Emmanuel Nanda Pramudia
2256021021
Reg M
Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden pilpres memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik. Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan terobosan penting yang dimaksudkan sebagai upaya pendalaman demokrasi (deepening democracy), yakni suatu upaya untuk mengatasi kelemahan praktek demokrasi substantif, khususnya dalam merespon tuntutan-tuntutan masyarakat lokal.
Sementara itu, proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional (setelah tiga kali melaksanakan pemilu presiden langsung) menunjukkan arah yang tak mudah, khususnya dalam hal membangun kualitas pilpres dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) atau konsolidasi demokrasi. Proses ini krusial karena semua tahapan yang dilalui dalam pilpres akan berpengaruh terhadap kualitas tata kelola pemerintahan. Secara umum bila demokrasi dimaknai sebagai pemberdayaan rakyat, suatu sistem politik yang demokratis seharusnya dapat menjamin warga masyarakat yang kurang beruntung melalui setiap kebijakan publiknya. Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsipprinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip-prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Dalam konteks ini, pilpres langsung dapat dikategorikan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan tindak lanjut jaminan terhadap hak-hak politik tersebut. Oleh karena itu, dalam studi ini pilpres dilihat bukan hanya sebatas pesta demokrasi semata, melainkan juga sebagai instrumen proses pendalaman demokrasi di tingkat nasional.
Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724- 1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah `subbudaya etnik dan daerah` yang majemuk pula. Terbukanya ruang kebebasan membuat politisi bukan satu-satunya aktor yang menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat karena setelah era Reformasi bermunculan lembaga-lembaga pengawas extra parlementer yang juga melibatkan diri dalam fungsi artikulatif dan pengawasan terhadap pemerintahan. Dengan demikian, proses liberalisasi politik tidak hanya memunculkan CSO, tetapi juga menghadirkan media-media – baik media cetak maupun elektronik – yang semakin bebas dan berani dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.
2256021021
Reg M
Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun 2019, khususnya, pemilu presiden pilpres memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik. Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Memanasnya kontestasi pilpres 2019 juga diwarnai dengan polarisasi politik antara kedua kubu pendukung capres. Tak ayal bara pilpres pun cenderung semakin mempertajam timbulnya pembelahan sosial dalam masyarakat. Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil (political society, economic society, the state, dan civil society) mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan terobosan penting yang dimaksudkan sebagai upaya pendalaman demokrasi (deepening democracy), yakni suatu upaya untuk mengatasi kelemahan praktek demokrasi substantif, khususnya dalam merespon tuntutan-tuntutan masyarakat lokal.
Sementara itu, proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional (setelah tiga kali melaksanakan pemilu presiden langsung) menunjukkan arah yang tak mudah, khususnya dalam hal membangun kualitas pilpres dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) atau konsolidasi demokrasi. Proses ini krusial karena semua tahapan yang dilalui dalam pilpres akan berpengaruh terhadap kualitas tata kelola pemerintahan. Secara umum bila demokrasi dimaknai sebagai pemberdayaan rakyat, suatu sistem politik yang demokratis seharusnya dapat menjamin warga masyarakat yang kurang beruntung melalui setiap kebijakan publiknya. Pelaksanaan pilpres pada dasarnya juga merupakan tindak lanjut perwujudan prinsipprinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip-prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya dalam hak politik. Dalam konteks ini, pilpres langsung dapat dikategorikan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan tindak lanjut jaminan terhadap hak-hak politik tersebut. Oleh karena itu, dalam studi ini pilpres dilihat bukan hanya sebatas pesta demokrasi semata, melainkan juga sebagai instrumen proses pendalaman demokrasi di tingkat nasional.
Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724- 1804) yang mengingatkan, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah `subbudaya etnik dan daerah` yang majemuk pula. Terbukanya ruang kebebasan membuat politisi bukan satu-satunya aktor yang menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat karena setelah era Reformasi bermunculan lembaga-lembaga pengawas extra parlementer yang juga melibatkan diri dalam fungsi artikulatif dan pengawasan terhadap pemerintahan. Dengan demikian, proses liberalisasi politik tidak hanya memunculkan CSO, tetapi juga menghadirkan media-media – baik media cetak maupun elektronik – yang semakin bebas dan berani dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.