Dalam dunia sastra, konvensi dan inovasi itu seperti dua sisi dalam proses kreatif.
Konvensi berarti aturan atau pola yang sudah umum dan sering digunakan dalam karya sastra, seperti bentuk puisi lama, rima, atau tema tertentu yang sudah dikenal.
Sementara inovasi adalah keberanian untuk keluar dari kebiasaan itu—menghadirkan sesuatu yang baru, segar, bahkan bisa terasa "aneh" atau mengejutkan bagi pembaca.
Kalau kita lihat puisi Teks Atas Descartes karya Remy Sylado, dia menghadirkan inovasi dengan mencampurkan filsafat dan sastra. Biasanya puisi itu bermain dengan perasaan, tapi Remy malah memasukkan tokoh filsuf René Descartes, berpikir logis dan intelektual. Ini jelas bukan konvensional. Di situ terlihat inovasi—bagaimana puisi bisa menjadi ruang untuk dialog antara sastra dan pemikiran filosofis. Tapi, di sisi lain, Remy masih memakai struktur puisi yang cukup tertata, jadi unsur konvensi juga masih terasa.
Sedangkan pada puisi Luka karya Sutardji Calzoum Bahri, inovasinya lebih ekstrem. Sutardji dikenal sebagai penyair yang membebaskan kata-kata dari makna harfiahnya. Dalam Luka, kata-kata tidak hanya menyampaikan isi, tapi juga menjadi semacam permainan bunyi, bentuk, dan emosi. Kadang kita bingung saat membacanya, karena strukturnya tidak biasa dan maknanya tidak langsung. Nah, di sinilah letak inovasi yang kuat: Sutardji memutuskan untuk "membebaskan" puisi dari kaidah lama. Ia menolak konvensi seperti rima, bait yang rapi, atau makna yang jelas.