
Tanggapan berfokus pada Digitalisasi dan Transformasi Keterampilan:
Dari studi kasus Unilever, kami menyoroti pentingnya reskilling dan upskilling dalam menghadapi disrupsi digital. Kesenjangan keterampilan digital di negara-negara berkembang seperti Asia Tenggara sangat relevan, apalagi dengan makin dominannya e-commerce dan digital marketing. Peluncuran “Digital Academy” oleh Unilever merupakan langkah nyata untuk membangun kapabilitas internal secara cepat. Bagi kami, ini merupakan contoh implementasi learning organization, di mana pembelajaran menjadi bagian dari budaya perusahaan.
1. Tantangan yang Dihadapi Unilever
Unilever menghadapi beberapa tantangan utama dalam pengelolaan talenta global, termasuk kekurangan pipeline kepemimpinan regional, kurangnya standar dalam proses talent review, dan retensi low-potentials yang rendah. Selain itu, rotasi internal dan pencocokan talenta dengan kebutuhan pasar yang terus berkembang menjadi isu penting yang perlu diatasi.
2. Solusi yang Diterapkan
Unilever menerapkan pendekatan Strategic Workforce Planning dengan memfokuskan pada beberapa area kritikal:
• Pipeline Kepemimpinan Regional: Implementasi “Future Leaders Programme” untuk mempersiapkan calon pemimpin regional melalui rotasi kerja dan pengembangan keterampilan.
• Kompetensi Digital: Meluncurkan Digital Academy untuk meningkatkan keterampilan digital dan penggunaan data analytics.
• Retensi High-Potentials: Meningkatkan program talent mobility dan memberikan jalur karier yang jelas agar talenta potensial tidak kehilangan motivasi.
• Standarisasi Proses Talent Review: Menggunakan 9-Box Grid untuk penilaian karyawan agar lebih objektif dan transparan.
Mohon Ijin Ibuu...
Dhika Pratama
NPM 2421011026
Kelompok-1
Mohon ijin menanggapi Study Case Sesi-12..
Studi kasus dari Unilever memberikan refleksi mendalam: perusahaan ini tidak hanya membentuk pemimpin global, tetapi justru memberdayakan pemimpin lokal untuk tampil di panggung internasional. Filosofi mereka, "Lead from everywhere," menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak harus lahir dari pusat korporat di Eropa atau Amerika, tetapi dapat bertumbuh dari Mumbai, Lagos, hingga Jakarta. Hal ini hanya mungkin jika organisasi berani membuka jalur karier lintas batas, membongkar bias budaya, dan berinvestasi dalam pengalaman lintas fungsi dan lintas negara.
Namun di atas semua itu, kita perlu melompat ke horizon baru manajemen talenta: era di mana manusia dan kecerdasan buatan saling bersinergi. Di sinilah muncul pertanyaan penting: Apakah organisasi kita telah siap mengelola talenta hibrida—yaitu individu-individu yang mampu berkolaborasi dengan AI, bekerja dalam lingkungan kerja virtual global, dan mengambil keputusan lintas budaya dengan kelincahan emosional? Apakah organisasi telah memiliki sistem pembelajaran yang hiper-personal, berbasis data, dan mampu mengenali potensi tersembunyi bahkan sebelum seseorang sendiri menyadarinya?
Maka, manajemen talenta global hari ini bukan lagi tentang memilih yang terbaik dari yang ada, tetapi menciptakan kondisi di mana setiap individu dapat menjadi versi terbaik dari dirinya—di mana pun mereka berada di dunia. Ini menuntut organisasi untuk membangun kultur kerja tanpa batas, memperkuat sistem mobilitas internal, dan menjadikan keberagaman bukan sebagai simbol, melainkan sebagai sumber energi kolektif.
Dan terakhir, kita semua harus mengakui bahwa organisasi yang berhasil dalam manajemen talenta global adalah mereka yang mampu memadukan struktur dengan empati, teknologi dengan humanisme, dan strategi dengan nilai. Mereka tidak hanya mengelola orang-orang hebat. Mereka menciptakan tempat di mana orang-orang biasa dapat melakukan hal-hal luar biasa.
Jadi, tantangan kita ke depan bukan hanya tentang bagaimana menarik dan mempertahankan talenta global, melainkan bagaimana menciptakan ekosistem yang memungkinkan talenta itu untuk berkembang, melampaui batas-batas budaya, geografi, dan bahkan logika tradisional organisasi.
Karena pada akhirnya, masa depan organisasi global ditentukan bukan oleh aset yang mereka miliki, tetapi oleh talenta yang mereka bina, nilai yang mereka perjuangkan, dan dunia yang mereka bayangkan bersama.
Terima kasih Ibuuu....
Kelompok 6
Organisasi global menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan standar global dengan kebutuhan lokal, serta mengelola perbedaan budaya dan tim virtual. Banyak perusahaan kesulitan menemukan pemimpin global yang siap menghadapi tantangan internasional dan mengelola komunikasi lintas negara dengan efektif. Untuk itu, pengembangan kepemimpinan melalui pengalaman internasional, coaching, dan mentoring sangat penting. Dengan menyelaraskan strategi manajemen talenta global dengan budaya lokal, perusahaan dapat mengatasi tantangan ini dan membangun keunggulan kompetitif berkelanjutan.
Izin Menanggapi, studi kasus dari kelompok 6 :
Menurut kami, kasus Unilever ini sangat relevan dengan tantangan manajemen SDM global saat ini, terutama dalam hal bagaimana sebuah perusahaan multinasional harus menyiapkan dan mengelola talenta secara strategis. Kami melihat bahwa Unilever menghadapi tiga masalah besar, yaitu kekosongan pimpinan regional, tidak seragamnya sistem penilaian karyawan, dan tingginya turnover karyawan muda yang potensial.
Hal ini menunjukkan bahwa walaupun Unilever adalah perusahaan besar, mereka tetap harus berbenah dalam hal manajemen talenta, apalagi dalam kondisi dunia yang cepat berubah karena digitalisasi dan pandemi. Kami setuju dengan langkah mereka menggunakan pendekatan Strategic Workforce Planning (SWP) karena pendekatan ini bisa membantu mereka memetakan kebutuhan SDM di masa depan secara lebih akurat, berdasarkan data, bukan hanya asumsi.
Program-program seperti Future Leaders Programme dan Digital Academy menurut kami sangat bagus karena tidak hanya mengandalkan rekrutmen dari luar, tapi juga mengembangkan karyawan dari dalam. Ini penting banget untuk retensi, apalagi bagi generasi muda yang sering merasa nggak punya jalur karier yang jelas. Selain itu, adanya Talent Mobility Hub juga bisa jadi solusi biar karyawan lebih mudah pindah antar negara dan merasakan pengalaman baru yang bisa memperkaya karier mereka.
Kami juga menyadari bahwa global talent management itu nggak gampang. Perusahaan harus bisa menggabungkan antara kebutuhan lokal dan strategi global. Unilever udah mulai melakukan ini, tapi menurut kami mereka juga harus hati-hati soal perbedaan budaya kerja di tiap negara, supaya program rotasi atau pelatihan bisa berjalan efektif.
Pada intinya Unilever udah berada di jalur yang tepat dengan strategi berbasis data dan pengembangan internal, tapi mereka tetap harus menjaga agar pelaksanaan program-program ini sesuai dengan konteks lokal di tiap negara. Buat kami sebagai mahasiswa, ini jadi pelajaran penting bahwa manajemen SDM di perusahaan global itu nggak cuma soal rekrutmen, tapi juga soal strategi jangka panjang dan adaptasi budaya.