Artikel "Pembangunan Hukum Nasional yang Religius: Konsepsi dan Tantangan Dalam Negara Berdasarkan Pancasila."
Pembangunan hukum nasional adalah "membangun hukum nasional", yaitu, pertama,
hukum nasional yang mencerminkan nilai-nilai, kenyataan-kenyataan, kebutuhan dan harapan
rakyat Indonesia di masa kini maupun di masa yang akan datang. Hal ini menunjukkan bahwa
membangun hukum nasional tidak hanya berpijak pada kondisi lapangan (kenyataan) yang ada,
melainkan harus memiliki pijakan prinsip yang kuat serta bayangan masa depan yang diharapkan.
hukum nasional yang akan mencerminkan hukum yang adil dan bermanfaat untuk
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Ini
menunjukkan bahwa pembangunan hukum nasional harus menitiktekankan pada porsi yang adil
sekaligus memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat.
pembaharuan atas sistem dan kaidah hukum (misalnya warisan masa kolonial
penjajahan) yang menimbulkan perbedaan-perbedaan hukum bagi rakyat Indonesia. Meskipun
telah banyak dilakukan integrasi melalui peraturan perundang-undangan maupun praktik hukum
(misalnya pengadilan), perbedaan-perbedaan itu acap kali menimbulkan 'conflict' atau 'tension'
ketika diterapkan dalam suatu keadaan yang konkret.
Secara konseptual, hukum nasional sebuah negara dapat dibentuk karena berbagai latar
belakang. Ulasan berikut ini berupaya untuk memberikan gambaran bagaimana latar belakang
kehidupan masyarakat memberikan pengaruh terhadap pembentukan hukum nasional.
walau perkembangan negara modern dengan renaissance-nya
berusaha untuk menjauhkan agama terhadap praktik keagamaan dalam ruang publik, lebih khusus
dalam pembentukan hukum, namun pada kenyataannya, pengaruh agama tetaplah ada dengan
tingkatan pengaruh yang berbeda antar negara. Sebelum mengkontekstualisasi dengan
pembangunan hukum yang religius di Indonesia, berikut disampaikan mengenai perkembangan
relasi agama dan negara berdasarkan riset Dawood Ahmed dari International IDEA (Institute for
Democracy and Electoral Assistance) pada tahun 2017.
Tantangan dalam sistem pembentukan hukum.
(1) jumlah undang-undang yang dihasilkan
oleh pembentuk undang-undang, yakni DPR (bersama Presiden dan DPD), masih sangat sedikit.
(2) Mutu undang-undang yang dihasilkan hampir selalu
bermuara ke Mahkamah Konstitusi. Tidak jarang sesuatu ketentuan undang-undang dinyatakan
tidak sah/bertentangan dengan UUD 1945.
(3) Acapkali terjadi 'inkonsistensi'
bahkan terjadi 'konflik' antara berbagai peraturan perundang-undangan. Kondisi yang
menunjukkan adanya kelemahan dalam proses harmonisasi dan sinkronisasi pembentukan
peraturan perundang-undangan.
(4) Akibat secara kuantitatif dan kualitatif rendah, memberi
peluang makin terbukanya penggunaan "diskresi" (tindakan diskresi maupun peraturan diskresi).
artikel kedua "PELUANG DAN TANTANGAN PENEGAKAN HUKUM DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI"
Korupsi dalam pandangan Marwan Efendy sebagaimana dikutip oleh
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, selain sebagai kejahatan luar biasa kemanusiaan (extra ordinary crimes), juga sebagai
kejahatan transnasional karena korupsi telah merambah keseluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas negara,
tidak pernah ada habisnya, semakin ditindak semakin meluas, bahkan dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik
dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya, serta kejahatan korupsi ini semakin terpola dan
sistematis.
Korupsi dalam kacamata hukum normatif seperti yang disebutkan didalam pasal 2 UU Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Rekam jejak sejarah jaman orde lama didalam memberantas korupsi bisa dilihat dari pembentukan
Badan Koordinasi Penilik Harta Benda (BKPHB) yang diperkuat melalui legalitas-formal berupa Peraturan
No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi kemudian diperkuat dengan Peraturan Penguasa
Perang Angkatan Darat No. Prt/Perpu 013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi, yang mana
kewenangan tersebut dilakukan oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku penguasa militer untuk daerah
kekuasaan angkatan darat. Disamping BKPHB, pada tahun 1959 sampai 1962 pada masa kabinet Ali
Sastroamidjojo yang ke-2, dibentuklah Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) yang
difokuskan kepada pencegahan korupsi, terutama di lingkungan birokrasi yang diperkuat berdasarkan
Peraturan Presiden Indonesia No. 1/1959. Adapun Bapekan ini terbentuk bermula dari cikal bakal
terbentuknya Panitia Organisasi Kemasyarakatan (PANOK) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang
diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 30/1957, dimana kedua institusi tersebut langsung dibawah
kendali dan bertanggung jawab kepada Perdana Menteri. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1960-1963
dibentuklah Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) I yang diperkuat melalui Keputusan Presiden No.
10/1960. Salah satu keberhasilan Paran I ini adalah terbentuknya Peraturan Presiden No. 5/1962 tentang
Peraturan Tata Tertib Aparatur Pemerintah Negara Tingkat Tertinggi.
Kegagalan demi kegagalan didalam memberantas korupsi di era orde lama dan orde baru adalah fakta
sejarah (the fact history) yang mengilhami tuntutan pemberantasan korupsi di era reformasi yang disebut
dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Bersama-sama dengan amandemen UUD 1945 dan
penghapusan dwifungsi ABRI, pemberantasan korupsi adalah amanat gerakan reformasi. Di era reformasi
inilah, UU No. 3/1971 diganti dengan UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang kemudian diubah menjadi UU No. 20/2001 dan diperkuat dengan ratifikasi United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) melalui UU No. 7/2006.