Nama: Rohmah Shela Saputri
NPM: 2213053112
Kelas: 2G
Analisis Jurnal Mengenai “ Demokrasi Dan Pemilu Presiden 2019”
Identitas Jurnal
Judul Jurnal: DEMOKRASI DAN PEMILU PRESIDEN 2019
Penulis : R. Siti Zuhro
Nama jurnal: jurnal penelitian politik
Volume, No dan Halaman: Vol. 16, No. 1, Hal. 69-78
Tahun : 1 Juni 2019
Abstrak:
Jurnal ini membahas mengenai konsolidasi demokrasi dalam pemilu presiden 2019. Pembangunan demokrasi Indonesia sebagaimana tercermin dari pilpres masih mengalami banyak masalah. Pendalaman demokrasi belum terwujud dengan baik sebab pilar-pilar demokrasi yang menjadi faktor penguat konsolidasi demokrasi belum efektif. Pemilu presiden 2019 belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik serta belum mampu pula membangun kepercayaan. Hal ini dapat dilihat dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil rekapitulasi pilpres 2019 oleh komisi pemilihan umum. Saat ini mahkamah konstitusi menjadi penentu akhir hasil pilpres karena dua kandidat mengklaim sebagai pemenang pilpres
Pendahuluan :
Sejak era reformasi Indonesia sudah menggelar 4 kali pemilu tetapi pemilu kelima tahun pada tahun 2019. Khususnya pemilu presiden atau pilpres memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik. Artikel ini mencoba melihat demokrasi Indonesia melalui fenomena pemilihan presiden 2019 yang merupakan salah satu sarana untuk memilih pemimpin secara demokratis ritual politik lima tahun dan tersebut menarik untuk dilihat di tengah tingginya pro kontra terkait kinerja pemerintah serta pentingnya semua pihak untuk selalu menjaga stabilitas sosial politik nasional dan keutuhan NKRI.
Hasil dan Pembahasan:
Deepening Democracy dan Tantanganya
Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Akan tetapi untuk mewujudkan makna tersebut tidaklah mudah karena demokrasi memerlukan proses panjang serta tahapan-tahapan penting yang harus dilalui seperti proses konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi adalah salah satu sarana untuk meningkatkan secara prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat pada aturan main demokrasi menurut Laurence whitehead (1989). Demokrasi akan terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil, mampu mengedepankan tindakan demokratis sebagai alternatif utama agar meraih kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia proses demokrasi yang berlangsung dipengaruhi beberapa faktor contohnya budaya politik, perilaku aktor serta kekuatan-kekuatan politik. Proses demokrasi berlangsung relatif dinamis khususnya sejak pemilu 1999. Demokrasi yang berlangsung di daerah-daerah ialah landasan utama bagi berkembangnya demokrasi di tingkat nasional. Proses demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional setelah tiga kali dilaksanakan menunjukkan arah yang tak mudah khususnya dalam hal membangun kualitas pilpres serta pendalaman demokrasi atau konsolidasi demokrasi.
Melaksanakan pelaksanaan pilpres pada dasarnya merupakan tindak lanjut perwujudan prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi jaminan atas prinsip-prinsip kebebasan individu serta persamaan khususnya dalam hal politik. Dalam konteks ini pilpres langsung dapat dikategorikan sebagai proses demokrasi formal yang merupakan tindak lanjut jaminan terhadap hak-hak politik tersebut sehingga dalam studi ini pilpres dilihat bukan hanya sebatas pesta demokrasi semata melainkan juga sebagai instrumen proses pendalaman demokrasi di tingkat nasional.
Pendalaman demokrasi dapat berasal dari negara serta bisa pula dari masyarakat. Pendalaman demokrasi juga bisa dipandang sebagai upaya agar merealisasikan pemerintahan yang efektif. Negara serta masyarakat seharusnya saling bersinergi sehingga bisa saling memperkuat perannya masing-masing menurut miqdal (1988). Dengan kapasitasnya tersebut negara diharapkan bisa melakukan penetrasi ke dalam masyarakat, mengatur relasi sosial, mengambil sumber daya serta mengelolanya. Dan negara juga harus mampu memperdayakan masyarakat agar terlibat aktif dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kontrol sosial.
Nilai dan nilai-nilai demokrasi telah mendasari perilaku baik elit maupun masyarakat untuk itu sebagian besar pemilihan terlebih dulu perlu memiliki kesadaran dan kematangan politik yang cukup memadai. Dengan cara itu masyarakat diasumsikan mempunyai kapasitas untuk melakukan pilihan serta mengambil keputusan atas pilihannya berdasarkan rasionalitas politik. Tujuan utama pilpres yaitu sebagai sarana untuk menegakkan dan mewujudkan kedaulatan rakyat serta kebebasan politik masyarakat.
Dinamika politik menjelang pemilu 2019 cenderung, terutama terkait tuduhan kecurangan, hingga 20 April 2019 badan pemenangan nasional secara resmi telah melaporkan sekitar 1200 daftar sementara kecurangan pilpres 2019 kepada badan pengawas pemilu. Hal yang sama juga terjadi di tim kampanye nasional Jokowi ma'ruf Amin yang juga menerima 14.843 laporan dugaan pelanggaran atau kecurangan yang menguntungkan paslon Prabowo-sandiaga. Sulit dinafikan bahwa kompetisi dan kontestasi dalam pilpres melalui kampanye diwarnai oleh tingginya kegaduhan yang terjadi di media massa dan media sosial. Masyarakat tak jarang ikut terlibat dan mengundang keprihatinan tersendiri karena tidak sedikit diantaranya yang akhirnya harus berurusan dengan hukum sebab emosinya.
Selain persoalan hoax dan ujaran kebencian isu politisasi agama dalam pilpres 2019 menjadi salah satu hal yang paling menonjol dalam masa kampanye uniknya ke-12 pihak mengklaim paling mewakili suara umat Islam. Penggunaan politisasi agama dan charter asasi nation dalam kampanye semakin mempertajam ketegangan sosial yang berdampak pada munculnya rasa saling tak percaya serta saling tak menghargai antar sesama anak bangsa. Dampaknya demokrasi yang terbangun menafikan nilai-nilai budaya positif seperti saling menghargai, menghormati dan saling mempercayai serta saling berempati.
Pemilu Presiden 2019 dan Masalahnya
Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu adalah sarana serta momentum terbaik bagi, khususnya untuk menyalurkan ekspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif serta presiden atau wakil presidennya secara damai.
Pemilu serentak tahun 2019 adalah pemilu kelima pasca orde baru serta merupakan pemilu serentak pertama yang melangsungkan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan. Berbeda dengan pemilu pemilu sebelumnya pemilu 2019 menjadi tes case penguatan sistem presidensial, jadi pilpres dan pileg 2019 perlu disikapi dengan cara-cara yang rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, bijak serta beradab sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
Politisasi Indentitas: Berebut Suara Muslim
Pemilu serentak 2019 tak lepas dari isu politisasi identitas serta agama.: Fenomena politisasi identitas serta agama juga diwarnai dengan merebut suara muslim. Munculnya sejumlah isu yang oleh sebagian umat Islam dipandang merugikan mereka pada akhirnya melahirkan gerakan ijtima ulama untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hasil ijtima yang di dalamnya terdapat representasi ulama sebagai penantang pertahanan merekomendasikan Prabowo untuk memilih cawapres yang berasal dari kalangan ulama atau pasangan capres cawapres bertipe nasionalis-agamis. Hasil ijtima ulama tersebut justru mendapat sanggahan dari kelompok umat Islam lainnya sebab dinilai tidak mewakili ulama-ulama lainnya oleh karena itu NU misalnya tidak merasa turut terlibat dalam istilah ulama tersebut. Sebagai contoh sekitar 400 kyai serta pengurus pesantren seluruh Indonesia menyatakan mendukung pasangan capres dan cawapres Joko Widodo dan ma'ruf amin.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam berebut suara muslim adalah hal yang logis serta selalu terjadi dalam setiap pemilu. Meskipun dikotomi santri abangan cenderung makin cair pendapat tentang pentingnya pasangan calon yang mempresentasikan santri dan abangan masih cukup kuat. Akan tetapi hal tersebut tidak dengan sendirinya memberikan jaminan kemenangan.
Pemilu dan Kegagalan Parpol
Pemilu bukan hanya penanda suksesi kepemimpinan tapi juga merupakan koreksi evaluasi terhadap pemerintahan dan proses deepening Democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat serta bermartabat. Dalam proses konsolidasi tersebut parpol sebagai pelaku utama pemilu idealnya dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon. Akan tetapi ketika fungsi parpol tidak maksimal proses konsolidasi demokrasi menjadi. Hal ini tampak jelas dalam pemilu 2019 di mana banyak parpol gagal dalam proses. Sehingga dapat dilihat dari maraknya partai yang memilih mencalonkan kalangan selebritis tujuannya menjadikan selebriti tersebut sebagai fotogeter partai dalam pemilu. Contohnya partai Nasdem misalnya tercatat sebagai partai yang paling banyak mengambil arti sebagai calon legislatifnya dalam pemilu 2019.
Pemilu dalam masyarakat Plural
Dalam masalah pilpres 2019 tampaknya tidak semua pihak menyadari pentingnya nilai-nilai budaya sendiri sebagai perisai ketahanan sosial bangsa di mana 4 pilar kebangsaan Indonesia yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan bhinneka tunggal Ika berasal dari falsafah dan sejarah hidup bangsa.
Gambaran tersebut sangat terasa dalam pilpres 2019 di mana masyarakat cenderung mengalami pembelahan sosial yang cukup. Penggunaan istilah cebong sebagai julukan pendukung Jokowi dan kampret sebagai julukan penduduk Prabowo bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Dan juga dengan penggunaan politisasi identitas atau SARA. Sebagai sarana demokrasi rutin lima tahun pilpres dan pilek 2019 belum disikapi secara positif dengan mengedepankan nilai saling menghargai menghormati saling mempercayai dan saling berempati sebagaimana tersirat dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pemilu serentak pada dasarnya merupakan upaya demokrasi yang diharapkan bisa menjadikan legislator serta eksekutif menjadi lebih akuntabel dihadapan rakyat sebagaimana tuntunan demokrasi ideal. Jika legislator terpilih tidak bekerja dengan baik rakyat akan mempunyai pilihan untuk tidak memilihnya lagi pada pemilu berikutnya pemilu juga signifikan untuk lebih mengenali nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang merupakan masyarakat heterogen.
Pemilu dan Politisasi Birokrasi
Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, reformasi politik serta pemilu juga menuntut lahirnya reformasi birokrasi yang profesional terbebas dari partisme dan komplikasi partai politik dan penguasa. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu bisa mengakibatkan pada lemahnya registrasi kinerja pemerintah, penyelenggaraan pemilu dan hasilnya. Sejauh ini tataran empirik menunjukkan adanya tarikan politik, khususnya, dari penguasa terhadap birokrasi.
Relasi birokrasi serta menunjukkan kuatnya motif politik dalam birokrasi. Birokrasi, bahkan, bisa dijadikan kekuatan politik sebab mempunyai jaringan struktur hingga ke basis masyarakat, menguasai informasi yang memadai, dan mempunyai kewenangan eksekusi program dan anggaran. Keberadaan birokrasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan publik tapi pada saat yang sama juga bisa dipergunakan untuk motif politik tertentu. Hal ini membuat birokrasi cenderung menjadi alat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Kesimpulan:
Konsolidasi demokrasi di Indonesia cenderung fluktuatif serta belum berjalan secara reguler karena pilar-pilar pentingnya seperti pemilu, partai politik, civil society dan media massa. Belum berfungsi efektif serta belum maksimal. Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan untuk suksesi kepemimpinan serta mengoreksi kinerja pemerintah titik pemilu juga mensyaratkan unsur kejujuran keadilan transparansi serta akuntabilitas. Prasyarat untuk menciptakan hal tersebut memerlukan prakondisi serta komitmen semua elemen bangsa agar mematuhi peraturan yang ada titik konsolidasi demokrasi atau proses pendalaman demokrasi akan terhambat ketika plafon melalui para elitenya dan stakeholders terkait pemilu menunjukkan perilaku yang tidak mendorong proses demokrasi. Mereka cenderung kontraining dan tidak konser dengan nilai-nilai demokrasi substansial khususnya yang terkait dengan partisipasi genuine masyarakat, kualitas kompetisi, political equality dan peningkatan political responsiveness