NAMA : NADIV NAFIS WAVI
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN
Analisis Kritis Kasus Pelanggaran HAM 2019: Perspektif Relasi Kuasa dan Struktur Sosial
Jika kita telaah artikel tersebut dengan kacamata yang lebih kritis, problem HAM di Indonesia tahun 2019 bukan sekadar soal kelalaian negara dalam menegakkan hukum atau ketidakmampuan aparat menjalankan tugas. Persoalan yang lebih mendasar justru terletak pada bagaimana negara—dalam hal ini pemerintah dan aparat keamanannya—berperan aktif mereproduksi ketidakadilan struktural yang menjadi akar pelanggaran HAM itu sendiri. Dengan kata lain, negara bukan hanya “gagal” melindungi HAM, tetapi justru menjadi aktor dominan dalam proses marginalisasi masyarakat sipil, terutama kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, dan penduduk Papua.
Artikel ini menyinggung pembatasan kebebasan berekspresi, namun sebenarnya lebih luas dari itu: pembungkaman ruang sipil ini mencerminkan relasi kuasa antara negara yang hegemonik dengan rakyat yang tidak memiliki cukup ruang untuk menegosiasikan hak-haknya. Upaya mengekang demonstrasi mahasiswa, kriminalisasi aktivis, hingga penggunaan aparat untuk mengintimidasi masyarakat sipil adalah bagian dari strategi negara untuk mempertahankan stabilitas politik dan ekonomi yang pro-elite. Di balik jargon “keamanan nasional” dan “stabilitas”, tersembunyi praktik-praktik kontrol sosial yang justru memperparah ketidaksetaraan, meminggirkan suara minoritas, dan mengabaikan proses keadilan substantif.
Dalam konteks Papua, misalnya, rasisme dan kekerasan struktural bukan hanya disebabkan oleh kegagalan negara menegakkan HAM, melainkan juga oleh sejarah panjang kolonialisme internal, di mana pembangunan ekonomi dan politik di Papua dijalankan dengan mengabaikan aspirasi masyarakat lokal, bahkan mematikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Di sini, konflik HAM tidak bisa dilihat hanya sebagai pelanggaran yang butuh penyelesaian teknis-hukum, tetapi juga sebagai cerminan relasi kuasa yang timpang antara pusat dan daerah, antara elite dan rakyat, antara mayoritas dan minoritas.
Dari perspektif ini, solusi yang diajukan artikel—seperti rekonsiliasi, pengadilan HAM, dan kebijakan antirasisme—hanya akan menjadi tambal sulam jika tidak disertai transformasi mendasar dalam struktur kekuasaan dan distribusi sumber daya. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bukan hanya soal mengadili pelaku, tapi juga soal mendekonstruksi relasi kuasa yang memungkinkan terjadinya pelanggaran berulang. Demikian pula, kebebasan berekspresi tak akan berarti tanpa demokratisasi ekonomi dan politik yang memberi ruang bagi rakyat untuk menjadi subjek, bukan hanya objek kebijakan.
Dengan demikian, pemenuhan HAM di Indonesia bukan sekadar menuntut komitmen pemerintah, melainkan juga perombakan mendasar terhadap struktur negara, agar negara bukan lagi aktor pelanggar HAM, tetapi menjadi mitra rakyat dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial.
NPM : 2451011026
KELAS : MKU PKN
Analisis Kritis Kasus Pelanggaran HAM 2019: Perspektif Relasi Kuasa dan Struktur Sosial
Jika kita telaah artikel tersebut dengan kacamata yang lebih kritis, problem HAM di Indonesia tahun 2019 bukan sekadar soal kelalaian negara dalam menegakkan hukum atau ketidakmampuan aparat menjalankan tugas. Persoalan yang lebih mendasar justru terletak pada bagaimana negara—dalam hal ini pemerintah dan aparat keamanannya—berperan aktif mereproduksi ketidakadilan struktural yang menjadi akar pelanggaran HAM itu sendiri. Dengan kata lain, negara bukan hanya “gagal” melindungi HAM, tetapi justru menjadi aktor dominan dalam proses marginalisasi masyarakat sipil, terutama kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, dan penduduk Papua.
Artikel ini menyinggung pembatasan kebebasan berekspresi, namun sebenarnya lebih luas dari itu: pembungkaman ruang sipil ini mencerminkan relasi kuasa antara negara yang hegemonik dengan rakyat yang tidak memiliki cukup ruang untuk menegosiasikan hak-haknya. Upaya mengekang demonstrasi mahasiswa, kriminalisasi aktivis, hingga penggunaan aparat untuk mengintimidasi masyarakat sipil adalah bagian dari strategi negara untuk mempertahankan stabilitas politik dan ekonomi yang pro-elite. Di balik jargon “keamanan nasional” dan “stabilitas”, tersembunyi praktik-praktik kontrol sosial yang justru memperparah ketidaksetaraan, meminggirkan suara minoritas, dan mengabaikan proses keadilan substantif.
Dalam konteks Papua, misalnya, rasisme dan kekerasan struktural bukan hanya disebabkan oleh kegagalan negara menegakkan HAM, melainkan juga oleh sejarah panjang kolonialisme internal, di mana pembangunan ekonomi dan politik di Papua dijalankan dengan mengabaikan aspirasi masyarakat lokal, bahkan mematikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Di sini, konflik HAM tidak bisa dilihat hanya sebagai pelanggaran yang butuh penyelesaian teknis-hukum, tetapi juga sebagai cerminan relasi kuasa yang timpang antara pusat dan daerah, antara elite dan rakyat, antara mayoritas dan minoritas.
Dari perspektif ini, solusi yang diajukan artikel—seperti rekonsiliasi, pengadilan HAM, dan kebijakan antirasisme—hanya akan menjadi tambal sulam jika tidak disertai transformasi mendasar dalam struktur kekuasaan dan distribusi sumber daya. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bukan hanya soal mengadili pelaku, tapi juga soal mendekonstruksi relasi kuasa yang memungkinkan terjadinya pelanggaran berulang. Demikian pula, kebebasan berekspresi tak akan berarti tanpa demokratisasi ekonomi dan politik yang memberi ruang bagi rakyat untuk menjadi subjek, bukan hanya objek kebijakan.
Dengan demikian, pemenuhan HAM di Indonesia bukan sekadar menuntut komitmen pemerintah, melainkan juga perombakan mendasar terhadap struktur negara, agar negara bukan lagi aktor pelanggar HAM, tetapi menjadi mitra rakyat dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial.