Posts made by Silvia May Angelina Pandiangan

Silvia May Angelina Pandiangan
2217011117
A


Era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto, menghadirkan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang signifikan pada awalnya. Namun, sebagaimana dianalisis dalam video, stabilitas ini dicapai dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang mendasar. Dominasi militer dalam berbagai aspek kehidupan bernegara, birokratisasi yang kaku, sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan partai politik, dan kontrol terhadap masyarakat sipil menciptakan sebuah sistem yang otoriter meskipun masih mempertahankan beberapa atribut demokrasi. Kebijakan monolitisasi ideologi dan praktik "masa mengambang" semakin menjauhkan partisipasi politik dari akar rumput.

Periode pertama, Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), ditandai dengan fokus utama pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dalam kurun waktu ini, praktik demokrasi masih sangat terbatas karena prioritas nasional adalah melawan penjajah dan membangun fondasi negara.

Periode kedua adalah Masa Demokrasi Parlementer (1949-1959). Era ini dianggap sebagai masa keemasan demokrasi di Indonesia pada saat itu, di mana hampir semua elemen demokrasi modern seperti multipartai, pemilihan umum yang relatif bebas, dan kebebasan pers dapat ditemukan. Namun, periode ini berakhir karena beberapa faktor signifikan, termasuk dominannya politik aliran yang menyebabkan instabilitas kabinet, basis sosial ekonomi yang masih lemah sehingga partisipasi politik yang substansial sulit terwujud, serta adanya persamaan kepentingan antara Presiden Soekarno dan kalangan Angkatan Darat yang menginginkan peran lebih besar dalam politik.

Periode ketiga adalah Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Dimulai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem politik mengalami perubahan mendasar dengan mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 dan membubarkan Konstituante. Kekuasaan presiden menjadi sangat dominan, dan politik diwarnai oleh tarik ulur yang kuat antara tiga kekuatan utama: Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Angkatan Darat. Periode ini berakhir dengan terjadinya Gerakan 30 September 1965 yang membawa perubahan politik drastis.

Periode keempat adalah Masa Orde Baru (1966-1998). Setelah transisi kekuasaan dari Soekarno, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto awalnya menjanjikan stabilitas dan pembangunan ekonomi. Namun, seiring berjalannya waktu, sistem politik menjadi semakin otoriter. Video ini menyoroti beberapa ciri utama periode ini, termasuk dominannya peranan ABRI (sekarang TNI) dalam politik dan sosial, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik di tangan pemerintah pusat, pembatasan peran dan fungsi partai politik (hanya tiga partai yang diizinkan), campur tangan pemerintah dalam urusan internal partai politik dan publik, konsep "masa mengambang" yang menjauhkan masyarakat dari partisipasi politik yang aktif, monolitisasi ideologi negara melalui Pancasila, dan inkorporasi lembaga-lembaga nonpemerintah ke dalam struktur kekuasaan negara. Periode ini berakhir dengan gelombang protes masyarakat akibat krisis ekonomi dan politik pada tahun 1998.
Silvia May Angelina Pandiangan
2217011117
A

Artikel “Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019” oleh R. Siti Zuhro mengkritisi pelaksanaan pemilu sebagai tolok ukur kualitas demokrasi Indonesia yang belum ideal. Penulis menegaskan bahwa meskipun pemilu 2019 berhasil dilaksanakan secara prosedural, demokrasi di Indonesia masih belum menyentuh aspek substansial, seperti partisipasi yang bermakna, pemerintahan yang efektif, dan kepercayaan publik terhadap hasil pemilu. Salah satu isu utama yang disorot adalah polarisasi politik yang tajam, dipicu oleh pertarungan ulang antara dua kandidat yang sama: Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Polarisasi ini menciptakan pembelahan sosial yang memperlemah kohesi nasional. Masalah lain yang menjadi perhatian adalah politisasi identitas dan agama, yang digunakan oleh kedua kubu untuk meraih dukungan, namun justru memperdalam ketegangan antar kelompok masyarakat. Tidak hanya itu, birokrasi yang seharusnya netral juga banyak terseret ke dalam praktik politik partisan, sehingga mengurangi legitimasi hasil pemilu. Partai politik pun dinilai gagal menjalankan fungsinya sebagai agen demokrasi, karena lebih fokus pada elektabilitas dibandingkan kaderisasi dan pendidikan politik. Penulis menekankan pentingnya memperkuat institusi-institusi demokrasi agar pemilu tidak hanya menjadi rutinitas lima tahunan, tetapi benar-benar menjadi sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Demokrasi substantif hanya bisa dicapai jika semua pemangku kepentingan termasuk partai politik, birokrasi, penyelenggara pemilu, media, dan masyarakat sipil berkomitmen untuk menjaga integritas proses politik. Tanpa perbaikan serius terhadap berbagai aspek tersebut, demokrasi di Indonesia akan terus terjebak dalam formalitas tanpa makna. 
Silvia May Angelina Pandiangan
2217011117
A

Vidio tersebut membahas tentang demokrasi yang pada dasarnya memiliki karakteristik yang "bising" dan terkadang tampak kacau. Hal ini disebabkan oleh kebebasan berpendapat dan beragamnya aspirasi yang mewarnai sistem pemerintahan demokratis. Namun, video ini memberikan perspektif bahwa kebisingan dan perbedaan pendapat tersebut masih dapat ditoleransi dan bahkan dianggap sebagai bagian yang wajar dari proses demokrasi, asalkan semua pihak tetap berpegang pada kerangka prosedural yang telah ditetapkan. Video ini juga menyoroti tren penurunan peringkat demokrasi di Indonesia sejak tahun 2013. Data dari lembaga independen seperti Freedom House dan The Economist Intelligence Unit menjadi rujukan untuk memperkuat argumen ini. Penurunan ini mengindikasikan adanya tantangan atau kemunduran dalam beberapa aspek praktik demokrasi di Indonesia. Namun, video ini juga memberikan konteks yang lebih luas dengan menyatakan bahwa fenomena penurunan kualitas demokrasi bukanlah isu yang eksklusif dialami oleh Indonesia. Bahkan, negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara demokrasi yang mapan, seperti Amerika Serikat, juga mengalami penurunan dalam peringkat demokrasinya. Hal ini menyiratkan bahwa dinamika dan tantangan dalam menjaga kualitas demokrasi merupakan isu global yang kompleks dan memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Dengan demikian, video ini tidak hanya memberikan gambaran tentang kondisi demokrasi di Indonesia, tetapi juga menempatkannya dalam konteks tren global yang lebih luas.