FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

Number of replies: 6
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

neesha zefanya གིས-
Nama : Neesha Zefanya Putri Irawan
Npm : 2411011071
Kelas : Manajemen

analisis jurnal

Jurnal “Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara” mengangkat isu penting terkait bagaimana penegakan hukum di Indonesia tidak hanya soal penerapan aturan, tetapi juga berkaitan erat dengan perlindungan negara terhadap seluruh warga negaranya. Dalam jurnal ini, kasus penistaan agama yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dijadikan studi kasus untuk melihat bagaimana proses hukum berjalan di tengah tekanan sosial dan politik. Penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan lembaga hukum dianggap sebagai upaya yang berdasarkan pertimbangan hukum, bukan semata karena tekanan massa. Namun, jurnal ini juga menyoroti bahwa kualitas penegak hukum, seperti integritas dan profesionalisme aparat, masih menjadi tantangan utama dalam memastikan hukum ditegakkan secara adil dan tidak diskriminatif.

Menurut saya, jurnal ini menekankan pentingnya perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif, sesuai teori Philipus M. Hadjon, di mana pemerintah harus mampu mencegah pelanggaran hukum sekaligus bertindak tegas saat pelanggaran terjadi. Maruapey juga mengkritisi kondisi penegakan hukum di Indonesia yang masih menghadapi berbagai kendala, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi hukum yang selama ini digaungkan belum sepenuhnya berhasil mengatasi masalah mendasar dalam sistem hukum Indonesia. Oleh karena itu, jurnal ini mengajak mahasiswa untuk memahami bahwa penegakan hukum yang efektif harus didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang jujur dan berintegritas serta sistem hukum yang transparan dan akuntabel demi terciptanya negara yang benar-benar melindungi warganya.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

Anisa Futri གིས-
NAMA : ANISA FUTRI
NPM : 2411011119
KELAS : MANAJEMEN

ANALISIS JURNAL
Video ini membahas kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), saat itu menjabat sebagai Gubernur non-aktif DKI Jakarta. Ahok dikenal sebagai pemimpin yang lugas dan tidak ragu menegur bawahannya secara terbuka, namun gaya kepemimpinannya ini juga menimbulkan polemik. Kontroversi memuncak ketika ia diduga menghina ajaran Islam lewat ucapannya yang menyinggung Alquran. Penetapan Ahok sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri didasarkan pada pertimbangan hukum, meskipun tekanan publik melalui aksi demonstrasi besar pada 4 November 2016 sangat terasa.
Dinamika Sosial dan Politik
Aksi demonstrasi yang melibatkan mayoritas umat Muslim, ulama, dan berbagai elemen masyarakat menuntut agar proses hukum terhadap Ahok dilakukan secara adil dan transparan. Walaupun aksi tersebut berlangsung damai, Kapolri mengungkapkan adanya upaya segelintir pihak yang ingin memanfaatkan situasi untuk kepentingan tertentu. Hal ini menegaskan pentingnya peran negara dalam menjaga ketertiban dan keadilan hukum bagi semua warga, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UUD 1945 tentang persamaan di depan hukum.
Dimensi Kepemimpinan dan Minoritas
Kasus ini juga memperlihatkan tantangan yang dihadapi pemimpin dari kelompok minoritas, khususnya etnis Tionghoa. Ahok adalah gubernur Tionghoa pertama yang memimpin Jakarta, menjadi simbol kemajuan hak politik minoritas pasca-Orde Baru. Namun, posisinya sebagai minoritas non-Muslim di jabatan strategis membuat isu agama dan etnis menjadi sangat sensitif dalam kehidupan sosial dan politik.
Analisis Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara
Penanganan hukum dalam kasus ini menjadi ujian bagi integritas institusi penegak hukum Indonesia. Menurut teori Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum dapat berupa upaya pencegahan maupun penindakan setelah terjadi pelanggaran. Dalam kasus Ahok, negara harus mampu memberikan perlindungan hukum yang adil, baik kepada masyarakat yang merasa tersinggung maupun kepada Ahok sebagai warga negara yang berhak atas proses hukum yang jujur dan tidak diskriminatif.
Penegakan hukum bukan sekadar menjalankan aturan, tetapi juga harus berlandaskan prinsip keadilan dan kebenaran. Proses hukum terhadap Ahok harus dilakukan secara terbuka, objektif, dan bebas dari tekanan politik atau massa, agar tidak terjadi kriminalisasi atau diskriminasi terhadap individu, terutama dari kelompok minoritas.
Kesimpulan
Kasus Ahok mencerminkan kerumitan hubungan antara hukum, politik, sosial, dan isu minoritas di Indonesia. Negara dituntut untuk bertindak adil, melindungi seluruh warga tanpa membedakan latar belakang, serta menegakkan hukum secara profesional dan terbuka. Penanganan kasus ini menjadi tolok ukur penting bagi supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia di tengah masyarakat yang beragam.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

fany rahmawati གིས-
Nama: Fany Rahmawati
Npm: 2411011052
Prodi: S1 manajemen




Jurnal ini membahas penegakan hukum dan perlindungan negara dengan studi kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Fokus utamanya adalah bagaimana negara, sebagai pemegang kekuasaan hukum, seharusnya menegakkan hukum secara adil, objektif, dan berdasarkan prinsip negara hukum sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, khususnya Pasal 27 yang menjamin persamaan kedudukan di depan hukum bagi seluruh warga negara.

Penulis menyoroti bagaimana penegakan hukum di Indonesia sering kali tidak murni berdasarkan keadilan dan aturan, melainkan cenderung dipengaruhi tekanan massa, kepentingan politik, serta kelemahan integritas aparat hukum itu sendiri. Dalam konteks kasus Ahok, meskipun proses hukum tetap berjalan dan dinyatakan berdasarkan pertimbangan hukum, tapi publik melihat ada unsur tekanan dari gelombang demonstrasi besar-besaran. Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih lemah secara substansi dan pelaksanaannya rentan intervensi.

Penulis mengutip teori Philipus M. Hadjon mengenai dua bentuk perlindungan hukum: preventif dan represif. Idealnya, negara harus mengedepankan perlindungan preventif agar potensi pelanggaran hukum bisa dicegah sejak awal, namun dalam praktiknya sering kali negara baru bertindak setelah pelanggaran terjadi (represif). Ini menunjukkan lemahnya sistem antisipasi dalam hukum Indonesia.

Selain itu, jurnal ini juga menyinggung faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan penegakan hukum, seperti kualitas hukum itu sendiri, integritas aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim), fasilitas pendukung, kondisi masyarakat, serta budaya hukum. Sayangnya, semua faktor ini masih menunjukkan banyak kelemahan di Indonesia, mulai dari mentalitas aparat yang masih mudah disuap, rekrutmen yang tidak transparan, hingga budaya hukum masyarakat yang masih rendah.

Di bagian akhir, penulis menilai bahwa penegakan hukum di Indonesia belum mencerminkan rule of just law (pemerintahan berdasarkan hukum yang adil), melainkan cenderung pada rule by law, di mana hukum dijadikan alat kekuasaan. Kasus Ahok hanya satu dari banyak contoh bahwa hukum bisa saja ditegakkan, tetapi keadilan sosial belum tentu tercapai.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

NADIV NAFIS WAVI གིས-
NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN

Analisis Jurnal : Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara

Jurnal ini membuka ruang diskusi yang luas mengenai peran penegakan hukum dalam menjamin perlindungan negara terhadap hak-hak warganya. Isu yang diangkat bukan hanya sekadar implementasi peraturan di atas kertas, tetapi juga tentang bagaimana hukum berfungsi sebagai instrumen negara dalam menghadirkan rasa keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa diskriminasi. Penulis jurnal ini menitikberatkan pada pentingnya keseimbangan antara proses hukum yang profesional dan independen dengan dinamika sosial-politik yang tidak jarang mempengaruhi jalannya keadilan. Studi kasus yang diambil, yakni perkara yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menjadi contoh nyata bagaimana proses hukum di Indonesia kerap diwarnai oleh tekanan publik yang massif, sehingga berpotensi memengaruhi objektivitas hukum itu sendiri.

Jika ditelaah lebih dalam, jurnal ini sebenarnya mengajak pembaca untuk melihat lebih luas bahwa proses penegakan hukum di Indonesia masih kerap dihadapkan pada dilema antara kepentingan hukum dan kepentingan politik. Penulis mengkritisi bagaimana opini publik dapat menjadi faktor penentu dalam mempengaruhi jalannya proses hukum, meskipun secara teoritis hukum seharusnya tegak berdiri di atas prinsip keadilan dan independensi. Ini menunjukkan adanya kerentanan di dalam sistem hukum Indonesia, di mana pihak-pihak tertentu dapat memanfaatkan opini massa sebagai tekanan untuk mempengaruhi aparat penegak hukum. Fenomena ini semakin mempertegas bahwa hukum di Indonesia belum sepenuhnya steril dari intervensi eksternal yang berpotensi mengaburkan prinsip keadilan substantif.

Lebih jauh lagi, jurnal ini juga menyinggung masalah integritas aparat penegak hukum yang menjadi kunci utama dalam memastikan keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Di tengah maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masih menghantui banyak lembaga negara, profesionalisme aparat penegak hukum menjadi isu yang sangat krusial. Kualitas sumber daya manusia yang rendah, ditambah lemahnya kontrol internal lembaga, seringkali menjadi pintu masuk bagi perilaku koruptif yang melemahkan fungsi hukum sebagai pilar demokrasi. Dari perspektif yang lebih luas, jurnal ini secara tidak langsung ingin menegaskan bahwa tanpa pembenahan sistemik dan komitmen moral dari aparat hukum sendiri, upaya penegakan hukum di Indonesia hanya akan berakhir sebagai formalitas belaka yang kehilangan ruh keadilannya.

Dalam pandangan saya, jurnal ini memberikan refleksi kritis tentang bagaimana hukum semestinya bukan hanya menjadi alat negara untuk menegakkan ketertiban, tetapi juga menjadi benteng bagi hak-hak warga negara agar tidak dikalahkan oleh kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Pendekatan preventif dan represif yang diuraikan oleh Philipus M. Hadjon menjadi sangat relevan di sini, yaitu bagaimana negara tidak hanya bertindak setelah terjadi pelanggaran, tetapi juga aktif melakukan upaya pencegahan melalui kebijakan yang adil, edukasi hukum kepada masyarakat, serta penguatan pengawasan internal. Dengan demikian, penegakan hukum yang sejati bukan hanya sekadar proses hukum di ruang sidang, tetapi juga upaya kolektif dalam membangun budaya hukum yang menghargai nilai-nilai keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.

Kesimpulannya, jurnal ini memberikan pemahaman mendalam tentang tantangan dan kompleksitas penegakan hukum di Indonesia. Penulis mengingatkan bahwa penegakan hukum tidak akan pernah efektif tanpa adanya integritas aparat, sistem yang bersih, serta komitmen politik yang jelas untuk menegakkan supremasi hukum. Reformasi hukum di Indonesia, karenanya, tidak cukup hanya dengan mengganti undang-undang atau peraturan semata, tetapi juga harus menyasar pada perubahan pola pikir, etika, dan budaya aparat hukum itu sendiri. Tanpa pembenahan tersebut, keadilan di Indonesia akan terus berada di persimpangan antara idealisme dan realitas sosial-politik yang sarat kepentingan.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

Ganianda Gumilang གིས-
Nama: Ganianda Gumilang
NPM: 2411011058
Kelas: Manajemen

“Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara (Analisis Kritis Terhadap Kasus Penistaan Agama oleh Patahana Gubernur DKI Jakarta)” oleh M. Husein Maruapey:

Isu penegakan hukum di Indonesia kembali menjadi sorotan publik saat kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta saat itu, mencuat ke permukaan pada akhir tahun 2016. Kasus ini bukan hanya menjadi polemik hukum, tetapi juga menjadi titik temu yang kompleks antara hukum, politik, agama, dan relasi sosial antar kelompok masyarakat.

Ahok dikenal dengan gaya kepemimpinan yang tegas, ceplas-ceplos, dan tanpa kompromi terhadap praktik birokrasi korup dan tidak efisien. Sebagian masyarakat menganggap pendekatannya sebagai bentuk kepemimpinan modern yang berani dan progresif. Namun, ketegasan yang ditunjukkannya juga dianggap sebagai sikap arogan dan menyinggung sensitivitas kultural maupun agama, terutama ketika ia mengutip Al-Qur’an dalam salah satu pidatonya, yang kemudian dituduh sebagai tindakan penistaan agama.

Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh kelompok umat Islam pada 4 November 2016 dan 2 Desember 2016 (aksi 411 dan 212) menjadi puncak ekspresi publik atas keresahan terhadap isu tersebut. Meskipun demonstrasi berlangsung damai, penulis artikel menyoroti adanya aktor-aktor yang ingin memanfaatkan situasi untuk tindakan inkonstitusional. Di sini, negara sebagai institusi tertinggi dituntut tidak hanya menjaga ketertiban hukum, tetapi juga memfasilitasi ruang keadilan yang setara bagi semua warga negara.

Masalah utama dalam penegakan hukum di Indonesia bukanlah terletak pada lemahnya aturan hukum, melainkan pada kualitas dan integritas penegak hukum itu sendiri. Artikel ini secara lugas menyinggung rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga hukum, karena persepsi bahwa hukum masih bisa diperjualbelikan, ditekan oleh kekuatan politik, atau hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Konstitusi Indonesia melalui Pasal 27 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan pemerintahan. Prinsip ini menjadi dasar bagi negara hukum yang berkeadilan. Namun dalam praktiknya, seperti disoroti dalam artikel, masyarakat kerap kali menyaksikan ketimpangan penerapan hukum, khususnya ketika yang bersangkutan adalah tokoh publik, pejabat, atau minoritas etnis dan agama.

Ahok, sebagai seorang Tionghoa dan non-Muslim, berada dalam posisi minoritas ganda. Sentimen tersebut turut memperkeruh suasana saat kasus hukum menyeretnya. Ini menunjukkan bahwa penerapan hukum di Indonesia masih rentan terhadap tekanan sosial, politisasi isu agama, dan penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan.
In reply to First post

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

Evania Nurresya གིས-
Nama :Evania Nurresya Arsana
NPM : 2451011044
Kelas : MKU Pancasila Manajemen

Izin memberi analisis terkait jurnal, artikel ini membahas kasus hukum terkait dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan bagaimana penegakan hukum dijalankan dalam suasana politik dan sosial yang penuh tekanan. Penulis mengkritisi perlindungan negara terhadap seluruh warga negara tanpa diskriminasi, termasuk dalam kasus Ahok yang memicu aksi massa besar-besaran. Penulis menekankan pentingnya prinsip persamaan di mata hukum (Pasal 27 UUD 1945) serta objektivitas aparat hukum agar tidak tunduk pada tekanan publik maupun kepentingan politik.

Dari sudut pandang akademis, jurnal ini menyoroti dua aspek penting: penegakan hukum dan perlindungan hukum. Penegakan hukum bukan hanya soal penerapan aturan, tetapi harus berlandaskan nilai keadilan dan etika sosial. Sementara perlindungan hukum harus hadir dalam bentuk preventif dan represif, sebagaimana dikemukakan oleh ahli hukum Philipus M. Hadjon. Penulis juga menyinggung masalah diskriminasi yang masih dialami etnis Tionghoa di Indonesia serta bagaimana Ahok menjadi figur simbolik dari perlawanan terhadap diskriminasi tersebut.

Menurut saya sebagai mahasiswa, jurnal ini sangat membuka mata terhadap tantangan besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Walaupun konstitusi menjamin persamaan di mata hukum, praktiknya seringkali dipengaruhi oleh tekanan sosial, politik identitas, dan persepsi mayoritas. Kasus Ahok menjadi contoh nyata bagaimana hukum bisa ditarik ke ranah politik dan identitas agama, bukan hanya keadilan objektif. Di sisi lain, saya juga memahami bahwa kehadiran negara bukan hanya untuk menjatuhkan sanksi, tetapi juga melindungi warganya dari kesewenang-wenangan—baik oleh aparat, massa, maupun sistem hukum itu sendiri. Yang paling penting, hukum harus tetap berdiri di atas semua golongan, bukan tunduk pada suara mayoritas atau tekanan jalanan. Sebab tanpa keadilan substantif, demokrasi kita akan pincang.