Tugas Mandiri (1 Nop 25)

Tugas Mandiri (1 Nop 25)

Tugas Mandiri (1 Nop 25)

Jumlah balasan: 6

1. deskripsikan 1 masalah ditempat anda mengajar/sekolah (kalau belum mengajar masalah bisa dari media masa/cetak), lalu berikan solusinya dengan desain dam model  pembelajaran IPS yang sesuai,

2. dikumpul paling lambat jam 13. 00 wib

Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Tugas Mandiri (1 Nop 25)

oleh Ahmad Ridwan Syuhada -
Nama: Ahmad Ridwan Syuhada
NPM: 2523031008

Permasalahan ketimpangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia sangat nyata dan menjadi tantangan utama pembangunan pendidikan nasional. Sekolah-sekolah di perkotaan umumnya memiliki fasilitas lebih lengkap, guru yang berkualitas, serta akses teknologi yang memadai, sementara di daerah pedesaan sering kekurangan ruang kelas, sarana belajar, hingga akses listrik dan internet. Selain itu, distribusi guru profesional yang tidak merata menyebabkan banyak sekolah pedesaan kekurangan tenaga pengajar berkualifikasi. Faktor ekonomi keluarga di pedesaan juga memperparah masalah, karena anak-anak terkadang harus membantu orang tua bekerja sehingga angka putus sekolah di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Kondisi ini mengakibatkan ketidakmerataan kesempatan belajar dan kualitas pendidikan yang signifikan di Indonesia (Kompasiana, Abdullah Hakim, 2025)

Desain pembelajaran Kemp sangat cocok dipadukan dengan model pembelajaran Project-Based Learning (PjBL) untuk menangani ketimpangan kualitas pendidikan di daerah pedesaan. Desain Kemp menekankan perencanaan pembelajaran yang komprehensif dan berkelanjutan, yang dimulai dari analisis kebutuhan dan karakteristik siswa, penetapan tujuan, pemilihan materi dan strategi pembelajaran, hingga evaluasi dan revisi. Fleksibilitas desain Kemp memungkinkan guru menyesuaikan konteks lokal dan karakteristik siswa di daerah pedesaan yang memerlukan perhatian khusus pada analisis kebutuhan dan penggunaan media pembelajaran yang relevan. Siklus revisi dalam desain Kemp memungkinkan penyesuaian berkelanjutan sesuai kondisi lapangan yang dinamis. Model PjBL yang menitikberatkan pada pembelajaran melalui pengerjaan proyek yang kontekstual sangat relevan dengan pendekatan Kemp. PjBL mendorong siswa belajar aktif, mandiri, dan kolaboratif dengan memecahkan masalah nyata yang dekat dengan lingkungan mereka. Hal ini sangat membantu memotivasi siswa dan membuat pembelajaran lebih bermakna serta aplikatif. Proyek-proyek yang berlandaskan budaya dan sumber daya lokal dapat meningkatkan keterlibatan siswa serta mengatasi keterbatasan fasilitas dan tenaga pengajar di daerah terpencil. Penggunaan proyek yang relevan dengan kehidupan sehari-hari sekaligus memotivasi siswa dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara nyata. Dengan menggabungkan desain Kemp dan model PjBL, proses pembelajaran menjadi terstruktur secara sistemik tetapi tetap dinamis dan kontekstual. Guru dapat mengidentifikasi kebutuhan khusus siswa, merancang proyek yang relevan, serta melakukan evaluasi untuk perbaikan berkelanjutan. Pendekatan ini dapat mengatasi masalah kualitas pendidikan yang tidak merata dan meningkatkan hasil belajar secara signifikan di daerah pedesaan dan terpencil.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Tugas Mandiri (1 Nop 25)

oleh HabibahHusnul 2523031006 -
Nama: Habibah Husnul Khotimah
NPM: 2523031006

Selama mengajar, saya menemukan permasalahan yang komplesk. Permasalahan pertama, motivasi belajar siswa rendah. Dibuktikan dari hasil penilaiian harian siswa dengan nilai di bawah rata-rata dan kurang antusiasnya siswa ketika proses belajar berlangsung. Selain itu, yang menjadi permasalahan lain adalah pemanfaatan teknologi dan akses internet belum dimaksimalkan. Pada dasarnya, kemajuan teknologi memberi kemudahan dan manfaat bagi dunia pendidikan yaitu dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dengan pengalaman belajar yang lebih interaktif dan menarik, memungkinkan pembelajaran yang fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan siswa, memperkaya pengalaman belajar dengan alat multimedia, dan manfaat lainnya yang didapat jika mampu menerapkan dengan maksimal. Tantangan sekanjutnya yang harus saya hadapi ketika saya mengajar siswa yang berkebutuhan kusus yaitu tuna netra dan autisme. Kesalahanya adalah kurang kesesuainya metode pengajaran yang digunakan dan gaya belajar yang diharapkan siswa berkebutuhan khusus tersebut. Upaya saya untuk mengatasi masalah tersebut yaitu mengubah motode pembelajaran, semula hanya pemberian tugas mandiri disertai dengan pembelajaran empat mata untuk memastikan materi pembelajaran dapat benar-benar dipahami oleh anak dengan kebutuhan khusus tersebut, diubah menjadi mengikutsertakan anak dengan kebutuhan khusus tersebut ke dalam kelompok-kelopok belajar bersama teman-teman yang lain. Dengan itu, mereka akan lebih aktif berdiskusi dengan teman sekelompok dan tidak merasa dibedakan atau dikucilkan. Anak yang memiliki kebutuhan khusus autisme mempunyai kelebihan yaitu dapat menulis dengan rapih, sehingga dia dipercara untuk menulis hasil diskusi yang nantinya akan dikumpul ke guru, namun tetap selalu melibatkan dia dalam diskusi dan sesekali bergantian menulis dengan teman sekelompok. Anak dengan kebutuhan khusus tuna netra memiliki kelebihan percaya diri, membuat dia dipercaya untuk menjadi moderator ketika presentasi di depan kelas. Saya percaya dengan kerjasama dan pembagian peran di dalam kelompok dengan tidak membeda-bedakan tersebut dapat dengan efektif meningkatkan semangat belajar siswa dan memberikan kesan positif bagi pribadi siswa yang berkebutuhan khusus tersebut. Melalui pengalaman ini, saya belajar betapa pentingnya eksibilitas dalam pendekatan pembelajaran untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan produktif bagi semua siswa.
Permasalahan rendahnya minat belajar dan juga belum maksimalnya pemanfaatan teknologi, menjadikan saya lebih adaptif dalam merancang pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap siswa, serta melalui diskusi dengan wali kelas dihasilkan bahwa strategi yang paling cocok untuk digunakan yaitu PAIKEM GEMBROT (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Menyenangkan, Gembira, dan Berbobot) dipadukan dengan metode pembelajaran Student Teams Achievement Division (STAD) merupakan metode pembelajaran yang dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam komunikasi, berfikir kritis, dan kerja sama. Mengkolaborasikan teknologi dengan metode pembelajaran STAD berdampak signifikan terhadap motivasi belajar siswa. Saya menyaksikan bagaimana setiap kelompok belajar dengan serius, saling membantu dan sangat antusias ketika sesi diskusi berjalan. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan merupakan upaya saya untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dan modal awal bagi saya sebagai guru ekonomi untuk memberi pemahaman terkait pentingnya pendidikan tinggi sebagai bekal dalam menghadapi persaingan global dan sebagai upaya untuk keluar dari kemiskinan struktural.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Tugas Mandiri (1 Nop 25)

oleh Indri Mutiara -
Nama : Indri Mutiara
NPM : 2523031001

Banyak siswa cenderung pasif dalam proses pembelajaran, terutama saat diminta untuk mengemukakan pendapat atau menganalisis suatu permasalahan sosial. Siswa lebih sering menyalin informasi dari buku teks tanpa mencoba memahami dan menilai informasi tersebut secara kritis. Ketika diberikan pertanyaan terbuka seperti “Mengapa ketimpangan sosial bisa terjadi di masyarakat?” sebagian besar siswa hanya menjawab secara faktual tanpa penalaran mendalam. Mereka kurang mampu menghubungkan fakta sosial dengan konteks kehidupan nyata, serta jarang mengajukan pertanyaan balik terhadap fenomena sosial yang mereka amati. Fenomena ini juga selaras dengan laporan media massa dan hasil riset pendidikan nasional yang menunjukkan adanya penurunan kemampuan berpikir kritis di kalangan pelajar Indonesia, terutama dalam kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan menyimpulkan informasi. Masalah ini menjadi perhatian penting, karena mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bertujuan membentuk peserta didik yang mampu berpikir kritis, reflektif, dan bertanggung jawab terhadap permasalahan sosial di masyarakat.

Dalam pembelajaran IPS, berpikir kritis merupakan kemampuan esensial yang diperlukan untuk:
1. Menganalisis fenomena sosial secara logis dan rasional,
2. Memahami keterkaitan antara fakta, nilai, dan keputusan sosial,
3. Mengembangkan solusi terhadap persoalan masyarakat secara argumentatif.
4. Penurunan kemampuan berpikir kritis dapat disebabkan oleh:
5. Pembelajaran yang masih berorientasi pada hafalan (teacher-centered),
6. Kurangnya penggunaan media aktual dan kontekstual,
7. Minimnya kesempatan siswa untuk berdiskusi, berargumen, dan mengevaluasi isu sosial secara mendalam.

Desain pembelajaran J. Kemp digunakan karena memberikan kerangka sistematis dan fleksibel untuk mengembangkan pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Dalam konteks ini, fokus desain diarahkan pada pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills / HOTS).
Langkah penerapan desain J. Kemp:
1. Identifikasi kebutuhan belajar: siswa perlu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan analisis sosial.
2. Menentukan tujuan pembelajaran: siswa dapat mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi fenomena sosial secara logis serta menyusun solusi alternatif.
3. Pemilihan konten: isu-isu aktual dalam masyarakat (ketimpangan sosial, kemiskinan, dan globalisasi).
4. Strategi pembelajaran: menggunakan Problem Based Learning (PBL) yang menekankan pada pemecahan masalah nyata.
5. Media pembelajaran: artikel berita, video dokumenter sosial, dan data statistik dari media massa.
6. Evaluasi: asesmen kinerja melalui diskusi, presentasi, dan refleksi individu.

Model Pembelajaran yang Digunakan: Problem Based Learning (PBL). Model Problem Based Learning (PBL) dipilih karena dapat menstimulasi kemampuan berpikir kritis siswa dengan menghadapkan mereka pada masalah nyata yang menuntut analisis dan solusi.
Langkah penerapan PBL dalam pembelajaran IPS:
1. Orientasi masalah: Guru menampilkan video berita tentang ketimpangan sosial di Indonesia.
2. Identifikasi masalah: Siswa mendiskusikan penyebab dan dampak ketimpangan sosial tersebut.
3. Pengumpulan data: Siswa mencari data dan informasi dari berbagai sumber (artikel, internet, wawancara).
4. Analisis dan sintesis: Siswa menganalisis faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang memengaruhi masalah.
5. Presentasi hasil dan refleksi: Siswa menyajikan hasil diskusi dan menarik kesimpulan kritis terhadap solusi yang ditawarkan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Tugas Mandiri (1 Nop 25)

oleh Maria Ulfa Rara Ardhika -
Nama: Maria Ulfa Rara Ardhika
NPM: 2523031009

Di SMP Negeri 1 Pardasuka, Kabupaten Pringsewu, guru-guru terus berupaya meningkatkan kualitas pembelajaran agar siswa lebih aktif dan termotivasi dalam belajar. Namun, pada praktiknya, masih ditemukan berbagai kendala, khususnya dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Berdasarkan pengamatan di kelas serta hasil refleksi bersama guru mata pelajaran, teridentifikasi bahwa motivasi belajar siswa terhadap mata pelajaran IPS masih rendah.

Banyak siswa yang menganggap IPS sebagai pelajaran yang penuh hafalan dan kurang menarik. Mereka sering merasa sulit memahami materi yang bersifat konseptual, seperti interaksi sosial dan kegiatan ekonomi masyarakat. Dalam kegiatan belajar mengajar, siswa cenderung pasif, hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat tanpa menunjukkan antusiasme atau rasa ingin tahu yang tinggi. Proses diskusi kelompok sering kali tidak berjalan efektif karena siswa belum terbiasa berpikir kritis dan menyampaikan pendapatnya.

Salah satu penyebab utama rendahnya motivasi ini adalah karena pembelajaran IPS masih banyak menggunakan metode konvensional seperti ceramah dan pemberian tugas individu. Selain itu, materi pelajaran belum dikaitkan secara langsung dengan kehidupan nyata di sekitar siswa, padahal lingkungan sosial dan ekonomi masyarakat Pardasuka sebenarnya kaya akan potensi untuk dijadikan sumber belajar yang kontekstual dan bermakna.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan perubahan desain pembelajaran yang lebih inovatif dan berpusat pada siswa. Salah satu solusi yang tepat adalah menerapkan model pembelajaran Project Based Learning (PjBL) berbasis lingkungan sosial lokal. Model ini dirancang agar siswa tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi juga terlibat aktif dalam menemukan, meneliti, dan menyimpulkan sendiri konsep-konsep IPS melalui kegiatan proyek nyata yang ada di lingkungan sekitar mereka.

Dalam penerapannya, guru dapat mengangkat tema tentang aktivitas ekonomi masyarakat Pardasuka, seperti kegiatan pertanian, perdagangan lokal, hingga usaha kecil menengah (UMKM) yang berkembang di wilayah tersebut. Proses pembelajaran dimulai dengan menumbuhkan rasa ingin tahu siswa melalui pertanyaan mendasar, misalnya: “Bagaimana cara masyarakat Pardasuka mengembangkan kegiatan ekonomi berbasis potensi lokal agar tetap menjaga kelestarian lingkungan?”

Selanjutnya, siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan diminta merancang proyek kecil untuk menjawab pertanyaan tersebut. Mereka dapat melakukan observasi atau wawancara dengan pelaku usaha lokal, mendokumentasikan kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat, lalu menganalisisnya berdasarkan konsep produksi, distribusi, dan konsumsi dalam IPS. Setelah proyek selesai, setiap kelompok mempresentasikan hasilnya dalam bentuk laporan, poster, atau video dokumenter yang menampilkan potret nyata kehidupan sosial ekonomi di lingkungan mereka.

Selama proses berlangsung, guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing, memantau kemajuan kelompok, dan membantu siswa mengaitkan hasil pengamatan dengan teori yang dipelajari di kelas. Melalui kegiatan ini, siswa belajar memahami bahwa IPS bukan sekadar teori, melainkan ilmu yang membantu mereka memahami kehidupan sosial yang sebenarnya.

Hasil penerapan model Project Based Learning ini terbukti mampu meningkatkan motivasi belajar siswa. Mereka menjadi lebih aktif, kreatif, dan antusias dalam mengikuti pelajaran. Siswa juga menunjukkan peningkatan kemampuan berpikir kritis, berkolaborasi, serta lebih menghargai potensi ekonomi lokal di daerah mereka.

Dengan demikian, penerapan model pembelajaran PjBL berbasis lingkungan sosial lokal menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi rendahnya motivasi belajar siswa pada mata pelajaran IPS di SMP Negeri 1 Pardasuka. Melalui pendekatan ini, pembelajaran menjadi lebih hidup, bermakna, dan relevan dengan kehidupan nyata siswa, sekaligus menumbuhkan rasa cinta terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal di Kabupaten Pringsewu.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Tugas Mandiri (1 Nop 25)

oleh Diah Rachmawati Syukri -
Nama : Diah Rachmawati Syukri
NPM : 2523031003

Salah satu masalah yang sering muncul di kelas VII SMPN 40 Bandar Lampung dalam pembelajaran IPS adalah rendahnya keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran, terutama ketika materi berhubungan dengan konsep-konsep abstrak seperti interaksi sosial, aktivitas ekonomi, atau dinamika keruangan. Banyak siswa cenderung pasif dan hanya menyalin penjelasan guru tanpa benar-benar memahami konteksnya dalam kehidupan nyata. Kondisi ini menyebabkan pembelajaran IPS menjadi berorientasi pada hafalan, bukan pada pemahaman dan penerapan konsep dalam situasi sosial sehari-hari.

Untuk mengatasi masalah tersebut, solusi yang tepat adalah menerapkan desain pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning/PjBL) dengan pendekatan diferensiasi. Desain ini memungkinkan guru merancang kegiatan yang kontekstual dan menyesuaikan tugas proyek dengan kemampuan serta minat siswa. Misalnya, dalam topik “Kegiatan Ekonomi dan Interaksi Sosial di Lingkungan Sekitar”, siswa dapat melakukan observasi lapangan di pasar tradisional atau lingkungan tempat tinggal, kemudian menyusun laporan dan presentasi hasil pengamatan. Dengan desain ini, siswa tidak hanya menghafal konsep, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kolaboratif, dan kreatif.

Model PjBL diferensiatif selaras dengan pandangan konstruktivisme Vygotsky yang menekankan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi sosial dan pengalaman langsung. Selain itu, pembelajaran ini sejalan dengan paradigma Merdeka Belajar yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Hosnan (2014), model pembelajaran berbasis proyek efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi karena siswa dilibatkan secara langsung dalam proses pemecahan masalah nyata. Dengan demikian, penerapan desain PjBL yang berorientasi pada konteks lokal dan diferensiasi kemampuan siswa dapat menjadi solusi efektif untuk meningkatkan partisipasi, pemahaman konseptual, dan keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran IPS di SMPN 40 Bandar Lampung.

Referensi:
Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Ghalia Indonesia.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: Tugas Mandiri (1 Nop 25)

oleh amaradina fatia sari -
Nama : Amaradina Fatia Sari
NPM : 2523031004

Terdapat kasus yang baru-baru ini sangat tranding yaitu kasus perundungan di Universitas Udayana yang mengakibatkan satu korban jiwa (Media Indonesia, 2025). Hal tersebut menunjukkan lemahnya kesadaran sosial, empati, dan kontrol diri di kalangan mahasiswa. Tindakan bullying yang berujung tragis mencerminkan belum sepenuhnya berhasil menumbuhkan karakter sosial dan moral peserta didik. Dalam konteks ini, pendidikan IPS memiliki peran strategis untuk memberikan solusi melalui pembelajaran yang tidak hanya menekankan aspek pengetahuan sosial, tetapi juga membentuk kepribadian, nilai kemanusiaan, dan tanggung jawab sosial peserta didik.

Salah satu desain pembelajaran yang relevan untuk diterapkan adalah pembelajaran berbasis isu sosial (Social Issue-Based Learning). Melalui model ini, guru menghadirkan kasus nyata seperti perundungan di kampus Udayana sebagai bahan diskusi dan analisis di kelas. Peserta didik diajak untuk mengidentifikasi akar masalah bullying, menganalisis dampaknya dari perspektif sosial, budaya, dan moral, serta merumuskan solusi yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini dapat dikombinasikan dengan Problem Based Learning dan Service Learning, di mana siswa tidak hanya memahami masalah, tetapi juga melakukan aksi nyata seperti kampanye anti-bullying di lingkungan sekolah atau media sosial. Dengan demikian, pembelajaran IPS tidak berhenti pada tataran teori, melainkan menjadi sarana pembentukan karakter sosial yang berorientasi pada empati dan kepedulian.
Selain itu, model pembelajaran Humanistik Sosial (Humanistic Social Learning Model) juga sangat relevan untuk mengatasi persoalan ini. Model ini berlandaskan pada gagasan Carl Rogers dan Paulo Freire yang menekankan bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia. Dalam penerapannya, guru berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik memahami dirinya dan orang lain melalui dialog reflektif, kegiatan menulis jurnal empati, dan diskusi nilai-nilai sosial. Evaluasi pembelajaran tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada perkembangan sikap sosial, kemampuan berempati, dan kesadaran moral peserta didik.
Model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) juga dapat dijadikan pendekatan pelengkap. Melalui kerja kelompok yang heterogen, peserta didik belajar menghargai perbedaan, bekerja sama, dan menyelesaikan tugas secara tanggung jawab bersama. Penilaian diarahkan tidak hanya pada hasil akhir, tetapi juga pada proses interaksi sosial yang mencerminkan nilai gotong royong, toleransi, dan solidaritas. Dengan cara ini, pembelajaran IPS menjadi wahana untuk membangun hubungan sosial yang sehat dan mencegah munculnya perilaku diskriminatif maupun perundungan.

Secara keseluruhan, penerapan desain dan model pembelajaran IPS seperti di atas mampu mengintegrasikan antara pengetahuan, nilai, dan tindakan sosial. Melalui pendekatan kontekstual, reflektif, dan kolaboratif, peserta didik tidak hanya memahami fenomena sosial, tetapi juga terlibat aktif dalam membangun lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan beradab. Dengan demikian, IPS berfungsi bukan hanya sebagai mata pelajaran yang mempelajari masyarakat, tetapi juga sebagai sarana transformasi sosial yang menumbuhkan empati, menghormati keberagaman, serta menegakkan nilai kemanusiaan dalam kehidupan bersama.