Diskusi 1

Diskusi 1

Diskusi 1

Number of replies: 14

Jelaskan dengan paradigma kebijakan publik fenomena atau gejala empiris kelangkaan BBM (solar) yang marak saat ini..

In reply to First post

Re: Diskusi 1

Galang Fairroman Sanda གིས-
Saya Galang Fairroman Sanda dengan NPM 2526061005 izin menjawab,
Secara ideal, pasar akan menyeimbangkan suplai dan permintaan melalui mekanisme harga. Namun, kelangkaan solar menunjukkan adanya kegagalan pasar, yang mana mekanisme ini tidak berjalan. Pemerintah melakukan intervensi dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) yang murah.
Distorisi Harga: Harga solar yang disubsidi jauh di bawah harga pasar global. Hal ini membuat permintaan melonjak, sementara produsen (Pertamina) enggan menambah produksi atau distribusi karena rugi. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan besar antara permintaan (tinggi) dan suplai (rendah).
Aktivitas Ilegal: Perbedaan harga ini juga mendorong penimbunan dan penyelewengan, di mana solar dibeli dengan harga subsidi lalu dijual kembali dengan harga nonsubsidi atau untuk keperluan industri. Ini mengurangi ketersediaan solar untuk masyarakat yang berhak.
Desain Kebijakan yang Tidak Tepat: Kebijakan subsidi tidak spesifik menargetkan kelompok yang benar-benar membutuhkan, seperti petani atau nelayan kecil. Sebaliknya, subsidi dinikmati oleh semua pengguna, termasuk industri dan spekulan. Ini menyebabkan subsidi tidak efektif dan tidak efisien.
Lemahnya Pengawasan: Meskipun ada aturan, pengawasan di lapangan terhadap penyelewengan dan penimbunan sangat lemah. Aparat penegak hukum tidak bisa sepenuhnya mengawasi setiap SPBU atau truk yang membawa solar.
Masalah Koordinasi: Terkadang, ada koordinasi yang buruk antara berbagai lembaga pemerintah, seperti kementerian yang menetapkan kuota, BPH Migas yang mengawasi, dan Pertamina sebagai penyalur. Kuota yang ditetapkan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan.
Paradigma melihat masalah dari sisi aturan main dan struktur yang ada. Kelangkaan solar adalah cerminan dari lemahnnya lembaga yang mengatur sektor ini.
Aturan yang Fleksibel: Aturan yang mengatur distribusi solar terkadang tidak cukup ketat atau mudah diakali. Misalnya, tidak adanya sistem yang solid untuk memverifikasi siapa yang berhak membeli solar subsidi.
Kapasitas Kelembagaan: Kapabilitas Pertamina dan BPH Migas dalam mengelola sistem distribusi yang kompleks ini terbatas. Sistem distribusi yang masih manual (antrean) dan belum sepenuhnya digital menurut saya masih membuat pengawasan sulit dilakukan.
Penyelenggara SPBU: Mereka cenderung memprioritaskan penjualan solar ke "langganan" atau untuk tujuan yang lebih menguntungkan (seperti penimbun) karena adanya insentif finansial dari perbedaan harga.
Masyarakat: Masyarakat yang rasional akan menumpuk solar ketika ada informasi akan terjadi kelangkaan, untuk menghindari kesulitan di masa depan.
Penimbun: Mereka melihat peluang keuntungan yang besar dari perbedaan harga dan secara rasional akan melakukan penimbunan, karena risiko hukumnya lebih kecil daripada potensi keuntungannya.
Mungkin ini sekilas dari apa yang saya lihat, amati dan alami saat ini, sekian dari saya terima kasih ibu.
In reply to First post

Re: Diskusi 1

Puspa Widya Kencana གིས-

Kelangkaan BBM solar menyebabkan antrean panjang di banyak SPBU dan bukan fenomena baru karena masalah ini sudah muncul berulang dalam beberapa tahun terakhir. Penyebab utama menurut Kementerian ESDM adalah gangguan logistik, lonjakan permintaan sektoral, dan efek komunikasi kebijakan yang memengaruhi pasokan daerah. Kuota Solar JBT 2025 sebesar 18,8 juta kL pada pertengahan September tersisa sekitar 3%, sehingga pasokan JBT ini sangat tipis. (1) (2)

Untuk mengawal kuota yang sangat tipis ini agar tetap tepat sasaran, kemungkinan pemerintah memperketat verifikasi pembelian subsidi melalui QR Code MyPertamina, sehingga kendaraan tanpa pendaftaran atau QR tidak valid berisiko ditolak dan pembatasan volume harian akan lebih tegas. Termasuk anterian yang muncul akibat antisipatif (panic buying) sehingga permintaan harian akan terus meningkat. Sementara realokasi cadangan kuota BBM antarwilayah membutuhkan waktu dan menghadapi kendala logistik.

Di lapangan, penerapan QR Code pada pembelian biosolar di SPBU Pertamina diperkirakan mendorong lonjakan pembelian di SPBU swasta, dan ini menjadi salah satu penyebab kelangkaan. (3) Pasokan BBM non subsidi di SPBU swasta yang sempat kosong/tersendat ini direspon pemerintah dengan rencana “impor BBM satu pintu melalui Pertamina” dengan alasan pasokan lebih terkendali (pembatasan) dan stok yang lebih aman (4) berlandaskan Perpres 191/2014 dan Permendag 21/2019. Kebijakan ini tentu menuai kritik terkait persaingan sehat karena berpotensi mempersempit pilihan konsumen dan memperkuat dominasi Pertamina di pasar BBM nonsubsidi. Pemberitaan terhadap rencana kebijakan ini sangat ramai baik di media maupun flatform digital lainnya (medsos).

Paradigma Kebijakan Publik terkait kasus kelangkaan solar ini:

Saya, secara singkat berusaha menganalisis dari sudut pandang pemerintah (Kementerian ESDM dan pihak Pertamina), kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan BBM secara umum (Solar dalam kasus kelangkaan) untuk sasaran JBT yang tepat guna sesuai Perpres 191/2014 dan menjaga stabilitas harga termasuk “impor BBM satu pintu melalui Pertamina” dimaksud sebagai kalaborasi swasta-Pertamina dalam menjamin pasokan BBM. Apakah kita bisa melihat kebijakan ini sebagai kebijakan dengan pendekatan elit-oriented? Saya pribadi melihatnya ya, walaupun secara “resmi” tujuannya adalah pro-publik dan memiliki payung hukum yang jelas. Namun pada implementasinya kurang transparan, keputusan diambil oleh aktor terbatas, minim akuntabilitas, dan mempersempit ruang pelaku lain sehingga menimbulkan gejolak di masyarakat (keterbatasan stok, panic buying, dan keresahan masyarakat lainnya terkait pelayanan). Kebijakan ini juga dapat dilihat sebagai kebijakan dengan pendekatan Institusionalisme yang sangat kuat. Peran pemerintah sangat kuat mengatur kebijakan dengan berlandaskan aturan-aturan sebelumnya termasuk penugasan Pertamina sebagai “satu pintu” operasional. Pertanyaannya, apakah kebijakan ini dapat dinilai efektif, efisien, equity, dan memenuhi asas-asas kebijakan publik, tentu perlu kita kaji lebih detil. Namun menurut pandangan pribadi saya, pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu menyelesaikan akar masalah utama terlebih dahulu terkait kelangkaan BBM (khususnya solar) sehingga tidak berlarut-larut dan berulang setiap tahun.  Hal ini menjadi sangat penting karena erat dengan perputaran roda ekonomi. Di sisi lain, menambah kebijakan prokontra terhadap pasokan BBM non subsidi tanpa kajian dampak pasar yang kuat hanya akan memperbesar risiko menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Sumber:

1.      https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita

2.      https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/83747/serapan-bbm-bersubsidi-kuota-pertalite-tersisa-10-solar-3/2

3.      https://www.cnbcindonesia.com/news/20250911181316-4-666274/pembelian-bbm-pertalite-solar-subsidi-100-sudah-pakai-qr-code?

4.      https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250918160710-85-1275146/esdm-blak-blakan-alasan-impor-bbm-satu-pintu-lewat-pertamina?


In reply to First post

Diskusi 1- Jelaskan dengan paradigma kebijakan publik fenomena atau gejala empiris kelangkaan BBM (solar) yang marak saat ini

Agus Effendi གིས-

Agus Effendi, NPM. 2526061014

Kelangkaan BBM bersubsidi, khususnya solar, merupakan fenomena kompleks yang tidak bisa dipahami hanya sebagai ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan. Dalam perspektif kebijakan publik, masalah ini mencerminkan kegagalan dalam setiap tahapan siklus kebijakan, mulai dari formulasi, implementasi, hingga evaluasi. Antrean panjang di SPBU di berbagai daerah, menunjukkan adanya masalah struktural dalam distribusi serta lemahnya pengawasan, yang diperparah oleh praktik penyalahgunaan seperti pelangsiran. Kondisi ini menimbulkan keresahan sosial sekaligus mencerminkan keterbatasan kapasitas negara dalam menjamin akses energi yang merata dan berkeadilan.

masalah kelangkaan solar berbeda-beda dapat diliat dari beberapa pihak yang terlibat. Pemerintah melihatnya sebagai beban fiskal yang memerlukan pembatasan kuota dan penyaluran terarah, Pertamina menekankan ketidakseimbangan kuota dengan lonjakan permintaan, masyarakat menyoroti sulitnya akses yang menghambat aktivitas ekonomi, dan pelaku usaha sering memanfaatkan perbedaan harga untuk penyalahgunaan subsidi. Perbedaan persepsi ini menyebabkan formulasi kebijakan belum sepenuhnya efektif dan kohesif. Di lapangan, implementasi menghadapi tantangan pengawasan, perilaku orang yang tidak patuh, serta keterbatasan infrastruktur, sehingga antrean panjang dan praktik penyelewengan tetap terjadi.

Dampak kelangkaan solar dirasakan langsung oleh masyarakat yang sangat bergantung pada bahan bakar ini, seperti nelayan dan petani, yang mengalami penurunan pendapatan dan gangguan produktivitas. Fenomena ini juga menimbulkan efek domino pada sektor logistik, distribusi barang, dan biaya produksi, yang pada akhirnya mendorong inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, alih-alih hanya mengatur kuota atau harga, solusi yang efektif memerlukan reformasi menyeluruh pada siklus kebijakan publik, mulai dari pendefinisian masalah yang tepat, pengawasan implementasi yang kuat, hingga evaluasi yang responsif terhadap dampak yang muncul.

Kesimpulan
Kelangkaan solar bersubsidi merupakan fenomena kompleks yang merefleksikan tantangan dalam setiap tahapan siklus kebijakan publik. Paradigma kebijakan publik menunjukkan bahwa persoalan ini tidak sekadar berkaitan dengan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, tetapi juga merupakan hasil dari interaksi antara formulasi kebijakan yang tidak seragam, implementasi yang lemah, serta evaluasi yang belum optimal. Oleh karena itu, solusi terhadap kelangkaan solar tidak cukup hanya dengan menambah kuota atau mengatur harga, melainkan menuntut reformasi menyeluruh pada seluruh tahapan kebijakan, mulai dari pendefinisian masalah yang tepat, pengawasan implementasi yang lebih ketat, hingga evaluasi yang transparan dan responsif terhadap dampak yang muncul.


In reply to First post

Re: Diskusi 1

Siti Nurhasanah གིས-

Siti Nurhasanah ( 2526061011 )

Fenomena kekurangan BBM solar dapat dianalisis melalui sudut pandang kebijakan publik dengan mengamati bagaimana pemerintah merancang, melaksanakan, dan menilai kebijakan yang berhubungan dengan distribusi dan subsidi BBM. Kekurangan ini terjadi karena kombinasi faktor seperti lonjakan permintaan akibat peningkatan aktivitas ekonomi, ketidak efisienan dalam sistem distribusi, penerapan sistem baru yang kurang dipahami, serta praktik penimbunan oleh individu tertentu.

Dalam hal kebijakan, pemerintah menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan subsidi agar BBM tetap dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan mengatur kuota serta distribusi agar pasokan tetap terjamin. Ketidaksesuaian antara kuota yang ditentukan dengan kebutuhan nyata di lapangan juga mencerminkan adanya masalah dalam perencanaan dan koordinasi antara lembaga yang berhubungan.

Dengan demikian, paradigma kebijakan publik mengharuskan perbaikan dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih responsif, transparan, dan partisipatif agar solusi yang dihasilkan mampu mengatasi kelangkaan dengan efektif dan berkelanjutan. sehingga dalam hal ini semua stakeholders diharapakan mampu bersinergi agar masalah kelangkaan BBM Solar dapat terselesaikan dan tidak terjadi kelangkaan kembali.

In reply to First post

Re: Diskusi 1

Berly Waryanti གིས-

Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu sumber energi utama yang memiliki peran vital dalam mendukung aktivitas ekonomi, transportasi, pertanian, serta sektor perikanan di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir fenomena kelangkaan solar kerap terjadi di berbagai daerah. Kelangkaan ini memicu antrean panjang di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), keterlambatan distribusi barang, hingga meningkatnya biaya produksi diberbagai sektor. Kondisi tersebut menimbulkan problem multidimensional yang melibatkan aspek ekonomi, sosial, dan tata kelola pemerintahan

Dari perspektif administrasi publik, kelangkaan solar bukan hanya fenomena teknis dalam manajemen distribusi energi, tetapi juga menyangkut efektivitas kebijakan publik, keadilan sosial, serta kapasitas tata kelola pemerintah dalam melibatkan berbagai aktor. Paradigma New Public Management (NPM) membawa perspektif menekankan pentingnya efisiensi, efektivitas, dan mekanisme pasar dalam tata kelola publik (Osborne & Gaebler, 1992). Dalam kerangka NPM, kelangkaan solar dianggap sebagai kegagalan manajerial dalam mengelola rantai pasok energi, termasuk monopoli distribusi dan subsidi yang tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, pendekatan NPM mendorong diversifikasi aktor distribusi, penggunaan teknologi informasi dalam penyaluran subsidi, serta kebijakan berbasis hasil yang lebih responsif terhadap dinamika permintaan pasar.

Pemerintah tengah menggodok revisi Perpres No. 191/2014 untuk memperjelas kriteria pengguna yang berhak atas BBM bersubsidi (solar dan pertalite), agar penyaluran lebih tepat sasaran. BPH Migas merencanakan pengetatan batas maksimal volume harian pembelian solar subsidi per kendaraan untuk mencegah penyalahgunaan. Pemerintah juga mengusulkan dalam RAPBN 2025 alokasi volume solar subsidi serta besaran subsidi (Rp/liter) tetap, dengan kontrol lebih ketat untuk sektor yang bukan prioritas.

Meski sudah ada regulasi, ada indikasi penyalahgunaan solar subsidi oleh pihak yang tidak seharusnya, misalnya sektor industri atau pertambangan. Regulasi dilarang untuk penggunaan industri tersebut tapi dalam praktik pengawasannya tidak selalu konsisten. Infrastruktur pengawasan dan distribusi (termasuk regulasi daerah, pengawasan di SPBU, rekomendasi lokal) masih perlu diperkuat agar regulasi berjalan efektif.

Untuk mengatasi kelangkaan BBM solar, pemerintah perlu:

  1. Memperkuat regulasi dan pengawasan distribusi solar bersubsidi agar tepat sasaran, khususnya bagi nelayan, petani, dan pelaku transportasi kecil.
  2. Memanfaatkan teknologi informasi (misalnya digital tracking dan QR code) guna meningkatkan transparansi penyaluran serta mencegah penyalahgunaan.
  3. Mendorong kolaborasi multi-aktor, melibatkan pemerintah daerah, BUMN, swasta, dan masyarakat dalam monitoring distribusi solar.
  4. Menata ulang skema subsidi dengan mekanisme yang lebih adil, berkelanjutan, dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat produktif.

 


In reply to First post

Jelaskan dengan paradigma kebijakan publik fenomena atau gejala empiris kelangkaan BBM (solar) yang marak saat ini

Jumain Jumain གིས-
Jumain, NPM : 2526061015

BBM merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat dan negara, terutama bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang menjadi penopang utama transportasi barang, industri, dan sektor pertanian. Dalam beberapa waktu terakhir, fenomena kelangkaan BBM solar terjadi di berbagai daerah di Indonesia, ditandai dengan antrean panjang kendaraan bermuatan berat SPBU. Kondisi ini menimbulkan keresahan masyarakat karena berdampak pada distribusi logistik, biaya produksi, hingga meningkatnya harga kebutuhan pokok, selain itu antrean panjang kendaraan mengganggu kelancaran arus lalu lintas, Kelangkaan solar subsidi dikhawatirkan akan berdampak luas terhadap perekonomian. Masalah yang timbul dari kelangkaan solar subsidi bukan hanya soal pasokan, melainkan juga masalah tata kelola distribusi, Ada potensi penyalahgunaan solar subsidi oleh pihak yang tidak berhak dan pemerintah harus memperketat pengawasan agar solar subsidi tepat sasaran, khususnya untuk transportasi dan nelayan kecil.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam keterangan persnya menyebut pemerintah sedang meninjau kemungkinan penambahan kuota solar subsidi tahun ini, serta Pertamina untuk mempercepat distribusi di daerah-daerah yang mengalami antrean dan memperketat pengawasan. Selain itu, pemerintah juga sedang mempertimbangkan realokasi kuota agar lebih tepat sasaran. Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang meninjau penambahan dan realokasi kuota solar subsidi di Indonesia membawa harapan besar bagi masyarakat, khususnya mereka yang sangat bergantung pada bahan bakar ini.

Dengan adanya tambahan kuota, ketersediaan solar di SPBU diproyeksikan akan lebih stabil. Hal ini diharapkan mampu mengurai antrean panjang kendaraan yang selama ini menjadi pemandangan sehari-hari di berbagai daerah. Sopir truk, angkutan umum, hingga nelayan kecil yang sebelumnya harus menunggu berjam-jam demi mendapatkan solar, kini dapat lebih mudah memperoleh bahan bakar untuk melanjutkan aktivitas mereka. Selain itu, kelancaran distribusi barang dan logistik juga menjadi salah satu dampak penting dari kebijakan ini. Dengan ketersediaan bahan bakar yang lebih terjamin, distribusi barang bisa berjalan tepat waktu. Kondisi ini akan membantu menjaga ritme perekonomian, terutama di sektor perdagangan dan jasa yang sangat bergantung pada transportasi. Kebijakan ini juga diyakini mampu mencegah kenaikan harga barang atau inflasi. Selama ini, salah satu pemicu kenaikan harga adalah terhambatnya distribusi logistik akibat kelangkaan solar. Jika distribusi berjalan lancar, biaya transportasi akan lebih terkendali sehingga harga kebutuhan pokok di pasar tidak terdorong naik. Dampak positif ini secara langsung akan dirasakan masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan menengah ke bawah yang sangat sensitif terhadap fluktuasi harga bahan pokok dan dengan dilakukan pengawasan diharapkan subsidi solar tepat sasaran.
In reply to First post

Re: Diskusi 1

Nabilah Putri Sakinah གིས-

Nama : Nabilah Putri Sakinah 

NPM   : 2526061017


Fenomena gejala kelangkaan BBM yang marak saat ini jika dijelaskan melalui paradigma kebijakan publik, yaitu dengan memahami bagaimana kebijakan dibuat, dijalankan, serta adanya evaluasi kebijakan dalam mengatasi masalah-masalah publik khususnya kelangkaan BBM. Di Indonesia kelangkaan BBM sudah sering terjadi, akan tetapi pemerintah tidak langsung menanggapi atau mengambil tindakan dengan membuat kebijakan baru, sehingga sering kali adanya lonjakan permintaan konsumen yang membuat kebutuhan solar meningkat tajam melebihi stok yang tersedia, belum lagi kuota solar bersubsidi terbatas yang terkadang permintaan lebih tinggi dibandingkan stok solar yang ada. Penyebab-penyebab tersebut dapat menjadi antrean panjang di SPBU, adanya kenaikan harga pokok, hambatan dalam aktivitas ekonomi, dan adanya penimbunan solar. 

Dalam Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 (termasuk perubahan lewat Perpres 117 Tahun 2021) yaitu mengatur penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran BBM bersubsidi dan aturan terkait batas volume/distribusi. Menurut saya, dalam penjelasan paradigma rasional, kelangkaan solar mencerminkan adanya kemungkinan kegagalan dalam perencanaan distribusi dan alokasi energi, terutama solar bersubsidi. Pemerintah mungkin gagal memprediksi permintaan aktual, atau distribusi tidak sesuai dengan kebutuhan sektor transportasi dan industri. Sehingga ketidakseimbangan ini perlu adanya pengambilan keputusan berbasis data dan peningkatan sistem monitoring dalam pendistribusian BBM.

Jadi, peran pemerintah dalam menanggapi kelangkaan BBM (solar) sebaiknya yaitu  memperkuat pengawasan distribusi BBM agar tidak terjadi penimbunan atau penyalahgunaan, terutama untuk BBM bersubsidi seperti solar dan gunakan sistem digitalisasi distribusi (seperti barcode, aplikasi MyPertamina) untuk memastikan BBM tepat sasaran. Sedangkan peran masyarakat dalam menghadapi fenomena ini yaitu memahami bahwa krisis energi dan kelangkaan BBM juga terkait dengan isu lingkungan global (perubahan iklim, cadangan minyak terbatas) serta mendukung kebijakan pemerintah dalam pengembangan energi ramah lingkungan.

In reply to First post

Re: Diskusi 1

Ardiansyah Kurniawan གིས-

Dewasa ini, kelangkaan bahan bakar minyak, terutama jenis solar menjadi perbincangan hangat di seluruh khalayak media sosial maupun media masa. antrian-antrian kendaraan truck dan pick-pick up sering kita jumpai di SPBU hampir di seluruh wilayah Lampung. akibatnya, aktivitas ekonomi terhambat, banyak yang terhambat akibat fenomena sosial ini karena akomodasi distribusi barang dan angkutan hasil bumi banyak yang terhambat. kelangkaan ini bukan hanya sekedar soal "kurang pasukan minyak di SPBU", melainkan persoalan kebijakan yang melibatkan banyak aktor, aturan dan kebijakan.  masalah publik ini bukan masalah baru, melainkan masalah yang terus berulang-ulang. perlu kita pahami bahwa ketika keluhan menumpuk dan aktivitas ekonomi terganggu, isu tersebut masuk ke agenda kebijakan. Pemerintah kemudian merumuskan pilihan, dengan menetapkan keputusan, melaksanakan kebijakan dan pada akhirnya mengevaluasi. Siklus ini yang kemudia menjadi penentu apakah kebijakan sudah tepat sasaran atau justru menimbulkan permasalahan baru. Dari sisi siapa yang berkuasa mengambil keputusan, kita bisa melihat paradigma elit. keputusan mengenai kuota, subsidi, dan distribusi banyak berada di tangan pemerintah pusat, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), dan Pertamina. prosedur ini menghasilkan keputusan yang cepat karena berfokus pada pertimbangan fiskal dan stabilitas makro. sementara kebutuhan masyarakat kelas bawah seperti nelayan kecil, petani kecil, dan sopir angkutan kurang terwakili, maka dari itu transparansi dan akuntabilitas sangat penting agar kebijakan tidak “jauh dari dapur rakyat”. selanjutnya ada paradigma kelembagaan (institutional). Kelangkaan BBM kerap lahir dari aturan dan prosedur yang belum serasi: tumpang-tindih kewenangan, pengawasan yang tidak seragam, serta koordinasi pusat-daerah yang belum padu. Misalnya, satu daerah menerapkan SOP ketat terhadap pendistribusian BBM, sementara daerah lain longgar dari pengawasan. Akibatnya, penyaluran menjadi tidak merata dan rantai distribusi menjadi mudah “tersendat”. Solusi pada ranah ini adalah memperjelas peran tiap lembaga, menyusun SOP yang seragam, dan membangun mekanisme koordinasi yang teratur. dalam kacamata paradigma kelompok kepentingan. Solar bersubsidi ditujukan bagi pihak tertentu, tetapi kenyataannya banyak kelompok berkepentingan yang “tarik-menarik”, mulai dari pelaku usaha kecil, sampai oknum yang mencari celah untuk penimbunan atau penyalahgunaan. Ketika tarik-menarik kepentingan mencapai titik buntu, yang muncul adalah kelangkaan di lapangan. Karena itu, dialog yang jujur, data penerima manfaat yang akurat, serta penegakan aturan yang konsisten menjadi kunci agar kebijakan tidak disandera kepentingan sempit.  Sebagai sebuah sistem politik, kelangkaan dapat dipahami sebagai masukan (tuntutan dan dukungan) dari masyarakat kepada pemerintah. Pemerintah menanggapi dengan keluaran kebijakan: menambah kuota, melakukan inspeksi, memperketat sanksi, atau menerapkan digitalisasi distribusi. Dalam praktik dilapangan pemerintah bisa memilih pendekatan rasional atau inkremental. Pendekatan rasional idealnya berbasis data menyeluruh: siapa sasaran subsidi, berapa kebutuhan musiman, bagaimana risiko kebocoran, dan opsi apa yang paling efisien. Namun, ketika waktu sempit, langkah bertahap seperti menambah jam layanan SPBU, menyalurkan tambahan kuota sementara, atau melakukan sidak berkala dapat menjadi “penahan sementara”. Kuncinya adalah tidak berhenti perbaikan secara parsial, melainkan bergerak menuju pembenahan struktural.

Pada tahap implementasi, dua hal penting perlu dipadukan. Pertama, pendekatan top-down dengan tujuan jelas, instruksi tegas, dan rantai komando kuat, terutama saat darurat. Kedua, pendekatan bottom-up yang mengakui adanya diskresi petugas lapangan, sepanjang disertai pedoman yang jelas, pelaporan digital, dan pengawasan yang akuntabel. Kita juga harus menutup celah “permainan” di lapangan melalui insentif dan disinsentif seperti penghargaan bagi kepatuhan, sanksi tegas bagi pelanggaran. Lalu, apa langkah konkret yang dapat kita dorong bersama adalah yang Pertama, digitalisasi penyaluran end-to-end: penerima subsidi ter verifikasi (berdasarkan identitas usaha/penyedia transportasi barang/nelayan/petani), kuota tercatat otomatis, dan transaksi diawasi melalui dasbor yang memantau selisih pasokan-permintaan harian. Kedua, pembenahan kelembagaan: keseragaman aturan, SOP yang jelas dan tegas, dan satuan tugas lintas lembaga yang bekerja dengan target dan tolok ukur kinerja yang terukur. Ketiga, pelibatan pemangku kepentingan secara bermakna seperti asosiasi nelayan, penyedia angkutan darat, pelaku UMKM, dan pemerintah daerah duduk bersama melaksanakan mediasi dan menyepakati aturan main yang adil dan dapat dijalankan. Keempat, penguatan pengawasan dan penegakan hukum yang konsisten, sehingga efek jera tercipta dan budaya “cari celah” berkurang. Terakhir, kita harus menilai bahwa kebijakan bukan hanya dari cepat tidaknya permasalahan kelangkaan BBM menghilang, tetapi juga dari keadilan (equity), efisiensi, efektivitas, dan keterlibatan masyarakat. Subsidi harus tepat sasaran, distribusi harus dapat diprediksi, prosedur harus adil, dan kesejahteraan sosial harus meningkat. Dengan kacamata kebijakan publik yang menyeluruh, kita tidak berhenti pada menyalahkan satu pihak, tetapi mendorong perubahan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan bersama agar permasalahan publik seperti kelangkaan BBM terutama solar bersubsidi atau kasusu serupa tidak terjadi kembali 

In reply to First post

Re: Diskusi 1

Octa Vallen Dwi Puspita 2526061008 གིས-
Nama : Octa Vallen Dwi Puspita, S.A.N.
NPM : 2526061008
"Analisis Paradigma Kebijakan Publik terhadap fenomena kelangkaan BBM (Solar)"
Kelangkaan BBM solar bersubsidi yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir merupakan manifestasi kompleks dari kegagalan implementasi kebijakan publik di sektor energi. Fenomena ini tidak dapat dipandang semata-mata sebagai persoalan teknis distribusi, melainkan refleksi dari lemahnya desain kebijakan subsidi energi yang telah berlangsung dekade. Paradigma kebijakan publik menawarkan kerangka analisis komprehensif untuk memahami akar permasalahan ini, mulai dari tahap formulasi hingga evaluasi kebijakan. Dalam konteks subsidi BBM Indonesia, kelangkaan solar menunjukkan adanya market distortion yang sistemik dan ketidakselarasan antara tujuan kebijakan dengan mekanisme implementasinya (Wong, 2024).
Paradigma kebijakan publik menyediakan lensa analitis untuk memahami bagaimana kebijakan subsidi BBM Indonesia mengalami kegagalan struktural. Menurut kerangka analisis kebijakan, terdapat tiga dimensi utama yang perlu dievaluasi yaitu efektivitas, efisiensi, dan ekuitas. Kebijakan subsidi solar bersubsidi Indonesia menghadapi tantangan serius dalam ketiga dimensi tersebut. Analisis menunjukkan bahwa mekanisme subsidi berbasis komoditas menjadi penyebab utama ketidaksetaraan. Paradigma rational choice dalam kebijakan publik juga menjelaskan bagaimana aktor-aktor ekonomi memanfaatkan celah regulasi untuk kepentingan pribadi, berkontribusi pada kelangkaan artificial di pasar solar bersubsidi. Pendekatan top-down dalam implementasi kebijakan subsidi energi Indonesia terbukti menciptakan gap antara desain kebijakan dengan realitas lapangan.
Kegagalan targeting dalam kebijakan subsidi solar bersubsidi merupakan inti permasalahan kelangkaan yang terjadi. Kelangkaan solar subsidi pada sejumlah wilayah di Indonesia diduga digunakan oleh pihak yang tidak berhak. Paradigma implementation gap dalam studi kebijakan publik menjelaskan mengapa kebijakan yang secara teoretis baik dapat mengalami distorsi dalam praktiknya. Ketidakjelasan kriteria penerima subsidi dan lemahnya sistem monitoring menciptakan moral hazard yang masif. Upaya pemerintah untuk membatasi akses melalui kriteria kapasitas mesin kendaraan menunjukkan pendekatan reaktif daripada preventif dalam mengatasi misalokasi. Aturan baru menyatakan mobil di atas 2.000 CC tidak berhak mengisi BBM Solar subsidi dan mobil di atas 1.400 CC tidak diizinkan mengisi BBM Pertalite, namun implementasi kebijakan ini menghadapi penundaan karena ketidaksiapan sistem.
Kelangkaan solar bersubsidi tidak dapat dipisahkan dari dimensi politik ekonomi kebijakan subsidi energi Indonesia. Subsidi bensin telah menghabiskan hingga 15% pengeluaran pemerintah yang sebenarnya bisa dialokasikan lebih baik ke sektor lain. Paradigma political economy dalam analisis kebijakan publik menunjukkan bagaimana kebijakan subsidi energi menjadi instrumen politik untuk mempertahankan legitimasi, meskipun secara ekonomi tidak efisien. Pemerintah Indonesia telah lebih dari menggandakan pendanaan untuk subsidi energi dan kompensasi dalam APBN, dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 349,9 triliun. Kebijakan ini mencerminkan trade-off politik antara stabilitas sosial jangka pendek dengan sustainabilitas fiskal jangka panjang. Resistensi terhadap reformasi subsidi energi menunjukkan kuatnya interest group yang diuntungkan.
Paradigma New Public Management (NPM) menawarkan alternatif solusi untuk mengatasi kelangkaan solar bersubsidi melalui mekanisme berbasis pasar dan targeting yang lebih presisi. Ekonomi Indonesia sangat bergantung pada industri bahan bakar fosil, dengan proporsi tinggi pendapatan non-pajak pemerintah berasal dari ekspor batu bara. Pendekatan NPM menekankan pentingnya efisiensi alokasi sumber daya dan penggunaan instrumen pasar untuk mencapai tujuan kebijakan. Implementasi sistem voucher elektronik atau cash transfer dapat mengurangi distorsi pasar sekaligus memastikan subsidi tepat sasaran. Digitalisasi sistem distribusi BBM bersubsidi melalui platform MyPertamina merupakan langkah awal menuju good governance dalam manajemen subsidi energi. Namun, efektivitasnya masih terhambat oleh infrastruktur teknologi yang belum merata dan resistensi behavioral dari masyarakat. Selanjutnya paradigma network governance dalam kebijakan publik kontemporer menyoroti pentingnya koordinasi antar-institusi dalam mengatasi kelangkaan solar bersubsidi. Fenomena ini melibatkan multiple stakeholders: Kementerian ESDM sebagai regulator, Pertamina sebagai distributor, pemerintah daerah sebagai supervisor lokal, dan masyarakat sebagai end-users. Inkonsistensi kebijakan terlihat dari pernyataan berbeda antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan pembatasan BBM subsidi dimulai pertengahan Agustus 2024, sementara Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto berpendapat belum ada pembatasan. Ketidakselarasan ini mencerminkan fragmentasi governance yang memperburuk implementasi kebijakan. Paradigma collaborative governance menekankan perlunya mekanisme koordinasi yang lebih efektif dan sistem informasi terintegrasi antar-institusi untuk mengurangi information asymmetry yang menjadi sumber kelangkaan artificial.
Kelangkaan BBM solar bersubsidi di Indonesia merupakan resultan dari kegagalan sistemik dalam desain dan implementasi kebijakan publik yang telah berlangsung bertahun-tahun. Paradigma kebijakan publik mengidentifikasi bahwa permasalahan ini bukan hanya technical problem, tetapi adaptive challenge yang memerlukan reformasi fundamental dalam approach pemerintah terhadap subsidi energi. Solusi jangka panjang memerlukan transisi dari commodity-based subsidy menuju people-based targeting system yang lebih adil dan efisien. Implementasi paradigma evidence-based policy making melalui big data analytics dapat meningkatkan presisi targeting dan mengurangi leakage subsidi. Selain itu, adopsi paradigma participatory governance dalam perumusan kebijakan energi dapat meningkatkan legitimasi dan acceptability reformasi subsidi. Pemerintah perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip good governance, transparency, dan accountability dalam setiap tahap siklus kebijakan subsidi energi untuk memastikan sustainable energy policy yang mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Referensi
- Abimanyu, A., & Imansyah, M. H. (2023). The Impact of Fuel Subsidy to the Income Distribution: The Case of Indonesia. Indonesian Treasury Review: Jurnal Perbendaharaan, Keuangan Negara dan Kebijakan Publik.
- Wong, C. (2024). Indonesia's energy transition: Dependency, subsidies and renewables. Asia & the Pacific Policy Studies.
- SMERU Research Institute. (2024). Indonesia's energy subsidy dilemma: how can the government better protect the poor? Retrieved from https://smeru.or.id/
- Liputan6. (2021). Pengamat Ungkap Penyebab Kelangkaan Solar Subsidi. Retrieved from https://www.liputan6.com/bisnis/
- CNBC Indonesia. (2024). Aturan Kriteria Pengguna BBM Subsidi Batal 1 Oktober, Ini Alasannya.
- CNBC Indonesia. (2024). Problematika Subsidi Energi di Indonesia.
- MDPI Sustainability. (2024). Equity and Efficiency: An Examination of Indonesia's Energy Subsidy Policy and Pathways to Inclusive Reform.
In reply to First post

Re: Diskusi 1

Kiki Epraim Siallagan གིས-
Kelangkaan BBM jenis biosolar merupakan fenomena kebijakan publik yang muncul akibat ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan nyata di lapangan. Pemerintah melalui kebijakan subsidi menetapkan kuota tahunan biosolar dengan tujuan meringankan beban masyarakat, khususnya kelompok transportasi umum, nelayan, dan petani. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kuota tersebut sering kali lebih kecil daripada kebutuhan riil, sehingga pasokan di SPBU cepat habis dan menimbulkan antrian panjang. Kebijakan subsidi sebenarnya dirancang untuk mencapai tujuan efisiensi dan pemerataan, tetapi keterbatasan data dan dinamika permintaan membuat implementasinya tidak sepenuhnya rasional.
Distribusi BBM kerap terkendala oleh mekanisme birokrasi yang panjang, keterlambatan pasokan, serta lemahnya koordinasi antar lembaga seperti Pertamina, pemerintah daerah, dan aparat pengawas. Selain itu, terdapat penyalahgunaan subsidi oleh pihak-pihak yang tidak berhak, termasuk kendaraan industri besar dan pengguna kendaraan pribadi kelas menengah keatas, yang memperburuk kelangkaan. Dari sisi masyarakat, kondisi ini diperparah oleh perilaku panic buying ketika muncul isu kenaikan harga atau keterbatasan pasokan. Hal tersebut juga menjelaskan bahwa aktor nonpemerintah seperti konsumen, pelaku industri, hingga oknum penimbun turut memengaruhi efektivitas kebijakan, sehingga permasalahan tidak bisa dilihat hanya dari aspek teknis, melainkan sebagai hasil interaksi berbagai aktor kebijakan.
Dari sisi regulasi, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah aturan terkait BBM. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menjadi dasar pengelolaan migas nasional. Perpres No. 191 Tahun 2014 serta perubahannya melalui Perpres No. 117 Tahun 2021 mengatur jenis, harga, dan pengguna yang berhak atas BBM bersubsidi. Selain itu, Permen ESDM No. 1 Tahun 2022 mendorong digitalisasi distribusi melalui aplikasi MyPertamina agar penyaluran lebih tepat sasaran. Namun, regulasi ini belum sepenuhnya efektif karena lemahnya implementasi, kurangnya pengawasan, serta ketidaksesuaian antara aturan dan kondisi lapangan.
Kondisi masyarakat menunjukkan bahwa kelompok paling terdampak adalah petani, nelayan, sopir angkutan umum, dan sektor logistik yang sangat bergantung pada solar murah.Solusi yang dapat ditempuh harus memadukan berbagai paradigma kebijakan publik. Secara rasional, pemerintah perlu memperbaiki data konsumsi agar kuota lebih akurat. Dari sisi birokratis, diperlukan pengawasan ketat dan sanksi tegas terhadap penyelewengan distribusi. Secara kelembagaan, koordinasi pusat–daerah serta integrasi digitalisasi distribusi BBM harus diperkuat. Dari paradigma partisipatif, masyarakat dan pelaku usaha perlu dilibatkan dalam pengawasan publik untuk mencegah penimbunan. Dalam jangka panjang, reformasi subsidi yang lebih tepat sasaran dan diversifikasi energi menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap biosolar subsidi, sehingga kelangkaan BBM dapat diminimalkan dan kebijakan publik dapat berjalan lebih efektif.
In reply to First post

Re: Diskusi 1

Risandi Koswara གིས-

Nama: Risandi Koswara

NPM: 2526061001

Fenomena kelangkaan solar yang saat ini marak terjadi dapat dianalisis melalui paradigma elite, kelembagaan, dan kelompok sebagaimana dijelaskan dalam model kebijakan publik. Dalam perspektif elite theory, kebijakan distribusi solar lebih banyak mencerminkan kepentingan kelompok kecil yang berkuasa dibandingkan kebutuhan masyarakat luas. Hal ini sejalan dengan asumsi Dye dan Ziegler bahwa kebijakan publik sering dibuat untuk kepentingan ruling elite, sehingga kelompok rentan seperti nelayan, sopir truk, dan petani kurang mendapatkan akses yang adil. Sementara itu, menurut institutionalism, kelangkaan solar juga bisa dipahami sebagai kelemahan institusi formal pemerintah dalam menjalankan fungsi regulasi, pengawasan, dan koordinasi distribusi BBM bersubsidi.

Selain itu, group theory menekankan bahwa kebijakan publik adalah hasil tarik-menarik antar kelompok kepentingan. Kelangkaan solar merupakan titik ekuilibrium dari perjuangan berbagai kelompok, mulai dari industri besar hingga masyarakat pengguna kecil. Karena adanya perbedaan kekuatan politik dan ekonomi, kelompok yang lebih berpengaruh sering kali memenangkan akses terhadap distribusi solar. Situasi ini memperlihatkan pentingnya peran pemerintah sebagai mediator agar kebijakan distribusi BBM tidak timpang dan mampu menyeimbangkan kebutuhan seluruh kelompok.

Sementara itu, melalui kerangka political system theory dan model rasional–inkremental, kelangkaan solar dapat dipandang sebagai kegagalan sistem politik dalam merespons input masyarakat. Tuntutan publik yang kesulitan memperoleh solar seharusnya diproses menjadi agenda kebijakan, kemudian menghasilkan keputusan yang efektif. Namun, realitas menunjukkan bahwa pemerintah cenderung melakukan penyesuaian kecil (inkremental) tanpa perubahan signifikan pada sistem distribusi. Padahal, model rasional menuntut perencanaan berbasis data yang akurat dan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya. Fenomena kelangkaan solar yang terjadi saat ini adalah contoh gejala empiris yang dapat dipahami dari berbagai paradigma kebijakan publik, hal tersebut menunjukkan kompleksitas hubungan antara kepentingan elit, kelemahan institusi, serta responsivitas sistem politik.


In reply to First post

Re: Diskusi 1 by andre yusfian

Andre Yusfian གིས-

Paradigma kebijakan publik adalah lensa atau kerangka berpikir untuk memahami bagaimana suatu masalah muncul, dirumuskan, diimplementasikan, dan dievaluasi. Kita akan menggunakan paradigma yang paling umum, Stages Heuristic Model (Model Tahapan), untuk menganalisis kasus ini.

Kelangkaan solar telah berhasil menjadi isu prioritas (agenda pemerintah) karena dampaknya yang luas dan langsung terhadap stabilitas ekonomi dan sosial.

Pemerintah merumuskan beberapa alternatif, dengan mempertimbangkan efektivitas, biaya ekonomi, dan dampak sosial politik. Kebijakan targeting dipilih sebagai kompromi untuk menghindari kenaikan harga sembari menjamin ketersediaan untuk kelompok prioritas

Niat kebijakan baik, tetapi implementasinya lemah. Kelemahan dalam aspek komunikasi, kapasitas sistem teknologi, dan pengawasan lapangan menyebabkan kebijakan tidak berjalan mulus dan justru memunculkan masalah baru.

Evaluasi menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan bersifat jangka pendek dan kuratif (mengobati gejala), bukan jangka panjang dan preventif(menyembuhkan penyakit).

Analisis Akar Masalah dengan Paradigma yang Lebih Dalam

Menggunakan paradigma stages heuristic saja tidak cukup. Kita perlu melihat paradigma ekonomi politik.

  • Subsidi BBM sebagai Kebijakan Populis: Harga solar yang murah adalah kebijakan populis yang secara politis sulit untuk dihapus. Pemerintah menghadapi dilema: menaikkan harga berisiko menyebabkan protes sosial dan ketidakpuasan politik, sementara mempertahankan subsidi membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan menciptakan distorsi pasar.

  • Global Energy Crisis: Harga minyak mentah dunia yang tinggi dan melemahnya nilai Rupiah terhadap Dolar AS memperburuk situasi. Biaya impor dan refinery membengkak, sementara harga jual dalam negeri tetap rendah. Ini membuat selisih (subsidi) yang harus ditanggung pemerintah semakin besar.




In reply to First post

Re: Diskusi 1

tengku abdi pratama གིས-

mengapa di indonesia terjadi kelangkaan jenis bahan bakar solar? menurut saya itu dikarenakan adanya penyelewengan oleh oknum itu sendiri. yang menggunakan solar subsidi secara ilegal.. selain itu adanya kendala pasokan dan pendistribusian dari depot SPBU itu sendiri.. saya juga menyarankan memberi solusi bahwa harus ada kebijakan (pengawasan) tentang bagaimana proses pendistribusian tersebut berjalan sehingga masyarakat bisa merasakannya.. misalnya salah satunya dengan cara membuat UU terkait proses pendistribusiannya dengan melibatkan pihak penegak hukum.

In reply to First post

Re: Diskusi 1

Ahmad Suntara གིས-
Paradigma Kebijakan Publik, Gejala Empiris, dan Dampak Kelangkaan BBM Solar

1. Paradigma Kebijakan Publik

Paradigma kebijakan publik adalah cara pandang atau kerangka berpikir dalam memahami, merumuskan, dan menilai kebijakan. Beberapa paradigma yang relevan untuk kasus kelangkaan BBM solar:
- Paradigma Rasional: Pemerintah harus mengambil keputusan berbasis data: kebutuhan konsumsi solar nasional, distribusi, dan stok cadangan energi.
- Paradigma Inkremental: Kebijakan dilakukan dengan penyesuaian bertahap, misalnya penambahan kuota solar subsidi di daerah tertentu, atau memperbaiki distribusi tanpa perubahan radikal.
- Paradigma Kesejahteraan (Welfare State): Kebijakan harus menjamin akses masyarakat terhadap energi murah, karena solar memengaruhi transportasi barang, produksi nelayan, dan pertanian.
- Paradigma Good Governance: Penekanan pada transparansi distribusi, akuntabilitas Pertamina/agen penyalur, serta partisipasi masyarakat dalam pengawasan.

2. Gejala Empiris (Fakta di Lapangan)
Beberapa gejala yang sering muncul saat terjadi kelangkaan solar subsidi:
- Antrian Panjang di SPBU, terutama kendaraan angkutan barang, bus, dan nelayan.
- Keterlambatan Distribusi Barang karena kendaraan logistik kesulitan mendapat solar.
- Maraknya Penyimpangan Distribusi seperti penimbunan atau penyalahgunaan solar subsidi untuk industri besar.
- Harga di Tingkat Konsumen Naik karena biaya transportasi meningkat.
- Protes atau Keluhan Publik dari sopir truk, nelayan, hingga petani.

3. Dampak Kelangkaan BBM Solar
Dampak ini bisa dilihat dari aspek ekonomi, sosial, dan politik:
1. Ekonomi:
- Biaya logistik meningkat → harga barang kebutuhan pokok naik (inflasi).
- Produktivitas nelayan menurun karena sulit melaut.
- Industri kecil yang bergantung pada solar terganggu.

2. Sosial:
- Menurunnya daya beli masyarakat.
- Konflik sosial di SPBU akibat perebutan solar.Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah.
3. Politik:
- Turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah.
- Tekanan politik terhadap pembuat kebijakan (DPR, kementerian, Pertamina).
- Isu subsidi BBM menjadi perdebatan kebijakan energi nasional.