Nama : Silmi Nur’Afifah
NPM : 2213053129
Kelas : 3H
Nama jurnal: Jurnal Pedagogik
Volume: 05
Nomor: 01
Tahun: 2018
Judul: Rekonstruksi Evaluasi Pendidikan Moral Menuju Harmoni Sosial
Penulis: Ulil Hidayah
Tujuan Pendidikan Nasional
Peran pendidikan sebagai agen perubahan adalah merubah orang yang kurang beradab menjadikan orang yang beradab atau merubah orang yang perilakunya tidak baik menjadi baik. Seorang ahli sosiologi Pierre Bourdieu mengatakan pendidikan adalah agen bagi reproduksi kultural (Piere Bourdieu). Artinya pendidikan berperan besar dalam memproduksi ulang dan terus menerus mendampingi kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat. Disekolah anak-anak yang datang berangkat dari keluarga yang memiliki kultur berbeda-beda dalam bentuk relasi/pergaulan sosial, bahasa dan tradisi, serta gaya hidup lainnya. Sehingga disinilah peran sekolah untuk membongkar urang pemisah antar kelas-kelas sosial yang berbeda melalui nilai-nilai akhlak di sekolah (Fauzi, 2015).
Tantangan Materi Pelajaran di Sekolah
Penanaman dan penghayatan sikap-sikap budi pekerti di sekolah sejauh ini masih bersifat formatif belum menjadikan nilai-nilai yang diharapkan dalam indikator pencapaian belajar terwujud secara permanen dalam diri peserta didik di sekolah, terlebih lagi tantangan ketika peserta didik sudah tidak berada di lingkungan sekolah. Ketika kasus potensi kepribadian dan sosial yang dipertayakan, maka materi pelajaran di sekolah yang dianggap paling bertanggung jawab atas kegelisahan ini adalah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Secara teoritis PAI adalah proses pendidikan yang dilakukan pendidik untuk membekali anak didik dengan pengetahuan, pemahaman, penghayatan pengamalan ajaran agama Islam (Muchlis Sholichin, 2007). PAI dan PKn pada era Kurikulum 2013 ini memiliki porsi 3 jam pelajaran dalam sepekan, mengingat kurikulum sebelumnya mata pelajaran PAI hanya memiliki porsi waktu dua jam pelajaran. Maka dalam hal ini harapannya out put pendidikan memiliki nilai kepribadian yang unggul secara pribadi dan sosial yang tidak cukup hanya diketahui dan dipahami, tetapi juga dirasakan serta dijadikan sebuah aksi dalam kehidupan anak didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.
Persiapan, Pelaksanaan dan Evaluasi PAI dan PKn di Sekolah
Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, pada kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik melalui kegiatan mengamati, menanya, mencoba, menalar dan mengkomunikasikan. Dalam hal ini dapat dipaparkan bahwa proses pelaksanaan pembelajaran PAI dan PKn di sekolah sudah menekankan pada kegiatan active learning, di mana peserta didik dapat mengeksplor wawasan dan pengetahuannya sendiri melalui sumber beajar yang tidak terbatas. Guru merupakan ujung tombak dari kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang menjadi motivator bagi peserta didik dalam memacu aktivitas belajarnya (Baharun, 2017b). Dalam proses pembelajaran kurikulum 2013, saat ini lebih banyak memberikan ruang pada peserta didik untuk mengeksplor secara bebas pengetahuan yang diperoleh, bahkan ada rambu- rambu “guru haram menerangkan”. Pendidik bertindak sebagai fasilitator dan pendamping dalam kegiatan pembelajaran untuk mengantarkan peserta didik mencapai tujuan serta menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif (Bali, 2015). Dari perspektif ini sebenarnya peserta didik tidak hanya butuh sosok guru yang berwawasan luas dan kreatif dalam memonitoring proses pembelajaran, melainkan juga sangat membutuhkan sosok panutan yang memiliki nilai-nilai moral budi luhur sebagai teladan peserta didik. Maka sangat dibutuhkan peran guru yang bisa memberikan teladan moral yang disengaja maupun tidak disengaja melalui kurikulum laten.
Rekontruksi Evaluasi Pendidikan Moral
Fokus pada tahapan evaluasi pembelajaran ini khususnya pada mata pelajaran PAI dan PKn perlu direkonstruksi guna memberi implikasi jangka panjang dan permanen pada peserta didik melalui: a) Rekonstruksi pertama harus dimulai dari kemampuan pendidik dalam membawa materi ajar pendidikan moral kepada peserta didik harus kompeten di bidangnya dan bisa mengintegrasikan dengan kasus-kasus yang banyak terjadi di lingkungan kehidupan, b) Sesekali peserta didik di hadapkan dengan permasalahan yang marak terjadi untuk menemukan penyebab dan solusinya. Isu-isu yang diberikan harus sesuai dengan daya kemampuan peserta didik. Kemudian pendidik sebagai fasilitator mengoreksi hasil kerja peserta didik dan memberikan ulasan dengan membawa sudut pandang kebersatuan kebhinnekaan, c) Pendidik tidak terpaku pada instrument penilaian formalitas Fokus pada tahapan evaluasi pembelajaran ini khususnya pada mata pelajaran PAI dan PKn perlu direkonstruksi guna memberi implikasi jangka panjang dan permanen pada peserta didik melalui: a) Rekonstruksi pertama harus dimulai dari kemampuan pendidik dalam membawa materi ajar pendidikan moral kepada peserta didik harus kompeten di bidangnya dan bisa mengintegrasikan dengan kasus-kasus yang banyak terjadi di lingkungan kehidupan, b) Sesekali peserta didik di hadapkan dengan permasalahan yang marak terjadi untuk menemukan penyebab dan solusinya. Isu-isu yang diberikan harus sesuai dengan daya kemampuan peserta didik. Kemudian pendidik sebagai fasilitator mengoreksi hasil kerja peserta didik dan memberikan ulasan dengan membawa sudut pandang kebersatuan kebhinnekaan, c) Pendidik tidak terpaku pada instrument penilaian formalitas.
Output Pendidikan yang Didambakan Menuju Masyarakat Ideal
Jika disintesis antara mata pelajaran PAI dan PKn akan menjadi sebuah objek kajian pembelajaran moral yang membentuk kepribadian pesera didik yang bisa menjamin kebersatuan kebhinnekaan dengan memiliki sikap sebagai berikut: 1) Taat pada ajaran agama yang dianutnya serta tidak mudah terprovokasi oleh kelompok lain, 2) mengikuti teladan nabi Muhammad; melalui peristiwa hijrahnya ke Madinah, peserta didik dapat meneladani kisah Nabi Muhammad SAW yang mempersaudarakan kaum anshor dan kaum muhajirin dan menciptakan perdamaian antara kaum muslim dan kaum non muslim melalui piagam Madinah. Sehingga menumbuhkan sikap toleransi, 3 ) Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, 4) Menghargai hidup dalam perbedaan dilingkungan jangkauan pergaulan dan keberadaannya, 5)Mempunyai semangat belajar untuk mengetahui berbagai wawasan keilmuan dan pemahaman tentang fenomena dan kejadian yang nampak di sekitar lingkungan, sehingga bisa berpkir dan bersikap bijak ketika dihadapkan dengan gesekan perbedaan dan perpecahan antar golongan, 6)Mampu menalar dan mengurai secara mandiri berbagai aspek permasalahan di sekitar lingkungan hidupnya secara objektif, 7) Mempunyai wawasan pendidikan politik; tentang ketatanegaraan sehingga dapat menempatkan diri sebagai bagian dari warga negara, 8) Tumbuhnya semangat nasionalisme yang turut serta menjunjung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Fauzi, 2017).
NPM : 2213053129
Kelas : 3H
Nama jurnal: Jurnal Pedagogik
Volume: 05
Nomor: 01
Tahun: 2018
Judul: Rekonstruksi Evaluasi Pendidikan Moral Menuju Harmoni Sosial
Penulis: Ulil Hidayah
Tujuan Pendidikan Nasional
Peran pendidikan sebagai agen perubahan adalah merubah orang yang kurang beradab menjadikan orang yang beradab atau merubah orang yang perilakunya tidak baik menjadi baik. Seorang ahli sosiologi Pierre Bourdieu mengatakan pendidikan adalah agen bagi reproduksi kultural (Piere Bourdieu). Artinya pendidikan berperan besar dalam memproduksi ulang dan terus menerus mendampingi kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat. Disekolah anak-anak yang datang berangkat dari keluarga yang memiliki kultur berbeda-beda dalam bentuk relasi/pergaulan sosial, bahasa dan tradisi, serta gaya hidup lainnya. Sehingga disinilah peran sekolah untuk membongkar urang pemisah antar kelas-kelas sosial yang berbeda melalui nilai-nilai akhlak di sekolah (Fauzi, 2015).
Tantangan Materi Pelajaran di Sekolah
Penanaman dan penghayatan sikap-sikap budi pekerti di sekolah sejauh ini masih bersifat formatif belum menjadikan nilai-nilai yang diharapkan dalam indikator pencapaian belajar terwujud secara permanen dalam diri peserta didik di sekolah, terlebih lagi tantangan ketika peserta didik sudah tidak berada di lingkungan sekolah. Ketika kasus potensi kepribadian dan sosial yang dipertayakan, maka materi pelajaran di sekolah yang dianggap paling bertanggung jawab atas kegelisahan ini adalah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Secara teoritis PAI adalah proses pendidikan yang dilakukan pendidik untuk membekali anak didik dengan pengetahuan, pemahaman, penghayatan pengamalan ajaran agama Islam (Muchlis Sholichin, 2007). PAI dan PKn pada era Kurikulum 2013 ini memiliki porsi 3 jam pelajaran dalam sepekan, mengingat kurikulum sebelumnya mata pelajaran PAI hanya memiliki porsi waktu dua jam pelajaran. Maka dalam hal ini harapannya out put pendidikan memiliki nilai kepribadian yang unggul secara pribadi dan sosial yang tidak cukup hanya diketahui dan dipahami, tetapi juga dirasakan serta dijadikan sebuah aksi dalam kehidupan anak didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.
Persiapan, Pelaksanaan dan Evaluasi PAI dan PKn di Sekolah
Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, pada kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik melalui kegiatan mengamati, menanya, mencoba, menalar dan mengkomunikasikan. Dalam hal ini dapat dipaparkan bahwa proses pelaksanaan pembelajaran PAI dan PKn di sekolah sudah menekankan pada kegiatan active learning, di mana peserta didik dapat mengeksplor wawasan dan pengetahuannya sendiri melalui sumber beajar yang tidak terbatas. Guru merupakan ujung tombak dari kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang menjadi motivator bagi peserta didik dalam memacu aktivitas belajarnya (Baharun, 2017b). Dalam proses pembelajaran kurikulum 2013, saat ini lebih banyak memberikan ruang pada peserta didik untuk mengeksplor secara bebas pengetahuan yang diperoleh, bahkan ada rambu- rambu “guru haram menerangkan”. Pendidik bertindak sebagai fasilitator dan pendamping dalam kegiatan pembelajaran untuk mengantarkan peserta didik mencapai tujuan serta menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif (Bali, 2015). Dari perspektif ini sebenarnya peserta didik tidak hanya butuh sosok guru yang berwawasan luas dan kreatif dalam memonitoring proses pembelajaran, melainkan juga sangat membutuhkan sosok panutan yang memiliki nilai-nilai moral budi luhur sebagai teladan peserta didik. Maka sangat dibutuhkan peran guru yang bisa memberikan teladan moral yang disengaja maupun tidak disengaja melalui kurikulum laten.
Rekontruksi Evaluasi Pendidikan Moral
Fokus pada tahapan evaluasi pembelajaran ini khususnya pada mata pelajaran PAI dan PKn perlu direkonstruksi guna memberi implikasi jangka panjang dan permanen pada peserta didik melalui: a) Rekonstruksi pertama harus dimulai dari kemampuan pendidik dalam membawa materi ajar pendidikan moral kepada peserta didik harus kompeten di bidangnya dan bisa mengintegrasikan dengan kasus-kasus yang banyak terjadi di lingkungan kehidupan, b) Sesekali peserta didik di hadapkan dengan permasalahan yang marak terjadi untuk menemukan penyebab dan solusinya. Isu-isu yang diberikan harus sesuai dengan daya kemampuan peserta didik. Kemudian pendidik sebagai fasilitator mengoreksi hasil kerja peserta didik dan memberikan ulasan dengan membawa sudut pandang kebersatuan kebhinnekaan, c) Pendidik tidak terpaku pada instrument penilaian formalitas Fokus pada tahapan evaluasi pembelajaran ini khususnya pada mata pelajaran PAI dan PKn perlu direkonstruksi guna memberi implikasi jangka panjang dan permanen pada peserta didik melalui: a) Rekonstruksi pertama harus dimulai dari kemampuan pendidik dalam membawa materi ajar pendidikan moral kepada peserta didik harus kompeten di bidangnya dan bisa mengintegrasikan dengan kasus-kasus yang banyak terjadi di lingkungan kehidupan, b) Sesekali peserta didik di hadapkan dengan permasalahan yang marak terjadi untuk menemukan penyebab dan solusinya. Isu-isu yang diberikan harus sesuai dengan daya kemampuan peserta didik. Kemudian pendidik sebagai fasilitator mengoreksi hasil kerja peserta didik dan memberikan ulasan dengan membawa sudut pandang kebersatuan kebhinnekaan, c) Pendidik tidak terpaku pada instrument penilaian formalitas.
Output Pendidikan yang Didambakan Menuju Masyarakat Ideal
Jika disintesis antara mata pelajaran PAI dan PKn akan menjadi sebuah objek kajian pembelajaran moral yang membentuk kepribadian pesera didik yang bisa menjamin kebersatuan kebhinnekaan dengan memiliki sikap sebagai berikut: 1) Taat pada ajaran agama yang dianutnya serta tidak mudah terprovokasi oleh kelompok lain, 2) mengikuti teladan nabi Muhammad; melalui peristiwa hijrahnya ke Madinah, peserta didik dapat meneladani kisah Nabi Muhammad SAW yang mempersaudarakan kaum anshor dan kaum muhajirin dan menciptakan perdamaian antara kaum muslim dan kaum non muslim melalui piagam Madinah. Sehingga menumbuhkan sikap toleransi, 3 ) Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, 4) Menghargai hidup dalam perbedaan dilingkungan jangkauan pergaulan dan keberadaannya, 5)Mempunyai semangat belajar untuk mengetahui berbagai wawasan keilmuan dan pemahaman tentang fenomena dan kejadian yang nampak di sekitar lingkungan, sehingga bisa berpkir dan bersikap bijak ketika dihadapkan dengan gesekan perbedaan dan perpecahan antar golongan, 6)Mampu menalar dan mengurai secara mandiri berbagai aspek permasalahan di sekitar lingkungan hidupnya secara objektif, 7) Mempunyai wawasan pendidikan politik; tentang ketatanegaraan sehingga dapat menempatkan diri sebagai bagian dari warga negara, 8) Tumbuhnya semangat nasionalisme yang turut serta menjunjung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Fauzi, 2017).