Posts made by NADIV NAFIS WAVI

NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN

Analisis Jurnal : Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara

Jurnal ini membuka ruang diskusi yang luas mengenai peran penegakan hukum dalam menjamin perlindungan negara terhadap hak-hak warganya. Isu yang diangkat bukan hanya sekadar implementasi peraturan di atas kertas, tetapi juga tentang bagaimana hukum berfungsi sebagai instrumen negara dalam menghadirkan rasa keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa diskriminasi. Penulis jurnal ini menitikberatkan pada pentingnya keseimbangan antara proses hukum yang profesional dan independen dengan dinamika sosial-politik yang tidak jarang mempengaruhi jalannya keadilan. Studi kasus yang diambil, yakni perkara yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menjadi contoh nyata bagaimana proses hukum di Indonesia kerap diwarnai oleh tekanan publik yang massif, sehingga berpotensi memengaruhi objektivitas hukum itu sendiri.

Jika ditelaah lebih dalam, jurnal ini sebenarnya mengajak pembaca untuk melihat lebih luas bahwa proses penegakan hukum di Indonesia masih kerap dihadapkan pada dilema antara kepentingan hukum dan kepentingan politik. Penulis mengkritisi bagaimana opini publik dapat menjadi faktor penentu dalam mempengaruhi jalannya proses hukum, meskipun secara teoritis hukum seharusnya tegak berdiri di atas prinsip keadilan dan independensi. Ini menunjukkan adanya kerentanan di dalam sistem hukum Indonesia, di mana pihak-pihak tertentu dapat memanfaatkan opini massa sebagai tekanan untuk mempengaruhi aparat penegak hukum. Fenomena ini semakin mempertegas bahwa hukum di Indonesia belum sepenuhnya steril dari intervensi eksternal yang berpotensi mengaburkan prinsip keadilan substantif.

Lebih jauh lagi, jurnal ini juga menyinggung masalah integritas aparat penegak hukum yang menjadi kunci utama dalam memastikan keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Di tengah maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masih menghantui banyak lembaga negara, profesionalisme aparat penegak hukum menjadi isu yang sangat krusial. Kualitas sumber daya manusia yang rendah, ditambah lemahnya kontrol internal lembaga, seringkali menjadi pintu masuk bagi perilaku koruptif yang melemahkan fungsi hukum sebagai pilar demokrasi. Dari perspektif yang lebih luas, jurnal ini secara tidak langsung ingin menegaskan bahwa tanpa pembenahan sistemik dan komitmen moral dari aparat hukum sendiri, upaya penegakan hukum di Indonesia hanya akan berakhir sebagai formalitas belaka yang kehilangan ruh keadilannya.

Dalam pandangan saya, jurnal ini memberikan refleksi kritis tentang bagaimana hukum semestinya bukan hanya menjadi alat negara untuk menegakkan ketertiban, tetapi juga menjadi benteng bagi hak-hak warga negara agar tidak dikalahkan oleh kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Pendekatan preventif dan represif yang diuraikan oleh Philipus M. Hadjon menjadi sangat relevan di sini, yaitu bagaimana negara tidak hanya bertindak setelah terjadi pelanggaran, tetapi juga aktif melakukan upaya pencegahan melalui kebijakan yang adil, edukasi hukum kepada masyarakat, serta penguatan pengawasan internal. Dengan demikian, penegakan hukum yang sejati bukan hanya sekadar proses hukum di ruang sidang, tetapi juga upaya kolektif dalam membangun budaya hukum yang menghargai nilai-nilai keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.

Kesimpulannya, jurnal ini memberikan pemahaman mendalam tentang tantangan dan kompleksitas penegakan hukum di Indonesia. Penulis mengingatkan bahwa penegakan hukum tidak akan pernah efektif tanpa adanya integritas aparat, sistem yang bersih, serta komitmen politik yang jelas untuk menegakkan supremasi hukum. Reformasi hukum di Indonesia, karenanya, tidak cukup hanya dengan mengganti undang-undang atau peraturan semata, tetapi juga harus menyasar pada perubahan pola pikir, etika, dan budaya aparat hukum itu sendiri. Tanpa pembenahan tersebut, keadilan di Indonesia akan terus berada di persimpangan antara idealisme dan realitas sosial-politik yang sarat kepentingan.
NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN

ANALISIS VIDEO

Konsep ketahanan nasional mengacu pada kemampuan kolektif suatu bangsa untuk mempertahankan eksistensi, kemandirian, dan keutuhan wilayahnya di tengah berbagai ancaman yang dapat menggerus stabilitas negara. Ketahanan nasional bukanlah sesuatu yang statis, melainkan bersifat adaptif dan menyeluruh, mencakup seluruh komponen bangsa tanpa terkecuali. Nilai strategis dari ketahanan nasional terletak pada sinergi antara keuletan fisik dan mental rakyat, serta daya tahan sistem pemerintahan dan tatanan sosial dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) yang kompleks.

Ancaman yang menguji ketahanan nasional dapat muncul dari berbagai dimensi dan tidak terbatas pada ancaman militer saja. Dalam konteks globalisasi dan keterbukaan informasi, ancaman ideologis, politik, ekonomi, dan budaya kerap hadir dengan wujud yang lebih halus namun berdampak destruktif. Misalnya, penetrasi budaya asing yang dapat mengikis identitas bangsa, atau dominasi ekonomi oleh pihak luar yang secara perlahan menguasai aset strategis dalam negeri. Tentu saja, ancaman konvensional seperti invasi militer atau agresi bersenjata juga masih relevan, walaupun kini lebih jarang terjadi secara frontal. Oleh sebab itu, ketahanan nasional menjadi benteng penting untuk menjaga empat sasaran utama yang menjadi tonggak berdirinya negara, yakni: keutuhan wilayah nasional, identitas bangsa, keberlangsungan hidup negara, serta kesinambungan perjuangan dalam mewujudkan cita-cita nasional.

Untuk memperkuat ketahanan nasional secara efektif, konsep ini kemudian dibedah menjadi dua kerangka analitis yang saling melengkapi. Pertama adalah Trigatra, yang menitikberatkan pada aspek-aspek alamiah yang meliputi kondisi geografis, potensi kekayaan alam, dan kualitas demografi bangsa. Lokasi geografis Indonesia yang strategis, misalnya, bisa menjadi keunggulan tetapi juga potensi kerawanan jika tidak dikelola secara bijaksana. Kedua adalah Pancagatra, yang berfokus pada aspek-aspek sosial buatan, seperti ideologi negara, sistem politik, ekonomi nasional, kondisi sosial budaya, dan ketahanan di bidang pertahanan-keamanan. Ketahanan nasional yang tangguh tidak hanya membutuhkan kesadaran akan kondisi fisik negara, tetapi juga kesadaran ideologis agar bangsa ini tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh asing.

Sebagai contoh konkret, gangguan terhadap Trigatra dapat berupa maraknya pencurian sumber daya laut oleh kapal asing yang menggerogoti potensi ekonomi bangsa. Sementara itu, pada dimensi Pancagatra, ancaman ideologis seperti penyebaran paham radikal dan ideologi transnasional dapat menggoyahkan kesetiaan warga negara terhadap ideologi Pancasila. Tantangan lain juga muncul dalam bentuk budaya populer global yang perlahan melemahkan nilai-nilai lokal dan identitas bangsa. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peran yang sangat sentral sebagai pondasi utama untuk memperkuat kesadaran nasionalisme dan rasa cinta tanah air. Dengan pendidikan yang mumpuni, masyarakat akan memiliki daya tangkal yang kuat terhadap provokasi, pengaruh negatif budaya asing, dan berbagai strategi infiltrasi asing yang bisa melemahkan ketahanan bangsa secara halus.

Dalam kesimpulannya, ketahanan nasional tidak hanya sekadar slogan atau jargon belaka, melainkan merupakan instrumen strategis yang harus ditanamkan dalam setiap elemen kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran akan pentingnya ketahanan nasional harus menjadi bagian dari kesadaran kolektif bangsa, terutama di era keterbukaan saat ini yang penuh dengan persaingan dan penetrasi kepentingan global. Pendidikan, literasi kebangsaan, serta penguatan nilai-nilai Pancasila menjadi kunci agar masyarakat Indonesia tidak mudah terpengaruh oleh kekuatan asing yang berupaya menanamkan pengaruh ideologis, ekonomi, atau budaya yang dapat mengikis keutuhan bangsa. Dengan demikian, ketahanan nasional yang kokoh menjadi prasyarat mutlak untuk mewujudkan Indonesia yang maju, bermartabat, dan berdaulat.
NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
S1 MANAJEMEN

Analisis Jurnal

Demokrasi sebagai Manifestasi Sila Keempat Pancasila dalam Pemilihan Umum Daerah di Indonesia

Jurnal tersebut (Analisis Jurnal) menyajikan pemikiran kritis mengenai bagaimana demokrasi di Indonesia seharusnya menginternalisasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sila keempat Pancasila, yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Penulis jurnal ini menekankan bahwa Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) seharusnya tidak hanya menjadi ajang formal untuk memilih pemimpin, melainkan juga menjadi ruang aktualisasi nilai demokrasi Pancasila secara substantif. Namun, realitas menunjukkan adanya deviasi dalam praktik pemilu di berbagai daerah, di mana idealisme demokrasi Pancasila sering kali terkikis oleh kepentingan politik pragmatis, ego sektoral, dan bahkan kecurangan yang menggerus kualitas demokrasi itu sendiri.

Dalam jurnal ini, penulis mengkritisi bahwa meskipun Indonesia secara normatif diakui sebagai negara hukum dan demokrasi, pelaksanaan pemilu daerah kerap diwarnai konflik yang mencerminkan ketidakdewasaan berdemokrasi. Fenomena seperti kecurangan, protes calon yang tidak puas, serta keterlibatan pendukung dengan cara-cara yang tidak etis menjadi bukti bahwa nilai demokrasi Pancasila belum sepenuhnya mewarnai praktik politik elektoral. Jurnal ini juga menyoroti bagaimana keterlibatan rakyat dalam pemilu masih sebatas prosedural—memilih saat pemilu tiba—tanpa pemahaman mendalam mengenai hak dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara. Hal ini diperparah dengan dominasi partai politik yang lebih mengedepankan kepentingan golongan ketimbang menjadi pilar yang memfasilitasi aspirasi rakyat secara jujur dan adil.

Lebih jauh, penulis menggarisbawahi pentingnya reformasi pemilu agar nilai-nilai Pancasila benar-benar diimplementasikan dalam setiap tahapan demokrasi, termasuk membuka ruang bagi calon independen agar rakyat memiliki pilihan yang lebih beragam dan otentik. Selain itu, dibutuhkan penguatan hukum dan penegakan sanksi terhadap pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran demokrasi, demi menjaga kualitas pemilu yang adil dan bermartabat. Penulis juga menekankan bahwa partai politik memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk menjadi agen demokrasi Pancasila, bukan sekadar kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Dengan demikian, partai politik seharusnya menjadi penghubung aspirasi rakyat dengan pemerintah, menjalankan fungsi edukasi politik, serta menumbuhkan budaya musyawarah yang bijak sesuai amanat sila keempat. Kesimpulannya, demokrasi yang sehat dan beradab hanya dapat terwujud jika seluruh elemen bangsa berkomitmen untuk meletakkan nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi dalam setiap proses pemilihan umum, sehingga demokrasi di Indonesia tidak hanya berjalan sesuai prosedur, tetapi juga sesuai dengan jati diri bangsa.