam memenuhi hak-hak dasar warganya. Pelanggaran HAM berat di masa lalu belum juga diselesaikan secara adil, bahkan terkesan dibiarkan. Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan beragama, diskriminasi gender, rasisme di Papua, serta vonis mati menjadi bukti konkret kemunduran nilai-nilai HAM. Pemerintah tampak gagal dalam menjamin keadilan, transparansi, dan perlindungan hukum terhadap kelompok rentan.
Demokrasi Indonesia semestinya dibangun atas fondasi nilai-nilai budaya lokal seperti musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial. Dalam konteks adat istiadat, masyarakat Indonesia sejak dahulu memiliki mekanisme penyelesaian konflik berbasis komunitas dan nilai-nilai moral.
Demokrasi Pancasila menempatkan sila pertama—Ketuhanan Yang Maha Esa—sebagai landasan moral dan spiritual. Seharusnya, hal ini mendorong praktik politik yang menjunjung tinggi keadilan, kebenaran, dan penghargaan terhadap sesama manusia. Namun, realitas politik Indonesia menunjukkan penyalahgunaan nilai agama untuk kepentingan politik dan pembenaran kekuasaan, yang justru merusak makna luhur dari demokrasi yang berketuhanan.
Idealnya, demokrasi Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, yang menjamin HAM dan keadilan sosial. Namun, praktik yang ada belum sepenuhnya mencerminkan hal tersebut. Masih banyak kebijakan dan keputusan politik yang mengabaikan kepentingan rakyat dan bertentangan dengan prinsip keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.
Nama : Evania Nurresya Arsana
NPM : 2451011044
Kelas : MKU Pancasila 2025
Prodi :S1 Manajemen
Analisis Kasus
A. Bagaimanakah isi artikel tersebut dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia dan berikan analisismu secara jelas? Hal positif apa yang Anda dapatkan setelah membaca artikel tersebut?
Artikel "Awan Gelap untuk HAM di Indonesia" menyampaikan kondisi penegakan HAM di Indonesia yang masih memprihatinkan. Banyak pelanggaran HAM berat masa lalu belum terselesaikan, kebebasan sipil dibatasi, serta masih maraknya diskriminasi terhadap kelompok rentan, terutama di Papua. Komnas HAM dan LBH Jakarta bahkan menyoroti kembalinya gaya otoritarian yang mempersempit ruang ekspresi publik.
Analisis saya, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara aturan hukum dan implementasinya. HAM di Indonesia belum menjadi prioritas utama negara, meskipun secara normatif Indonesia sudah meratifikasi banyak perjanjian internasional. Namun, ada sisi positif yang tetap bisa dilihat: kebangkitan masyarakat sipil, mahasiswa, dan komunitas lokal yang tetap kritis dan berani menyuarakan keadilan, seperti yang terjadi di Kendeng dan Bali. Ini menjadi harapan bahwa penegakan HAM tetap bisa diperjuangkan dari bawah.
B. Berikan analisismu mengenai demokrasi Indonesia diambil dari nilai-nilai adat istiadat/budaya asli masyarakat Indonesia! Bagaimanakah pendapatmu mengenai prinsip demokrasi Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa?
Demokrasi di Indonesia sebenarnya memiliki akar kuat dalam budaya lokal, seperti nilai musyawarah, mufakat, dan gotong royong. Ini mencerminkan bahwa demokrasi kita seharusnya tidak meniru sepenuhnya model Barat, tapi lebih menyesuaikan dengan konteks budaya Indonesia yang menjunjung kebersamaan dan kesepakatan bersama.
Mengenai prinsip demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, saya melihat ini sebagai prinsip yang menyeimbangkan antara kebebasan dan tanggung jawab moral. Demokrasi kita seharusnya tidak bebas semaunya, tapi tetap berlandaskan nilai-nilai etika, kemanusiaan, dan spiritualitas. Namun di lapangan, nilai ini kadang disalahgunakan untuk melegitimasi intoleransi atau dominasi kelompok tertentu atas nama agama. Padahal, seharusnya nilai Ketuhanan menumbuhkan rasa saling menghormati dan keadilan antarumat manusia.
C. Bagaimanakah praktik demokrasi Indonesia saat ini apakah telah sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945 serta menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia?
Secara konstitusi, demokrasi Indonesia memang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung HAM. Namun dalam praktiknya, masih banyak yang tidak sesuai. Misalnya, pembatasan kebebasan berpendapat, kriminalisasi aktivis, ketimpangan ekonomi, dan masih lemahnya perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Menurut saya, demokrasi kita lebih banyak berjalan secara prosedural—hanya sebatas pemilu dan representasi—namun belum menyentuh demokrasi substansial yang menjunjung keadilan sosial, kemanusiaan, dan persamaan hak. Artinya, prinsip-prinsip dalam Pancasila seperti sila ke-2 (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila ke-5 (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) belum benar-benar diwujudkan.
D. Bagaimanakah sikap Anda mengenai kondisi di mana anggota parlemen yang mengatasnamakan suara rakyat tetapi melaksanakan agenda politik mereka sendiri dan berbeda dengan kepentingan nyata masyarakat?
Saya menilai bahwa kondisi ini adalah bentuk nyata dari kegagalan representasi dalam sistem demokrasi. Ketika anggota parlemen mengatasnamakan suara rakyat tetapi justru menjalankan agenda pribadi atau partainya, maka kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif semakin terkikis.
Sebagai mahasiswa, saya merasa bahwa kita tidak bisa tinggal diam. Harus ada kesadaran kolektif untuk terus mengawasi, mengkritisi, dan menuntut transparansi serta akuntabilitas wakil rakyat. Demokrasi hanya bisa berjalan baik jika rakyat tetap aktif dalam menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap pemimpinnya.
E. Bagaimanakah pendapatmu mengenai pihak-pihak yang memiliki kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi, maupun agama, tega menggerakkan loyalitas dan emosi rakyat yang bila perlu menjadi tumbal untuk tujuan yang tidak jelas dan bagaimanakah hubungannya dengan konsep hak asasi manusia pada era demokrasi dewasa saat ini?
Menurut saya, penggunaan kekuasaan kharismatik—baik yang berbasis tradisi maupun agama—untuk menggerakkan massa secara emosional demi tujuan yang tidak jelas adalah bentuk manipulasi yang berbahaya. Ini bisa menjebak masyarakat dalam fanatisme yang membutakan nalar dan kesadaran kritis. Ketika rakyat dijadikan alat politik, bahkan sampai jadi “tumbal”, maka jelas itu melanggar prinsip dasar HAM.
Dalam era demokrasi yang sehat, kekuasaan harus dijalankan secara rasional dan bertanggung jawab, bukan dengan menunggangi emosi atau simbol keagamaan demi kekuasaan. Hak asasi manusia menjamin kebebasan berpikir, memilih, dan menolak keterlibatan dalam gerakan yang tidak berdasar. Oleh karena itu, kekuasaan kharismatik harus tunduk pada prinsip-prinsip HAM dan demokrasi yang adil.
NPM : 2451011044
Kelas : MKU Pancasila 2025
Prodi :S1 Manajemen
Analisis Kasus
A. Bagaimanakah isi artikel tersebut dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia dan berikan analisismu secara jelas? Hal positif apa yang Anda dapatkan setelah membaca artikel tersebut?
Artikel "Awan Gelap untuk HAM di Indonesia" menyampaikan kondisi penegakan HAM di Indonesia yang masih memprihatinkan. Banyak pelanggaran HAM berat masa lalu belum terselesaikan, kebebasan sipil dibatasi, serta masih maraknya diskriminasi terhadap kelompok rentan, terutama di Papua. Komnas HAM dan LBH Jakarta bahkan menyoroti kembalinya gaya otoritarian yang mempersempit ruang ekspresi publik.
Analisis saya, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara aturan hukum dan implementasinya. HAM di Indonesia belum menjadi prioritas utama negara, meskipun secara normatif Indonesia sudah meratifikasi banyak perjanjian internasional. Namun, ada sisi positif yang tetap bisa dilihat: kebangkitan masyarakat sipil, mahasiswa, dan komunitas lokal yang tetap kritis dan berani menyuarakan keadilan, seperti yang terjadi di Kendeng dan Bali. Ini menjadi harapan bahwa penegakan HAM tetap bisa diperjuangkan dari bawah.
B. Berikan analisismu mengenai demokrasi Indonesia diambil dari nilai-nilai adat istiadat/budaya asli masyarakat Indonesia! Bagaimanakah pendapatmu mengenai prinsip demokrasi Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa?
Demokrasi di Indonesia sebenarnya memiliki akar kuat dalam budaya lokal, seperti nilai musyawarah, mufakat, dan gotong royong. Ini mencerminkan bahwa demokrasi kita seharusnya tidak meniru sepenuhnya model Barat, tapi lebih menyesuaikan dengan konteks budaya Indonesia yang menjunjung kebersamaan dan kesepakatan bersama.
Mengenai prinsip demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, saya melihat ini sebagai prinsip yang menyeimbangkan antara kebebasan dan tanggung jawab moral. Demokrasi kita seharusnya tidak bebas semaunya, tapi tetap berlandaskan nilai-nilai etika, kemanusiaan, dan spiritualitas. Namun di lapangan, nilai ini kadang disalahgunakan untuk melegitimasi intoleransi atau dominasi kelompok tertentu atas nama agama. Padahal, seharusnya nilai Ketuhanan menumbuhkan rasa saling menghormati dan keadilan antarumat manusia.
C. Bagaimanakah praktik demokrasi Indonesia saat ini apakah telah sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945 serta menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia?
Secara konstitusi, demokrasi Indonesia memang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung HAM. Namun dalam praktiknya, masih banyak yang tidak sesuai. Misalnya, pembatasan kebebasan berpendapat, kriminalisasi aktivis, ketimpangan ekonomi, dan masih lemahnya perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Menurut saya, demokrasi kita lebih banyak berjalan secara prosedural—hanya sebatas pemilu dan representasi—namun belum menyentuh demokrasi substansial yang menjunjung keadilan sosial, kemanusiaan, dan persamaan hak. Artinya, prinsip-prinsip dalam Pancasila seperti sila ke-2 (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila ke-5 (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) belum benar-benar diwujudkan.
D. Bagaimanakah sikap Anda mengenai kondisi di mana anggota parlemen yang mengatasnamakan suara rakyat tetapi melaksanakan agenda politik mereka sendiri dan berbeda dengan kepentingan nyata masyarakat?
Saya menilai bahwa kondisi ini adalah bentuk nyata dari kegagalan representasi dalam sistem demokrasi. Ketika anggota parlemen mengatasnamakan suara rakyat tetapi justru menjalankan agenda pribadi atau partainya, maka kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif semakin terkikis.
Sebagai mahasiswa, saya merasa bahwa kita tidak bisa tinggal diam. Harus ada kesadaran kolektif untuk terus mengawasi, mengkritisi, dan menuntut transparansi serta akuntabilitas wakil rakyat. Demokrasi hanya bisa berjalan baik jika rakyat tetap aktif dalam menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap pemimpinnya.
E. Bagaimanakah pendapatmu mengenai pihak-pihak yang memiliki kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi, maupun agama, tega menggerakkan loyalitas dan emosi rakyat yang bila perlu menjadi tumbal untuk tujuan yang tidak jelas dan bagaimanakah hubungannya dengan konsep hak asasi manusia pada era demokrasi dewasa saat ini?
Menurut saya, penggunaan kekuasaan kharismatik—baik yang berbasis tradisi maupun agama—untuk menggerakkan massa secara emosional demi tujuan yang tidak jelas adalah bentuk manipulasi yang berbahaya. Ini bisa menjebak masyarakat dalam fanatisme yang membutakan nalar dan kesadaran kritis. Ketika rakyat dijadikan alat politik, bahkan sampai jadi “tumbal”, maka jelas itu melanggar prinsip dasar HAM.
Dalam era demokrasi yang sehat, kekuasaan harus dijalankan secara rasional dan bertanggung jawab, bukan dengan menunggangi emosi atau simbol keagamaan demi kekuasaan. Hak asasi manusia menjamin kebebasan berpikir, memilih, dan menolak keterlibatan dalam gerakan yang tidak berdasar. Oleh karena itu, kekuasaan kharismatik harus tunduk pada prinsip-prinsip HAM dan demokrasi yang adil.