FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

Jumlah balasan: 39

Analisis Jurnal tersebut dengan menggunakan bahasa anda sendiri, terlebih dahulu tulis nama, npm, dan kelas

Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Annisa Akhlatul Karimah -
Nama: Annisa Akhlatul Karimah
NPM: 2217011013
Kelas: B

Berikut ini adalah analisis jurnal "Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019" karya R. Siti Zuhro

Kalau Saya boleh jujur, setelah baca jurnal ini jadi makin sadar betapa rumit dan kompleksnya dinamika demokrasi di Indonesia, terutama saat Pemilu Presiden 2019. Jurnal ini ngebahas banyak hal dari berbagai sisi, dan yang paling terasa itu adalah bagaimana demokrasi kita tuh masih banyak banget tantangannya, meskipun secara formal sudah terlihat maju.

Pertama, Ibu Siti Zuhro menekankan soal "pendalaman demokrasi" alias deepening democracy. Intinya, demokrasi tuh nggak cukup hanya sekedar ada pemilu aja, tapi juga harus dilihat kualitasnya. Misalnya, apakah semua pihak benar-benar punya kesempatan yang sama, apakah masyarakat bisa berpartisipasi aktif dan kritis, atau malah cuma jadi objek mobilisasi suara aja.

Di jurnal ini juga dijelasin bahwa pilpres 2019 tidak hanya tentang Jokowi vs Prabowo, tapi juga tentang bagaimana identitas, khususnya agama dan suku, ikut dipolitisasi untuk mengumpulkan suara. Dan jujur sih, sebagai perempuan, bagian yang bahas tentang narasi “emak-emak” dan “ibu bangsa” tuh cukup nyentil. Karena ternyata label itu cuma jadi alat simbolik politik saja, tapi peran perempuan tetap diposisikan di ranah domestik. Jadi kayak, dihargai tapi cuma sebatas simbolik gitu loh.

Yang bikin miris, demokrasi yang kita bangun selama dua dekade ini masih seringkali terjebak pada politik identitas, hoaks, ujaran kebencian, dan keterlibatan birokrasi yang tidak netral. Bahkan netralitas aparat negara pun diragukan, dan itu bahaya banget karena bisa menurunkan kepercayaan publik ke hasil pemilu. Di bagian akhir jurnal, Saya suka banget saat penulis menekankan pentingnya trust building. Karena kepercayaan itu pondasi utama buat demokrasi berjalan dengan sehat.

Menurut Saya, jurnal ini tuh bukan cuma kritik, tapi juga semacam ajakan buat kita semua terutama anak muda biar lebih melek politik dan tidak hanya ikut-ikutan doang. Apalagi buat kita perempuan, penting banget buat sadar peran kita tidak hanya sebagai "emak-emak" yang dimobilisasi, tapi juga sebagai warga negara yang punya hak dan suara kritis.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Ulfi Mira Sasmita 2217011057 -
Nama: Ulfi Mira Sasmita
NPM: 2217011057
Kelas : Kimia B

Berikut merupakan analisis artikel jurnal"Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019" karya R. Siti Zuhro dari Jurnal Penelitian Politik

Artikel ini membahas bagaimana proses demokrasi di Indonesia, khususnya pada Pemilu Presiden 2019, masih menghadapi berbagai tantangan. Penulis menjelaskan bahwa meskipun Indonesia sudah beberapa kali mengadakan pemilu langsung, kualitas demokrasi yang dijalankan belum benar-benar matang. Pemilu 2019 justru memperlihatkan adanya masalah serius seperti keterbelahan masyarakat, maraknya isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), serta banyaknya hoaks dan ujaran kebencian yang menyebar luas di media sosial. Salah satu faktor penyebabnya adalah partai politik yang belum menjalankan perannya dengan baik, seperti kurang serius dalam menjaring kader pemimpin yang berkualitas dan hanya memanfaatkan figur terkenal untuk meraih suara. Selain itu, birokrasi yang seharusnya netral dalam pemilu, justru banyak terlibat secara politis, bahkan sampai ke daerah-daerah. Hal ini membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara, termasuk penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum.Keberhasilan demokrasi sangat tergantung pada kerja sama seluruh pihak, mulai dari pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, hingga media. Jika semua bisa menjalankan perannya dengan jujur dan profesional, maka pemilu bisa menjadi sarana yang sehat untuk menghasilkan pemimpin dan pemerintahan yang dipercaya rakyat.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Nabila Sakhi Az-Zahra -
Nama: Nabila Sakhi Az-zahra
NPM: 2217011052
Kelas: B

Jurnal ini mengkaji secara mendalam tantangan konsolidasi demokrasi di Indonesia melalui studi kasus Pemilu Presiden 2019. Penulis menyoroti bahwa meskipun Indonesia telah mengalami lima kali pemilu pasca-Reformasi, praktik demokrasi masih berada dalam tahap yang belum matang secara substansial. Hal ini ditunjukkan melalui belum efektifnya pilar-pilar demokrasi seperti partai politik, masyarakat sipil, media massa, dan birokrasi yang seharusnya menjadi motor penggerak dalam konsolidasi demokrasi. Pemilu 2019 mencerminkan ketegangan politik yang tinggi dengan munculnya polarisasi sosial yang tajam antar pendukung pasangan calon, serta maraknya politisasi identitas dan isu keagamaan yang memperburuk kondisi sosial-politik.

Salah satu fokus utama dalam artikel ini adalah gagalnya pemilu 2019 menghasilkan suksesi kepemimpinan yang membangun kepercayaan publik. Hal ini terlihat dari adanya kerusuhan pasca pengumuman hasil pemilu oleh KPU, yang mengindikasikan ketidakpuasan masyarakat dan lemahnya mekanisme penyelesaian konflik politik yang demokratis. Pilpres pun dinilai belum mampu menjadi instrumen pendalaman demokrasi karena tidak mampu memperkuat akuntabilitas dan responsivitas pemerintahan terhadap rakyat. Penulis juga menyoroti bahwa demokrasi di Indonesia cenderung bersifat prosedural, bukan substantif. Demokrasi prosedural hanya menekankan pada aspek formal seperti pemilihan umum tanpa memastikan kualitas hasil dan proses politiknya, seperti kompetisi yang sehat, partisipasi yang inklusif, dan perlindungan hak-hak sipil secara nyata.

Lebih lanjut, jurnal ini mengkritik tajam terhadap kinerja partai politik yang dianggap gagal menjalankan fungsi edukasi politik, kaderisasi, serta penyaluran aspirasi rakyat. Parpol lebih mementingkan kepentingan elektoral jangka pendek, seperti dengan mencalonkan selebritas untuk mendongkrak suara, ketimbang mempersiapkan calon legislatif yang kompeten. Fragmentasi parpol juga semakin tajam, namun tidak disertai dengan peningkatan kualitas demokrasi internal partai. Kegagalan parpol ini turut memperlemah proses konsolidasi demokrasi karena mengurangi kualitas representasi politik.

Tak hanya itu, jurnal ini juga mengangkat isu serius mengenai politisasi birokrasi, di mana birokrasi tidak lagi netral dan menjadi alat kekuasaan. Ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) dalam pemilu mencerminkan lemahnya reformasi birokrasi yang seharusnya menjamin profesionalisme dan independensi birokrasi dari intervensi politik. Politisasi birokrasi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga di daerah, yang ditunjukkan oleh sejumlah kepala daerah dan aparatur pemerintahan yang secara terang-terangan berpihak pada pasangan calon tertentu. Kondisi ini jelas mengancam integritas pemilu dan memperlemah legitimasi hasilnya.

Penulis juga menekankan bahwa tantangan demokrasi di Indonesia semakin berat ketika sosial media menjadi medium utama penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye hitam yang memperdalam pembelahan sosial. Fenomena ini mengindikasikan bahwa masyarakat belum memiliki kedewasaan politik yang memadai untuk menjalani demokrasi secara sehat. Maka, keberhasilan demokrasi tidak hanya tergantung pada desain institusional, tetapi juga pada kematangan budaya politik masyarakat itu sendiri.

Di akhir tulisan, penulis menyimpulkan bahwa demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan struktural dan kultural. Konsolidasi demokrasi akan sulit terwujud tanpa sinergi yang kuat antara seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), seperti partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, pemerintah, masyarakat sipil, media, dan aparat penegak hukum. Proses demokratisasi harus berjalan seiring dengan peningkatan kualitas kelembagaan politik dan kesadaran publik yang kritis. Demokrasi tidak boleh hanya menjadi ritual lima tahunan, melainkan menjadi sebuah sistem nilai yang hidup dalam praktik politik sehari-hari. Jika demokrasi hanya dibangun secara prosedural tanpa pendalaman substansi, maka demokrasi Indonesia akan terus berada dalam ancaman ketidakstabilan, ketidakpercayaan publik, dan stagnasi kualitas pemerintahan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Ananda suci Ramadhani -
NAMA : ANANDA SUCI RAMADHANI
NPM : 2217011075
KELAS : B

Pada jurnal ini mengungkap bahwa meskipun Indonesia telah menggelar beberapa kali pemilu sejak era Reformasi, Pilpres 2019 menampilkan dinamika politik yang sangat memanas dengan polarisasi tajam antara kubu pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Kondisi ini memicu pembelahan sosial yang mengganggu stabilitas politik dan keutuhan nasional. Penulis menyoroti bahwa pendalaman demokrasi di Indonesia belum tercapai secara optimal karena pilar-pilar demokrasi yang menjadi penopang konsolidasi demokrasi masih belum efektif. Pilpres tersebut belum mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik dan belum berhasil membangun kepercayaan publik, yang terbukti dari munculnya kerusuhan sosial pasca pengumuman hasil rekapitulasi oleh KPU dan penolakan hasil oleh satu kandidat. Akibatnya, Mahkamah Konstitusi menjadi penentu akhir hasil pilpres karena klaim kemenangan dari kedua kandidat. Tulisan ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam memperdalam dan mengokohkan konsolidasi demokrasi, terutama dalam konteks politisasi identitas dan kebutuhan akan pemerintahan yang efektif serta membangun kepercayaan publik sebagai fondasi demokrasi yang sehat. Dengan demikian, Pilpres 2019 menjadi cermin penting bagi perkembangan demokrasi Indonesia yang masih dalam proses panjang menuju kedewasaan politik dan stabilitas sosial-politik nasional.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Tiara Brazeski -
Nama : Tiara Brazeski
NPM : 2217011118
Kelas : B

Jurnal "Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019" karya R. Siti Zuhro memberikan analisis kritis terhadap dinamika demokrasi Indonesia melalui studi kasus Pemilu Presiden 2019. Penulis menyoroti bahwa meskipun Indonesia telah rutin menyelenggarakan pemilu sejak era Reformasi, proses konsolidasi demokrasi masih menghadapi berbagai hambatan. Pemilu 2019 memperlihatkan lemahnya efektivitas pilar-pilar demokrasi seperti partai politik, masyarakat sipil, media massa, dan lembaga penyelenggara pemilu. Polarisasi politik yang tajam antara dua kandidat Joko Widodo dan Prabowo Subianto tidak hanya memanaskan suasana kontestasi politik, tetapi juga memperdalam fragmentasi sosial di masyarakat. Keadaan ini diperparah dengan munculnya konflik pasca pengumuman hasil pemilu oleh KPU, yang ditandai dengan penolakan hasil oleh salah satu kandidat, kerusuhan sosial, dan keterlibatan Mahkamah Konstitusi sebagai penentu akhir.

Penulis menegaskan bahwa kegagalan dalam membangun kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu menunjukkan lemahnya demokrasi substansial. Praktik politisasi identitas, maraknya hoaks, serta penyalahgunaan media sosial juga menggerus kualitas demokrasi. Pemilu yang ideal seharusnya mencerminkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas, namun prasyarat tersebut belum sepenuhnya terpenuhi. Penulis juga menekankan pentingnya sinergi antara berbagai aktor demokrasi partai politik, penyelenggara pemilu, pemerintah, masyarakat sipil, media, dan lembaga survei untuk mendorong proses demokrasi yang lebih matang dan berkualitas. Trust building dianggap sebagai elemen krusial yang harus diperkuat agar pemilu benar-benar berfungsi sebagai instrumen demokratis, bukan hanya prosedural.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Niki Nabila Utami -
Nama : Niki Nabila Utami
NPM : 2217011088
Kelas : B

Pada jurnal ini membahas mengenai demokrasi dan pemilu. Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi akan terkonsolidasi jika aktor-aktor politik, ekonomi, negara, masyarakat sipil mampu mengedepankan tindakan
demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan. Pendalaman demokrasi dipandang sebagai upaya untuk merealisasikan pemerintahan yang efektif. Pendalaman demokrasi bisa berasal dari negara dan masyarakat. Di sisi negara, pendalaman demokrasi dapat bermakna pengembangan pelembagaan
mekanisme penciptaan kepercayaan semua aktor politik, pengembangan penguatan kapasitas administratif teknokratik yang menyertai pelembagaan yang telah dibentuk. Di sisi masyarakat, pendalaman demokrasi merujuk pada pelembagaan penguatan peran serta masyarakat dalam aktivitas politik formal di tingkat lokal.

Salah satu contohnya berupa pemilihan umum (pemilu). Pemilu dilaksanakan guna menyalurkan aspirasi politiknya, memilih wakil-wakil terbaiknya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presidennya secara damai. Pemilu dalam konteks demokrasi tak lain dimaksudkan untuk menghasilkan pemerintahan
yang efektif. Namun, dalam pelaksanaan pemilu beberapa masalah bisa saja terjadi. Seperti fenomena politisasi identitas dan agama juga masih sering diterapkan, terutama dalam memperebutkan suara muslim dikarenakan mayoritas masyarakat Indonesia beragama islam, aspirasi dan kepentingan massa tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan publik oleh parpol sehingga menurunkan rasa ketidakpuasan masyarakat, kurangnya penerapan bhineka tunggal ika dalam menanggapi keragaman masyarakat, serta masih saja terdapat politisasi birokrasi yang belum diperbaiki. Untuk membangun demokrasi yang berkualitas serta agar terwujudnya stabilitas politik dan
jaminan keamanan dalam masyarakat diperlukan tumbuhnya rasa kepercayaan di antara penyelenggara pemilu, parpol dan masyarakat.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Helena Pritricia Susanto 2217011023 -
Helena Pritricia Susanto
2217011023
Kelas B

Berikut analisis jurnal Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019 oleh R. Siti Zuhro:
Setelah membaca jurnal ini, saya menyadari bahwa demokrasi di Indonesia, khususnya yang tercermin melalui Pemilu Presiden 2019, masih menghadapi tantangan yang cukup serius. Meskipun pemilu telah dilaksanakan sesuai prosedur, hal tersebut belum cukup untuk menunjukkan bahwa demokrasi kita berjalan secara substansial. Dalam kenyataannya, saya melihat bahwa pelaksanaan demokrasi masih terbatas pada aspek teknis dan belum menyentuh kedalaman nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Salah satu hal yang paling saya soroti adalah terjadinya polarisasi yang tajam di tengah masyarakat. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan justru diwarnai oleh politisasi identitas dan agama, serta penyebaran informasi yang tidak benar (hoaks). Situasi ini tidak hanya memecah belah masyarakat, tetapi juga mengikis nilai-nilai toleransi dan saling menghormati yang selama ini menjadi kekuatan utama bangsa Indonesia.

Saya juga menaruh perhatian pada netralitas birokrasi yang tampaknya masih lemah. Dalam beberapa kasus, aparatur sipil negara (ASN) terlibat dalam mendukung salah satu pasangan calon, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan ini tidak hanya mencederai asas demokrasi, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap hasil pemilu dan integritas penyelenggara negara.

Selain itu, saya menilai bahwa partai politik belum menjalankan fungsinya secara optimal. Alih-alih melakukan kaderisasi yang berkualitas, banyak partai lebih memilih mencalonkan tokoh-tokoh populer atau selebritas hanya demi menarik suara. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi partai lebih cenderung pragmatis daripada ideologis. Padahal, keberadaan partai politik sangat penting dalam membangun fondasi demokrasi yang kokoh dan berkelanjutan.

Menurut pandangan saya, demokrasi yang sehat tidak dapat dibangun hanya dengan mengandalkan pemilu sebagai ritual lima tahunan. Demokrasi memerlukan partisipasi masyarakat yang kritis, media yang objektif, lembaga penyelenggara pemilu yang profesional, dan aktor-aktor politik yang berintegritas. Tanpa itu semua, demokrasi hanya akan berjalan di atas kertas, tanpa menyentuh kehidupan rakyat secara nyata.

Sebagai penutup, saya menyimpulkan bahwa demokrasi Indonesia masih berada dalam tahap konsolidasi yang belum stabil. Banyak pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan, mulai dari memperkuat kelembagaan politik, meningkatkan kualitas pendidikan politik masyarakat, hingga menjaga netralitas birokrasi dan penegakan hukum. Dengan kerja sama dan komitmen semua elemen bangsa, saya percaya demokrasi kita dapat tumbuh lebih sehat, adil, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Abdullah Fahd Yanuardi 2217011004 -
Nama: Abdullah Fahd Yanuardi
NPM: 2217011004
Kelas: B

Jurnal tersebut membahas tentang peristiwa pilpres pada tahun 2019 yang dimana Joko Widodo (Jokowi) kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto untuk kedua kalinya, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Penulis pada tulisan ini mencoba melihat demokrasi Indonesia melalui fenomena pilpres 2019 yang merupakan salah satu sarana untuk memilih pemimpin secara demokratis. Ritual politik lima tahunan tersebut menarik untuk dilihat di tengah tingginya pro-kontra terkait kinerja pemerintah dan pentingnya semua pihak untuk selalu menjaga stabilitas sosial politik nasional dan keutuhan NKRI.

Demokrasi secara sederhana berarti pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Namun, mewujudkannya memerlukan proses panjang, termasuk konsolidasi demokrasi, yaitu memperkuat komitmen masyarakat terhadap aturan main demokrasi. Konsolidasi ini tidak hanya terjadi di tingkat lembaga politik, tetapi juga dalam kehidupan masyarakat. Demokrasi akan mengakar jika aktor-aktor seperti negara, masyarakat sipil, dan sektor ekonomi menjadikan tindakan demokratis sebagai sarana utama untuk meraih kekuasaan.

Pemilihan presiden (pilpres) langsung merupakan bentuk konkret demokrasi formal dan instrumen penting untuk memperdalam demokrasi nasional. Pendalaman demokrasi dari sisi negara mencakup penguatan lembaga kepercayaan publik dan peningkatan kapasitas birokrasi. Sementara dari sisi masyarakat, hal ini terlihat dari tingkat partisipasi politik, ketaatan hukum, sikap terhadap kekerasan, keterbukaan informasi, toleransi, egalitarianisme, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Selain itu, pendalaman demokrasi dari sisi masyarakat juga berarti penguatan peran aktif warga dalam proses politik, terutama di tingkat lokal. Pilpres langsung menjadi awal dari proses ini dan harus diikuti dengan partisipasi berkelanjutan agar pemerintah mendapat legitimasi dan dukungan dari rakyat.

Pemilu merupakan pilar utama demokrasi dan sarana rakyat menyalurkan aspirasi politiknya secara damai. Keberhasilan pemilu bergantung pada kemampuan bangsa mengelola politik sesuai amanat konstitusi. Meski hak politik dijamin dan partisipasi meningkat, secara empiris rakyat belum sepenuhnya berdaulat.

Pemilu serentak 2019 menjadi pemilu kelima pasca Orde Baru dan yang pertama menggabungkan pilpres dan pileg, serta menjadi ujian bagi penguatan sistem presidensial dan pelembagaan partai politik. Untuk itu, pemilu perlu dijalankan dengan cara rasional, adil, jujur, dan sesuai nilai-nilai Pancasila. Namun, kompleksitas pemilu serentak menjadi tantangan besar. Partai politik dihadapkan pada dilema karena harus berkoalisi untuk pilpres, tapi bersaing sendiri dalam pemilihan legislatif.

Pada pilpres 2019 menunjukkan bahwa sebagian pihak belum menyadari pentingnya nilai-nilai budaya bangsa sebagai penopang ketahanan sosial. Empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) kurang tercermin dalam dinamika politik, terlihat dari pembelahan sosial tajam seperti munculnya istilah “cebong” dan “kampret” serta politisasi identitas (SARA), yang bertentangan dengan nilai saling menghargai dan empati dalam Pancasila.

Meski demikian, pemilu era reformasi juga membawa dampak positif berupa politik yang lebih plural dan kompetitif, baik antar partai maupun dalam internal partai. Sistem proporsional terbuka memperkuat persaingan antar politisi, karena kursi legislatif diberikan kepada mereka yang meraih suara terbanyak.

Pemilu serentak diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas legislatif dan eksekutif di hadapan rakyat. Jika kinerja legislator buruk, rakyat bisa tidak memilihnya lagi di pemilu berikutnya. Pemilu juga menjadi sarana penguatan nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat Indonesia yang heterogen, meski masih perlu banyak perbaikan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Fitra Rizqi Ramadhani Fitra 2217011087 -
Nama : Fitra Rizqi Ramadhani
NPM : 2217011087
Kelas : B

Demokrasi dan Pendidikan Politik Masyarakat dalam Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas

Jurnal ini mengupas secara mendalam hubungan antara demokrasi, pendidikan politik, dan kualitas pemilu di Indonesia. Penulis menjelaskan bahwa demokrasi pada dasarnya adalah sistem pemerintahan yang memberikan ruang sebesar-besarnya kepada rakyat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik, termasuk melalui pemilu. Namun, keberhasilan demokrasi sangat bergantung pada sejauh mana rakyat memahami hak dan kewajibannya dalam sistem tersebut. Di sinilah pendidikan politik memainkan peran strategis. Pendidikan politik bertujuan untuk membentuk masyarakat yang sadar politik, kritis, dan bertanggung jawab. Melalui pendidikan politik yang baik, masyarakat dapat mengenali pentingnya partisipasi aktif dalam pemilu, memahami proses politik, serta mampu menilai calon pemimpin berdasarkan rekam jejak dan visi-misi, bukan sekadar popularitas atau praktik transaksional seperti politik uang.

Jurnal ini juga menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia, antara lain rendahnya literasi politik masyarakat, penyebaran informasi yang tidak akurat, serta lemahnya pengawasan terhadap pelanggaran pemilu. Selain itu, partisipasi masyarakat sering kali belum dilandasi oleh kesadaran politik yang matang, melainkan hanya bersifat prosedural. Untuk mengatasi hal tersebut, penulis menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, lembaga penyelenggara pemilu (seperti KPU dan Bawaslu), organisasi masyarakat sipil, institusi pendidikan, dan media massa dalam menyelenggarakan pendidikan politik secara berkelanjutan. Pendidikan politik tidak boleh hanya dilakukan menjelang pemilu saja, tetapi harus menjadi proses yang berkesinambungan sejak dini, misalnya melalui kurikulum pendidikan di sekolah dan kampus, serta kampanye publik yang informatif dan membangun.
Kesimpulannya, kualitas pemilu yang baik hanya dapat terwujud jika masyarakat memiliki pengetahuan politik yang memadai dan terlibat aktif dalam proses demokrasi. Pendidikan politik menjadi fondasi utama untuk membangun masyarakat yang cerdas, berintegritas, dan siap menjaga nilai-nilai demokrasi. Tanpa pendidikan politik yang efektif, demokrasi berisiko mengalami stagnasi bahkan kemunduran karena minimnya kontrol publik dan dominasi elite politik. Oleh karena itu, upaya peningkatan kualitas pemilu harus dimulai dari penguatan pendidikan politik sebagai salah satu pilar utama demokrasi substantif di Indonesia.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Amel Nenchis S -
Nama : Amel Nenchis S
Npm : 2257011007
Kelas : B

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana Pemilu Presiden 2019 mempengaruhi proses konsolidasi dan pendalaman demokrasi di Indonesia. Penulis menyoroti bahwa meskipun Indonesia telah menyelenggarakan pemilu secara langsung sejak 2004, pelaksanaan pilpres 2019 justru menunjukkan banyak tantangan serius terhadap demokrasi substansial. Beberapa permasalahan utama yang dibahas dalam tulisan ini meliputi lemahnya pilar-pilar demokrasi seperti partai politik, civil society, media massa, dan birokrasi yang belum berfungsi secara maksimal. Pemilu 2019 juga ditandai dengan polarisasi sosial yang tajam, maraknya politisasi identitas dan agama, serta rendahnya netralitas birokrasi. Kepercayaan publik terhadap institusi negara, termasuk penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum, tampak melemah, yang berdampak langsung pada legitimasi hasil pemilu dan stabilitas politik secara umum.

Dalam kerangka teoritis, penulis mengacu pada pemikiran Laurence Whitehead tentang konsolidasi demokrasi dan Joel Migdal terkait hubungan negara dan masyarakat yang seharusnya saling menguatkan. Penulis menyimpulkan bahwa pemilu 2019 lebih mencerminkan demokrasi prosedural daripada demokrasi substantif karena belum mampu menghasilkan pemerintahan yang efektif dan akuntabel. Partai politik dinilai gagal menjalankan fungsinya sebagai penyedia kader dan sarana artikulasi aspirasi publik, dan justru lebih banyak mengandalkan tokoh populer seperti artis dalam strategi pencalonan. Birokrasi juga tidak netral dan cenderung dijadikan alat politik oleh penguasa.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Teli Hosana Marpaung 2217011162 -
Nama : Teli Hosana Marpaung
NPM: 2217011162
Kelas : B


Setelah saya baca jurnal ini membahas tantangan mendasar dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia, dengan mengambil konteks pelaksanaan Pemilu 2019 sebagai fokus utama. Penulis menyoroti bahwa meskipun pemilu merupakan instrumen penting untuk memperkuat demokrasi, pelaksanaannya di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan serius. Demokrasi yang dijalankan cenderung bersifat prosedural ketimbang substantif, karena pilar-pilar demokrasi seperti partai politik, masyarakat sipil, media, dan lembaga penyelenggara pemilu belum berfungsi secara optimal. Hal ini terlihat dari kerusuhan sosial yang muncul setelah pengumuman hasil pilpres oleh KPU, menunjukkan minimnya kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi dan lemahnya mekanisme penyelesaian konflik secara damai.

Pada jurnal ini menekankan pentingnya pendalaman demokrasi sebagai upaya untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan legitim. Demokrasi tidak hanya sekadar pemilu, tetapi harus mencerminkan keterlibatan masyarakat secara aktif dan berkelanjutan dalam proses politik. Dalam hal ini, pilpres langsung seharusnya memperkuat peran rakyat, namun dalam praktiknya justru terjebak dalam dinamika pragmatisme politik dan konflik elite. Demokrasi yang sehat membutuhkan konsolidasi dari semua aktor politik dan masyarakat untuk menjadikan proses politik sebagai sarana mencapai kesejahteraan bersama dan bukan sekadar perebutan kekuasaan.

Pemilu 2019 juga memperlihatkan tingginya intensitas politisasi identitas, terutama agama, yang menciptakan polarisasi di tengah masyarakat. Kedua kubu capres sama-sama menggunakan simbol-simbol religius untuk menarik dukungan umat Islam, yang berdampak pada menguatnya sentimen sektarian dan melemahnya nilai-nilai toleransi yang menjadi fondasi bangsa. Istilah seperti “cebong” dan “kampret” menjadi bukti bahwa pemilu telah menciptakan jurang perbedaan yang tajam di antara warga negara. Politik identitas yang digunakan sebagai alat kampanye justru menjauhkan pemilu dari semangat demokrasi yang inklusif dan beradab.

Masalah lain yang menjadi sorotan penting dalam artikel ini adalah kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi kaderisasi dan edukasi politik. Banyak partai lebih memilih mencalonkan figur selebritas yang dianggap mampu meraih suara, tanpa mempertimbangkan kapasitas politik dan komitmen terhadap rakyat. Di sisi lain, birokrasi yang seharusnya netral dan profesional justru terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik. Dukungan terbuka dari aparat pemerintahan kepada kandidat tertentu memperlihatkan bahwa birokrasi masih menjadi alat politik yang rawan disalahgunakan, sehingga memperlemah legitimasi hasil pemilu dan proses pemerintahan secara keseluruhan.

Oleh karena itu, pentingnya kolaborasi semua pemangku kepentingan dalam memperkuat konsolidasi demokrasi di Indonesia. Reformasi birokrasi, netralitas lembaga negara, penguatan peran masyarakat sipil, dan profesionalisme media merupakan kunci utama dalam menciptakan demokrasi yang substantif. Demokrasi yang sehat harus dibangun di atas landasan kepercayaan publik, partisipasi yang bermakna, dan tata kelola yang adil dan transparan. Hanya dengan demikian, pemilu dapat menjadi instrumen yang benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat dan memperkuat keberlanjutan negara demokratis yang inklusif dan berkeadaban.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Nandia Devina Dwi Hendri -

Nama: Nandia Devina Dwi Hendri

NPM: 2217011171

Kelas: Kimia B

Jurnal ini mengkaji tantangan konsolidasi demokrasi Indonesia dalam konteks Pemilu Presiden 2019. Penulis menyoroti bahwa meskipun pemilu telah menjadi agenda rutin dalam demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, pelaksanaannya masih belum mencerminkan demokrasi yang substantif. Pemilu dinilai masih sebatas prosedural, belum mampu menghasilkan kepemimpinan yang efektif dan memperkuat kepercayaan publik.


Siti Zuhro mengidentifikasi beberapa masalah utama yang menghambat pendalaman demokrasi. Pertama, polarisasi sosial akibat politisasi identitas dan agama menjadi sangat tajam, menciptakan konflik sosial seperti yang terlihat pada kerusuhan 22 Mei 2019 setelah pengumuman hasil pilpres oleh KPU. Kedua, partai politik gagal menjalankan fungsi kaderisasi dan lebih memilih figur-figur populer, termasuk artis, sebagai caleg, demi kepentingan elektoral sesaat. Hal ini memperlemah fungsi partai sebagai penghubung antara rakyat dan kekuasaan. Ketiga, birokrasi tidak netral. Banyak aparatur negara ikut terlibat secara terbuka mendukung pasangan calon tertentu, bahkan digunakan sebagai alat politik. Ini menunjukkan lemahnya reformasi birokrasi dan membahayakan legitimasi hasil pemilu. Keempat, peran media sosial yang marak dengan hoaks dan ujaran kebencian turut memperkeruh suasana, memperlemah nilai-nilai toleransi dan kebinekaan yang menjadi fondasi negara.


Selain itu, penulis juga mengkritik lemahnya pengawasan internal dalam partai politik dan kurangnya transparansi serta akuntabilitas dalam pelaksanaan pemilu. Pilpres 2019, meskipun berhasil secara administratif, belum menjamin kualitas hasil dan penerimaan publik secara menyeluruh, karena munculnya sengketa dan klaim kemenangan dari kedua kubu. Dalam penutupnya, penulis menekankan pentingnya peran semua stakeholder partai politik, penyelenggara pemilu, birokrasi, media, civil society, dan masyarakat luas untuk secara profesional dan bertanggung jawab memperkuat demokrasi substantif. Demokrasi yang berkualitas hanya akan terwujud apabila dibangun atas dasar kepercayaan publik, kompetisi yang sehat, dan keterlibatan masyarakat yang bermakna.

Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Tirani Ajeng Utami -
Tirani Ajeng Utami
2217011065
Kimia B
Artikel ini mengulas tantangan konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan fokus pada pemilu presiden (pilpres) 2019. Pemilu tersebut memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia masih bersifat prosedural, belum substantif. Pilpres 2019 justru memicu polarisasi masyarakat, kegaduhan sosial, serta menurunnya kepercayaan publik akibat konflik pasca-pemilu dan politisasi identitas, khususnya dalam perebutan suara Muslim. Konsolidasi demokrasi di Indonesia masih fluktuatif dan belum berjalan secara optimal karena pilar-pilar pentingnya seperti pemilu, partai politik, masyarakat sipil, dan media massa belum berfungsi maksimal. Pemilu sebagai sarana suksesi kepemimpinan membutuhkan kejujuran, keadilan, dan akuntabilitas, namun pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan seperti politisasi identitas, lemahnya peran partai politik, birokrasi yang tidak netral, serta penyebaran hoaks di media sosial. Meski Indonesia telah melaksanakan pemilu langsung beberapa kali sejak reformasi, kualitas demokrasi yang terbangun masih bersifat prosedural dan belum substantif. Demokrasi Indonesia masih menghadapi banyak kendala seperti lemahnya pelembagaan partai politik, rendahnya kepercayaan publik terhadap birokrasi dan penyelenggara pemilu, serta maraknya politisasi identitas, hoaks, dan ujaran kebencian.
Situasi sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang belum memadai turut menghambat proses pendalaman demokrasi. Kurangnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu dan institusi penegak hukum memperburuk kondisi ini. Untuk membangun demokrasi yang berkualitas, diperlukan profesionalisme dan independensi para pemangku kepentingan, serta partisipasi aktif dari masyarakat sipil dan media massa dalam mengawal proses demokrasi secara objektif dan kritis.
Pemilu 2019 ditandai oleh pembelahan sosial, konflik pasca pemilu, serta isu politisasi agama dan birokrasi. Pemilu tersebut belum mampu menghasilkan kepemimpinan yang efektif dan legitimitas kuat, bahkan justru memperuncing polarisasi sosial-politik. Partai politik gagal menjalankan fungsinya sebagai wahana kaderisasi dan lebih menonjolkan pragmatisme ketokohan. Selain itu, politisasi birokrasi menjadi sorotan utama, di mana banyak pejabat publik secara terbuka menunjukkan keberpihakan politik. Netralitas aparatur sipil negara masih menjadi tantangan besar dalam upaya menciptakan pemilu yang adil dan demokratis. Penulis menegaskan bahwa pendalaman demokrasi (deepening democracy) tidak hanya membutuhkan pelaksanaan pemilu secara reguler, tetapi juga penguatan substansi demokrasi melalui peningkatan peran civil society, profesionalisme penyelenggara pemilu, dan penguatan nilai-nilai demokratis dalam masyarakat. Demokrasi yang sehat bergantung pada komitmen seluruh elemen bangsa untuk menjunjung keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Pemilu 2019 yang kompleks menunjukkan bahwa meskipun Indonesia mampu mengadakan pemilu secara damai, nilai-nilai demokrasi substantif belum sepenuhnya dijalankan. Tingkat kepercayaan publik sangat bergantung pada kualitas pelaksanaan pemilu dan komitmen para aktor politik. Oleh karena itu, demokrasi yang dibangun secara substansial dapat memperkuat kepercayaan rakyat dan menciptakan stabilitas politik, sementara demokrasi yang hanya prosedural justru rentan memicu konflik dan ketidakpercayaan.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Shela Puspa Ningrum II 2217011134 -
Nama : Shela Puspa Ningrum
Npm : 2217011134
Kelas : B

Artikel “Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019” karya R. Siti Zuhro mengulas berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan demokrasi yang matang, dengan fokus pada pelaksanaan Pemilu Presiden tahun 2019. Meskipun Indonesia telah beberapa kali melaksanakan pemilu langsung, kualitas demokrasi masih belum menunjukkan kemajuan yang substansial. Pemilu 2019 justru memperlihatkan kemunduran dalam berbagai aspek, seperti menguatnya polarisasi masyarakat, meningkatnya isu SARA, serta meluasnya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial.

Penulis menyoroti lemahnya peran partai politik yang lebih mengandalkan figur populer daripada membina kader berkualitas, serta keterlibatan birokrasi dalam politik praktis yang mengikis netralitas aparatur sipil. Situasi ini berdampak langsung pada menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara, termasuk penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum.

Pemilu sebagai sarana demokratis seharusnya mampu menjadi mekanisme suksesi yang jujur, adil, dan akuntabel. Namun dalam praktiknya, penyelenggaraan pemilu di Indonesia masih terjebak dalam aspek prosedural dan belum mampu menghadirkan demokrasi yang substantif. Permasalahan seperti politisasi identitas, lemahnya pelembagaan partai politik, dan birokrasi yang tidak netral semakin memperburuk kualitas demokrasi.

Artikel ini juga menekankan bahwa demokrasi tidak cukup hanya dengan menyelenggarakan pemilu secara rutin. Diperlukan penguatan peran masyarakat sipil, profesionalisme penyelenggara pemilu, serta nilai-nilai demokratis yang tertanam dalam budaya politik masyarakat. Demokrasi yang sehat bergantung pada komitmen kolektif seluruh elemen bangsa untuk menjunjung tinggi keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.

Secara keseluruhan, artikel ini menunjukkan bahwa Pemilu 2019 menjadi cerminan dari demokrasi yang masih rapuh, dengan konflik pasca pemilu, politisasi agama, serta rendahnya legitimasi kepemimpinan yang dihasilkan. Demokrasi hanya akan tumbuh kuat jika dijalankan secara substansial, bukan sekadar memenuhi prosedur. Kepercayaan publik terhadap demokrasi sangat bergantung pada kualitas institusi politik dan integritas para aktor yang terlibat dalam prosesnya.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Dwi Pauliyanna Safitri 2217011061 -
Nama: Dwi Pauliyanna Safitri
NPM: 2217011061
Kelas: B


Berdasarkan jurnal diatas yang berjudul "Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019" karya R. Siti Zuhro yang terdapat dalam jurnal Penelitian Politik ini membahas tantangan dalam proses konsolidasi demokrasi Indonesia melalui pemilu presiden (pilpres) 2019. Pilpres ini menunjukkan bahwa pendalaman demokrasi belum tercapai karena pilar-pilar demokrasi seperti partai politik, masyarakat sipil, dan media belum berfungsi secara optimal. Kontestasi politik yang terjadi menimbulkan polarisasi tajam dan memperbesar ketegangan sosial, terutama akibat politisasi identitas, penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan ketidaknetralan birokrasi. Selain itu, partai politik dinilai gagal menjalankan fungsi kaderisasi dan lebih berfokus pada perebutan kekuasaan pragmatis. Pelaksanaan pemilu serentak yang rumit juga mengungkap berbagai persoalan sistemik seperti rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara pemilu dan penegak hukum. Birokrasi yang seharusnya netral justru terseret dalam dinamika politik praktis, sehingga merusak kepercayaan masyarakat. Penulis menekankan bahwa demokrasi Indonesia masih bersifat prosedural dan belum substansial, di mana partisipasi, kompetisi, dan hasil pemilu belum menjamin kualitas pemerintahan yang efektif dan akuntabel. Untuk membangun demokrasi yang sehat, semua pihak termasuk partai politik, penyelenggara pemilu, birokrasi, dan masyarakat sipil perlu bersinergi secara profesional dan bertanggung jawab agar dapat meningkatkan kepercayaan publik serta memperkuat stabilitas politik nasional.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh May Linda Maya Sari 2217011048 -
Nama: May Linda Maya Sari
NPM: 227011048
Kelas: B

Berikut adalah analisis dari jurnal yang berjudul “Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019” dengan penulis R. Siti Zuhro:

Tulisan ini membahas tantangan konsolidasi demokrasi Indonesia dalam konteks Pemilu Presiden 2019. Meskipun pemilu tersebut merupakan bentuk penting dari demokrasi, implementasinya belum berhasil mewujudkan demokrasi yang substantif karena lemahnya pilar-pilar pendukung demokrasi seperti partai politik, civil society, dan birokrasi. Polarisasi tajam antar pendukung capres, politisasi identitas dan agama, serta maraknya hoaks dan ujaran kebencian menandai rendahnya kualitas demokrasi. Selain itu, netralitas birokrasi banyak dipertanyakan karena keterlibatan aparat dalam politik praktis. Pilpres 2019 menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih bersifat prosedural, bukan substantif, ditandai dengan ketidakmampuan menciptakan pemerintahan yang efektif dan akuntabel. Partai politik dinilai gagal dalam kaderisasi dan hanya mengejar kekuasaan pragmatis, sehingga menurunkan kepercayaan publik. Akhirnya, konsolidasi demokrasi tidak hanya membutuhkan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, tetapi juga komitmen dari semua pemangku kepentingan untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi, meningkatkan peran masyarakat sipil, serta menjaga netralitas birokrasi agar proses politik benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Khusnul Khotimah 2217011094 -
Nama : Khusnul Khotimah
NPM : 2217011094
Kelas : B


konsolidasi demokrasi dalam konteks Pemilu Presiden 2019 di Indonesia. Meskipun pemilu menjadi mekanisme demokratis utama untuk suksesi kepemimpinan, pelaksanaannya masih menghadapi banyak hambatan. Pilpres 2019 menunjukkan belum terbangunnya demokrasi yang substansial karena lemahnya pilar-pilar demokrasi, seperti partai politik, birokrasi netral, dan kepercayaan publik. Persoalan seperti politisasi identitas agama, polarisasi sosial, hoaks, dan ujaran kebencian mencerminkan kemunduran kualitas demokrasi. Selain itu, politisasi birokrasi dan lemahnya pelembagaan partai politik menambah kompleksitas. Penulis menekankan pentingnya memperkuat demokrasi substantif yang ditopang oleh partisipasi masyarakat yang berkualitas, kompetisi yang adil, kebebasan sipil, dan akuntabilitas pemerintah. Konsolidasi demokrasi yang berhasil membutuhkan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan—termasuk KPU, Bawaslu, pemerintah, media, dan masyarakat sipil—untuk menciptakan pemilu yang damai dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Mutiara Clariska Amanda -
Nama : Mutiara Clariska Amanda
NPM : 2217011180
Kelas : B

Berdasarkan hasil analisis terhadap jurnal yang berjudul "DEMOKRASI DAN PEMILU PRESIDEN 2019", penulis menyampaikan bahwa penerapan demokrasi di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yang berakar dari nilai-nilai budaya lokal. Demokrasi yang diterapkan tidak sekadar mengadopsi model barat secara mentah, melainkan telah disesuaikan dengan prinsip-prinsip Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia mengedepankan musyawarah, mufakat, dan kebersamaan dalam pengambilan keputusan, berbeda dari demokrasi liberal yang menitikberatkan pada suara mayoritas. Sistem pemerintahan Indonesia menganut prinsip demokrasi konstitusional, di mana kekuasaan dibatasi oleh hukum dasar (UUD 1945) guna mencegah penyalahgunaan wewenang. Penulis mengulas pentingnya pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk menjaga keseimbangan serta menghindari dominasi satu lembaga. Namun, penulis juga menyoroti berbagai tantangan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia, seperti rendahnya partisipasi politik masyarakat, praktik politik uang, dan lemahnya kontrol terhadap para pemegang kekuasaan.

Secara keseluruhan, jurnal ini memberikan pandangan yang mendalam mengenai dinamika demokrasi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Penulis menekankan perlunya penguatan budaya demokrasi melalui pendidikan politik, peningkatan transparansi lembaga negara, serta pemberdayaan masyarakat sipil. Dengan pendekatan yang reflektif dan kritis, tulisan ini mendorong pembaca untuk memahami bahwa demokrasi bukan sekadar prosedur elektoral, tetapi juga mencakup nilai-nilai etis dan komitmen terhadap keadilan serta kesejahteraan bersama.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Adesya Trie Zakinah 2217011082 -
Nama : Adesya Trie zakinah
NPM : 2217011082
Kelas : B

Jurnal ini membahas tantangan konsolidasi demokrasi Indonesia dalam konteks Pemilu Presiden 2019. Meskipun Indonesia telah menyelenggarakan pemilu langsung sejak 2004, proses demokratisasi masih dihadapkan pada berbagai persoalan mendasar. Pemilu 2019 menunjukkan kegagalan dalam pendalaman demokrasi karena lemahnya pilar-pilar penunjang seperti partai politik, birokrasi netral, serta partisipasi masyarakat yang rasional. Jurnal ini menyoroti berbagai dinamika seperti politisasi identitas agama untuk meraih suara umat Muslim, maraknya hoaks dan ujaran kebencian, serta keterlibatan birokrasi dalam dukungan politik yang menggerus kepercayaan publik. Siti Zuhro juga mengkritisi buruknya fungsi partai politik sebagai penyambung aspirasi rakyat, dimana parpol lebih fokus pada kepentingan kekuasaan ketimbang kaderisasi yang sehat. Fragmentasi sosial dan politik pun semakin tajam, terlihat dari munculnya konflik sosial pasca pemilu serta lemahnya respons elite politik dalam meredakan ketegangan. Dalam penutupnya, penulis menekankan pentingnya sinergi antara semua elemen bangsa (pemerintah, partai, birokrasi, masyarakat sipil, dan media) untuk membangun demokrasi yang substantif dan memperkuat kepercayaan publik demi mewujudkan pemerintahan yang efektif dan stabil.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Agnes Cindy Arianty Br Karo Sekali 2217011114 -
Nama : Agnes Cindy Arianty Br Karo Sekali
NPM : 2217011114
Kelas : B

Jurnal Penelitian Politik LIPI edisi Juni 2019 membahas berbagai aspek penting menjelang Pemilu Serentak 2019 yang pertama kali menggabungkan pemilihan presiden dan anggota legislatif dalam satu waktu. Enam artikel utama mengupas topik-topik seperti cara partai membentuk koalisi untuk memperkuat sistem presidensial, strategi simbolik “emak-emak” dan “ibu bangsa” untuk meraih suara perempuan, serta tantangan menjaga netralitas Polri hingga ke tingkat desa. Ada juga analisis tentang bagaimana wacana populisme dimanfaatkan elit politik tanpa benar-benar memperdalam nilai-nilai demokrasi, serta tinjauan tentang proses dan hambatan konsolidasi demokrasi dalam Pilpres 2019. Selain itu, salah satu tulisan menelusuri sejarah Shalawat Badar di pesantren sebagai contoh literatur lisan yang kental nuansa politiknya.

Di samping artikel penelitian, jurnal ini memuat ulasan buku tentang tata kelola demokrasi dan pemilu pasca-reformasi, yang membahas desain lembaga penyelenggara dan rekomendasi perbaikan ke depan. Keseluruhan edisi ini menekankan bahwa agar pemilu tidak sekadar acara berganti pemimpin, tetapi juga bisa memperkuat demokrasi, diperlukan penguatan lembaga, partisipasi masyarakat yang aktif dan kritis, serta netralitas seluruh aparat negara.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Maulida Aprilia 2217011176 -
Nama : Maulida Aprilia
NPM : 2217011176
Kelas : B

Dalam Jurnal Penelitian Politik edisi Juni 2019 membahas dinamika sosial-politik menjelang Pemilu Serentak 2019, yang untuk pertama kalinya menyatukan pilpres dan pileg. Artikel-artikelnya mengeksplorasi berbagai isu penting seperti penguatan sistem presidensial, mobilisasi suara perempuan lewat simbol "emak-emak" dan "ibu bangsa", netralitas Polri, transformasi populisme, serta tantangan konsolidasi demokrasi. Pemilu 2019 dinilai masih didominasi praktik demokrasi prosedural ketimbang substansial, dengan berbagai problem seperti polarisasi sosial, politisasi identitas dan agama, lemahnya partai politik, serta politisasi birokrasi. Konsolidasi demokrasi dinilai belum optimal karena belum efektifnya pilar-pilar demokrasi dan rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi politik dan birokrasi. Oleh karena itu, jurnal ini menekankan pentingnya sinergi antar pemangku kepentingan serta peran aktif masyarakat sipil dan media dalam memperkuat demokrasi substantif di Indonesia.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Rara Cahyani -
Rara Cahyani
2217011071
B

Jurnal Penelitian Politik, yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2Politik-LIPI) sebagai bagian dari lembaga penelitian pemerintah, menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan baru, baik dalam konteks akademik maupun praktis kebijakan, terutama yang berkaitan dengan otonomi daerah, demokrasi, HAM, dan posisi Indonesia di kancah regional dan internasional. Secara akademik, P2Politik-LIPI diharapkan menghasilkan kajian-kajian unggulan yang dapat bersaing dan menjadi rujukan ilmiah di tingkat nasional dan internasional. Secara moral, lembaga ini diharapkan memberikan arah dan pencerahan kepada masyarakat untuk membangun Indonesia yang rasional, adil, dan demokratis. Kajian-kajian yang dilakukan tidak hanya berorientasi pada praksis kebijakan, tetapi juga pada pengembangan ilmu pengetahuan sosial, khususnya konsep dan teori baru dalam ilmu politik, perbandingan politik, studi kawasan, dan ilmu hubungan internasional. Dalam konteks demokrasi dan pemilu presiden 2019 Sejak era Reformasi, Indonesia sudah menggelar empat kali pemilu. Tetapi, pemilu ke lima tahun
2019, khususnya, pemilu presiden (pilpres) memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik. Sebagaimana diketahui, untuk kedua kalinya Joko Widodo (Jokowi) kembali
berhadapan dengan Prabowo Subianto, head to head, untuk memperebutkan kursi presiden. Konsolidasi demokrasi di Indonesia cenderung fluktuatif dan belum berjalan secara regular karena pilar-pilar pentingnya (pemilu, partai
politik, civil society, media massa) belum berfungsi efektif dan belum maksimal. Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu diperlukan
untuk suksesi kepemimpinan dan mengoreksi kinerja pemerintahan. Tantangan pendalaman demokrasi semakin besar ketika kondisi sosial, ekonomi, politik dan hukum juga kurang memadai. Kondisi ini tidak
hanya berpengaruh terhadap kualitas pemilu dan demokrasi, tapi juga stabilitas nasional. Apalagi ketika pemilu berlangsung di tengah keterbelahan sosial, menyeruaknya berita-berita sensasional di medsos, ujaran kebencian dan maraknya
berita-berita hoax membuat hasil pemilu rentan dengan sengketa dan konflik. Tantangan yang cukup besar dalam menjalani pemilu serentak 2019 membuat konsolidasi demokrasi yang berkualitas sulit terbangun. Nilai-nilai demokrasi dalam pilpres tak cukup
dikedepankan. Sebagai negara demokrasi nomor 4 terbesar di dunia, Indonesia tampaknya belum mampu memperlihatkan dirinya sebagai negara yang menjalankan demokrasi substantif.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh TIARA CAHYA MUKTI -
Nama : Tiara Cahya Mukti
NPM : 2217011027
Kelas : B

Jurnal Penelitian Politik LIPI edisi Juni 2019 ini banyak membahas soal dinamika politik menjelang Pemilu Serentak 2019, di mana untuk pertama kalinya pemilu legislatif dan pemilihan presiden digelar bersamaan. Salah satu topik utama yang dibahas adalah soal sistem presidensial yang katanya mau diperkuat, tapi nyatanya masih lemah karena partai-partai politik belum solid dan sistem threshold masih bikin capres-cawapres harus berkoalisi secara pragmatis. Di sisi lain, ada juga pembahasan tentang bagaimana suara perempuan coba dimobilisasi lewat label ‘emak-emak’ dan ‘ibu bangsa’, yang ternyata lebih ke simbolis saja dan justru memperkuat kesan kalau perempuan hanya cocok di ranah domestik.

Isu netralitas Polri juga jadi sorotan, apalagi karena tugas mereka penting banget dalam menjaga keamanan pemilu. Ada juga bahasan menarik soal populisme yang makin marak, di mana elit politik pakai isu identitas dan agama buat narik simpati rakyat. Dalam artikel R. Siti Zuhro, dijelasin juga kalau demokrasi Indonesia masih sebatas formalitas—karena masih banyak masalah kayak politisasi birokrasi, hoaks, ujaran kebencian, sampai ketidakpercayaan publik terhadap hasil pilpres. Bahkan, kerusuhan setelah pengumuman hasil pemilu jadi bukti kalau konsolidasi demokrasi masih jauh dari kata ideal.

Selain itu, ada artikel yang mengulas sisi politik dari Shalawat Badar, yang ternyata sering dijadikan alat mobilisasi santri dalam politik. Di bagian akhir, jurnal ini juga nyentuh soal perlunya penataan demokrasi pasca reformasi. Intinya, walaupun Indonesia udah punya pengalaman panjang soal pemilu, tapi kualitasnya masih harus banyak diperbaiki, terutama dalam hal kepercayaan publik, netralitas birokrasi, dan peran partai politik yang belum maksimal.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Annisa Destinaria -
Nama : Annisa Destinaria
NPM : 2217011100
Kelas : B


Berikut ini adalah analisis dari jurnal yang berjudul “Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019” karya R. Siti Zuhro

Jurnal ini membahas mengenai persoalan tantangan demokrasi di Indonesia, khususnya pada Pilpres 2019. Meskipun Indonesia sudah beberapa kali mengadakan pemilu secara langsung, namun ternyata proses dalam demokrasinya masih belum berjalan dengan maksimal. Salah satu indikatornya adalah belum adanya pilpres yang menghasilkan kepemimpinan yang kuat dan dipercaya publik. Ini bisa dilihat dari kerusuhan sosial pasca pengumuman hasil pemilu dan dua kandidat yang saling klaim kemenangan sampai harus diselesaikan di Mahkamah Konstitusi.

Selanjutnya, masalah yang serius juga ada dari bagian partai politik. Fungsi partai sebagai penyaring dan penyedia kader pemimpin belum jalan sebagaimana mestinya. Banyak partai justru malah lebih berfokus dengan menggandeng nama artis jadi caleg demi mendapatkan suara banyak, yang justru tidak melihat dari kualitas atau kapabilitas mereka. Akibatnya, masyarakat semakin tidak percaya dengan partai politik, karena masyarakat merasa bahwa aspirasi politiknya tidak digunakan untuk memperjuangkan hak masyarakat tersebut setelah pemilu selesai.

Salah satu tantangan yang paling nyata dalam Pilpres 2019 adalah politik identitas dan agama. Fenomena ini bikin suasana pemilu jadi makin kisruh karena masing-masing kubu membuat narasi mengenai pihak siapa yang paling mewakili umat Islam. Dalam konteks negara plural seperti Indonesia, ini menjadi sebuah masalah besar karena bisa mengganggu stabilitas sosial dan menghambat terciptanya demokrasi yang sehat.

Dan tantangan yang terakhir, dalam aspek birokrasi juga mengalami masalah selama Pilpres 2019. Banyak oknum birokrasi yang melakukan politik praktis, yang seharusnya para birokrat adalah netral dan tidak berpihak ke kubu apapaun. Contohnya saja yaitu banyak para menteri yang ditarik menjadi tim sukses dari salah satu kubu. Padahal demokrasi justru membutuhkan birokrasi yang netral, agar dalam proses pemilu bisa berjalan dengan adil dan efektif.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh KADEK WENDI SEPTIANI 2217011018 -
Nama : Kadek Wendi Septiani
NPM : 2217011018
Kelas : B

Kalimat-kalimat dalam teks “Deepening Democracy dan Tantangannya” membentuk sebuah analisis mendalam mengenai dinamika demokrasi di Indonesia, dengan menyoroti pentingnya proses konsolidasi demokrasi serta pendalaman demokrasi sebagai upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan partisipatif. Demokrasi dipahami sebagai sistem yang idealnya berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, namun pelaksanaannya tidaklah sederhana karena membutuhkan komitmen kolektif dan proses jangka panjang, termasuk keterlibatan semua elemen masyarakat dan lembaga politik secara prosedural maupun substansial. Dalam konteks Indonesia, demokratisasi sejak reformasi 1999 terus berkembang secara dinamis, terutama dengan hadirnya pemilu presiden dan pilkada secara langsung yang menjadi instrumen penting dalam memperkuat peran masyarakat dan mendorong akuntabilitas pemerintahan. Pendalaman demokrasi di sini tidak hanya dimaknai sebagai peningkatan partisipasi politik rakyat tetapi juga pelembagaan mekanisme yang menciptakan kepercayaan antara negara, partai politik, masyarakat sipil, dan birokrasi, serta penguatan kapasitas teknokratik negara. Selain itu, demokrasi yang sehat menuntut sinergi antara negara dan masyarakat, seperti dikemukakan oleh Migdal, di mana negara tidak hanya mampu mengatur dan mengelola masyarakat tetapi juga memberdayakan mereka agar terlibat aktif dalam kontrol sosial dan kehidupan politik. Nilai-nilai demokrasi harus menjadi dasar perilaku baik elite maupun warga negara agar pilihan politik didasarkan pada rasionalitas, bukan sekadar emosi atau kepentingan sesaat. Dalam hal ini, pilpres langsung tidak hanya dipandang sebagai pesta demokrasi melainkan sebagai mekanisme yang memperkuat legitimasi politik dan efektivitas pemerintahan pasca pemilu. Namun demikian, tantangan besar masih ada, seperti munculnya kompromi kepentingan di antara elite, budaya kekerasan dalam politik, rendahnya keterbukaan informasi, serta masih kuatnya budaya feodal dan pelanggaran HAM. Oleh sebab itu, pendalaman demokrasi harus terus diupayakan melalui penguatan partisipasi masyarakat secara nyata, yang tidak hanya bersifat formal tetapi juga substantif dalam pengambilan keputusan politik, demi terciptanya sistem demokrasi yang inklusif, adil, dan menjamin kebebasan serta kesetaraan hak seluruh warga negara.
Pemilu merupakan pilar utama demokrasi yang menjadi sarana penting bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi politik, memilih wakilnya di lembaga legislatif serta presiden dan wakil presiden secara damai. Keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, dan pemilihan presiden, serta pelembagaan sistem demokrasi, sangat bergantung pada kemampuan bangsa dalam mengelola politik dan pemerintahan sesuai dengan amanat para pendiri bangsa. Meski secara konstitusional hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin, dan partisipasi masyarakat semakin luas, dalam praktiknya pemilu masih belum sepenuhnya mampu mewujudkan kedaulatan rakyat secara nyata. Pemilu serentak tahun 2019, yang merupakan pemilu kelima pasca Orde Baru sekaligus pemilu serentak pertama yang menyatukan pileg dan pilpres dalam waktu bersamaan, menjadi momen penting yang tidak hanya berbeda dari pemilu sebelumnya, tetapi juga menjadi ujian bagi penguatan sistem presidensial serta pelembagaan partai politik dan koalisinya. Namun, tantangan yang muncul sangat besar karena kompleksitasnya tinggi dan menjadi pemilu yang paling gamang; selain harus menghadapi presidential threshold yang memaksa partai untuk berkoalisi dalam pengusungan pasangan capres dan cawapres, mereka juga secara bersamaan harus berkompetisi satu sama lain dalam perebutan kursi legislatif. Oleh karena itu, agar pemilu serentak seperti ini dapat memperkuat demokrasi secara substansial, seluruh pihak harus menunjukkan komitmen untuk menyelenggarakannya secara rasional, dewasa, profesional, adil, jujur, dan bijak, sesuai nilai-nilai luhur Pancasila.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Ahmad fahrizki 2217011039 -
Nama : Ahmad Fahrizki
Npm : 22170011039
Kelas : B

Jurnal Penelitian Politik edisi Juni 2019 ini ngangkat tema yang cukup panas, yaitu dinamika politik menjelang dan selama Pemilu Serentak 2019 di Indonesia. Pemilu ini jadi yang pertama kalinya pilpres dan pileg digelar bersamaan. Harapannya sih bisa bikin sistem presidensial kita lebih kuat dan efisien. Tapi ternyata, dari hasil kajian para peneliti, pemilu ini justru nunjukkin bahwa sistem kita masih banyak bolongnya. Koalisi partai masih dibentuk secara pragmatis, dan partai politik sendiri belum punya fondasi yang kuat buat menciptakan kader pemimpin yang mumpuni.

Salah satu isu menarik yang dibahas adalah soal narasi simbolik terhadap perempuan dalam politik. Istilah seperti “emak-emak” dan “ibu bangsa” dijadikan alat untuk menarik suara perempuan, tapi sayangnya cuma sebatas simbol. Kedua kubu capres sama-sama mengandalkan stereotip perempuan dalam ranah domestik tanpa betul-betul mengangkat isu kesetaraan gender atau pemberdayaan perempuan secara nyata. Ini mencerminkan masih kuatnya budaya patriarki dalam cara kampanye politik kita.

Di sisi lain, netralitas institusi seperti Polri juga ikut dipertanyakan. Artikel dari Sarah Nuraini Siregar misalnya, mengangkat kekhawatiran bahwa Polri bisa saja berpihak secara tidak langsung dalam kontestasi politik, apalagi mengingat peran mereka yang sangat penting dalam menjaga stabilitas keamanan selama pemilu. Hal ini tentu berbahaya karena bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.

Jurnal ini juga mengangkat soal populisme yang makin merajalela. Fenomena ini terjadi ketika elit politik menggunakan isu-isu identitas dan emosi massa untuk menarik simpati, tapi tanpa memberikan solusi nyata. Alih-alih memperdalam demokrasi, populisme justru memperkuat oligarki dan menjauhkan rakyat dari substansi demokrasi itu sendiri. Bahkan, fenomena budaya seperti Shalawat Badar pun nggak luput dari politisasi dan dijadikan alat mobilisasi politik di kalangan santri.

Secara umum, jurnal ini kasih gambaran bahwa meskipun Indonesia udah beberapa kali menggelar pemilu sejak reformasi, kualitas demokrasi kita masih dominan pada level prosedural—alias lebih fokus ke aturan formal ketimbang substansi. Konsolidasi demokrasi masih terhambat karena partai belum berfungsi optimal, birokrasi masih rawan intervensi politik, dan masyarakat belum sepenuhnya dilibatkan secara aktif dan rasional dalam proses politik. Semua ini jadi tantangan besar kalau kita benar-benar pengen punya demokrasi yang sehat dan berkualitas.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Agung Hasintongan Parulian Hasibuan -
Nama : Agung Hasintongan Parulian Hasibuan
NPM : 2217011076
Kelas : B

Berdasarkan Jurnal Penelitian Politik edisi Juni 2019, dinamika politik menjelang Pemilu Serentak 2019 memperlihatkan bahwa penggabungan pemilihan legislatif dan presiden belum sepenuhnya berhasil memperkuat sistem presidensial. Koalisi partai masih bersifat pragmatis, dan kelembagaan partai belum mampu menjalankan fungsi kaderisasi secara efektif. Hal ini mencerminkan lemahnya fondasi politik dalam menopang sistem pemerintahan yang stabil dan akuntabel.

Jurnal ini juga menyoroti penggunaan simbolisasi perempuan dalam politik melalui istilah seperti “emak-emak” dan “ibu bangsa” yang cenderung bersifat retoris dan tidak disertai komitmen nyata terhadap isu kesetaraan gender. Strategi ini justru memperkuat stereotip domestik terhadap perempuan dan mencerminkan belum berubahnya pola kampanye yang masih kental dengan budaya patriarkis.

Netralitas institusi negara seperti Polri turut menjadi perhatian, di mana peran penting dalam menjaga keamanan pemilu justru dikhawatirkan tercemari oleh keberpihakan politik. Ketidaknetralan aparat negara berisiko menurunkan legitimasi pemilu dan menggerus kepercayaan publik terhadap demokrasi sebagai sistem yang adil dan terbuka.

Secara umum, jurnal ini menegaskan bahwa demokrasi Indonesia masih berada pada tahap prosedural. Fenomena populisme, politisasi identitas, serta lemahnya partisipasi rasional masyarakat menjadi penghambat utama dalam mewujudkan demokrasi yang substansial.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Irham Maulana 2217011138 -
Nama : Irham Maulana
NPM : 2217011138
Kelas : B

Jurnal ini menganalisis berbagai tantangan yang dihadapi dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia, dengan mengambil studi kasus Pemilu Presiden 2019. Meskipun Indonesia telah melalui lima pemilu pasca-Reformasi, kualitas demokrasi dinilai masih belum matang secara substansial. Pilar-pilar utama demokrasi—seperti partai politik, media, birokrasi, dan masyarakat sipil—belum berfungsi secara efektif sebagai penopang demokrasi.

Pemilu 2019 menampilkan tingkat polarisasi yang tinggi antara dua kubu pendukung pasangan calon presiden. Polarisasi ini diperparah dengan penggunaan isu identitas dan agama sebagai alat politik, serta maraknya penyebaran hoaks dan kampanye hitam melalui media sosial. Hal ini menandakan bahwa demokrasi belum tumbuh dalam ruang publik yang sehat dan matang.

Jurnal ini juga menyoroti bahwa Pemilu 2019 gagal menciptakan pergantian kekuasaan yang memperkuat kepercayaan masyarakat. Kerusuhan setelah pengumuman hasil pemilu serta penolakan oleh salah satu kandidat mencerminkan lemahnya mekanisme penyelesaian konflik secara demokratis dan menurunnya kepercayaan publik.

Partai politik juga dikritik karena lebih mementingkan strategi elektoral ketimbang penguatan ideologi dan kaderisasi. Banyak partai justru mencalonkan figur populer atau selebritas daripada memunculkan calon legislatif yang berkualitas, yang pada akhirnya melemahkan kualitas representasi politik.

Politisasi birokrasi menjadi isu serius lainnya, di mana banyak ASN menunjukkan ketidaknetralan dalam pemilu. Keterlibatan aparatur pemerintah dalam dukungan politik mengancam integritas pemilu dan menandakan lemahnya reformasi birokrasi.

Lebih lanjut, penulis menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi lahan subur bagi penyebaran ujaran kebencian dan disinformasi, yang memperparah pembelahan sosial dan menunjukkan masih rendahnya literasi politik publik.

Sebagai kesimpulan, jurnal ini menegaskan bahwa demokrasi Indonesia masih menghadapi hambatan struktural dan kultural yang besar. Demokrasi tidak boleh hanya dilihat sebagai proses prosedural seperti pemilu, tetapi harus ditumbuhkan sebagai nilai hidup yang dijalankan melalui budaya politik kritis, lembaga yang kuat, dan partisipasi aktif masyarakat.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Ilmadin nur alfita Alfita -
Nama ilmadin nur alfita
Npm 2217011035
Kelas b

Artikel "Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019" karya R. Siti Zuhro, yang dipublikasikan dalam Jurnal Penelitian Politik (Vol. 16, No. 1, Juni 2019), menawarkan analisis kritis terhadap tantangan konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca-reformasi, khususnya terkait dengan Pemilu Presiden 2019.​
Academia
+1
ejournal.politik.lipi.go.id
+1

Pokok Bahasan dalam Artikel
Konsolidasi Demokrasi yang Belum Optimal
Zuhro menilai bahwa pendalaman demokrasi di Indonesia masih terhambat oleh lemahnya pilar-pilar demokrasi, seperti partisipasi politik, kompetisi yang adil, dan supremasi hukum. Pemilu 2019, meskipun berlangsung secara prosedural, belum berhasil membangun kepercayaan publik dan menghasilkan suksesi kepemimpinan yang efektif.
Polarisasi Sosial dan Politisasi Identitas
Isu-isu identitas, terutama agama, digunakan secara strategis dalam kampanye politik, yang memperburuk polarisasi sosial. Fenomena seperti ijtima’ ulama yang mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga dan dukungan dari NU kepada Jokowi-Ma’ruf Amin menunjukkan bagaimana identitas keagamaan dimobilisasi untuk meraih suara, meskipun hal ini tidak selalu mencerminkan representasi yang inklusif dari umat Islam secara keseluruhan.
Tantangan terhadap Netralitas Birokrasi
Zuhro mengkritik politisasi birokrasi yang terjadi selama Pemilu 2019, di mana pejabat pemerintah terlibat langsung dalam tim pemenangan calon tertentu. Hal ini mengarah pada penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan politik, yang merusak prinsip netralitas birokrasi dan mengancam kualitas demokrasi.
Evaluasi terhadap Sistem Pemilu Serentak dan Presidential Threshold
Pemilu serentak dianggap meningkatkan kompleksitas dan potensi konflik, terutama terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang membatasi akses partai politik kecil. Siti Zuhro menekankan perlunya evaluasi terhadap sistem ini untuk memastikan bahwa pemilu dapat mencerminkan kehendak rakyat secara lebih adil dan representatif.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Muhammad Faiz Farid 2217011148 -
Nama : Muhammad Faiz Farid
NPM : 2217011148
Kelas : B

Jurnal ini mengkaji secara mendalam tantangan konsolidasi demokrasi di Indonesia melalui studi kasus Pemilu Presiden 2019. Penulis menyoroti bahwa meskipun Indonesia telah mengalami lima kali pemilu pasca-Reformasi, praktik demokrasi masih berada dalam tahap yang belum matang secara substansial. Hal ini ditunjukkan melalui belum efektifnya pilar-pilar demokrasi seperti partai politik, masyarakat sipil, media massa, dan birokrasi yang seharusnya menjadi motor penggerak dalam konsolidasi demokrasi. Pemilu 2019 mencerminkan ketegangan politik yang tinggi dengan munculnya polarisasi sosial yang tajam antar pendukung pasangan calon, serta maraknya politisasi identitas dan isu keagamaan yang memperburuk kondisi sosial-politik.

Penulis menekankan bahwa kegagalan dalam membangun kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu mencerminkan lemahnya demokrasi yang substansial. Praktik politisasi identitas, penyebaran hoaks, serta penyalahgunaan media sosial juga turut merusak kualitas demokrasi. Pemilu yang ideal seharusnya mencerminkan prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas, namun prasyarat tersebut masih belum sepenuhnya tercapai. Penulis juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara berbagai aktor demokrasi seperti partai politik, penyelenggara pemilu, pemerintah, masyarakat sipil, media, dan lembaga survei untuk mempercepat proses demokrasi yang lebih matang dan berkualitas. Membangun kepercayaan (trust building) dianggap sebagai elemen kunci yang harus diperkuat agar pemilu benar-benar berfungsi sebagai instrumen demokrasi yang sesungguhnya, bukan sekadar prosedural.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Wardah Fauziah -
Nama: Wardah Fauziah
NPM: 2257011003

Dalam “Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019" karya R. Siti Zuhro yang dimuat dalam Jurnal Penelitian Politik.

Artikel tersebut menyoroti dinamika demokrasi di Indonesia, khususnya dalam konteks Pemilu Presiden 2019, yang dinilai masih diwarnai berbagai persoalan. Meskipun pemilu langsung telah beberapa kali dilaksanakan, kualitas demokrasi dinilai belum sepenuhnya matang. Pemilu 2019 justru menunjukkan berbagai tantangan, seperti polarisasi masyarakat, munculnya isu-isu SARA, serta penyebaran hoaks dan ujaran kebencian melalui media sosial. Salah satu akar masalahnya adalah partai politik yang belum optimal menjalankan fungsinya, misalnya dalam proses rekrutmen kader yang cenderung pragmatis dan hanya mengandalkan popularitas tokoh. Tak hanya itu, birokrasi yang seharusnya bersikap netral justru ikut terseret ke dalam arena politik, termasuk di tingkat lokal. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara seperti penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum menjadi menurun. Penulis menegaskan bahwa keberhasilan demokrasi sangat bergantung pada sinergi semua elemen bangsa—pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, dan media. Apabila setiap pihak menjalankan perannya secara jujur dan profesional, pemilu bisa menjadi instrumen yang sehat untuk melahirkan pemimpin yang legitimat dan dipercaya rakyat.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Nandia Primadina -
Nama : Nandia Primadina
NPM : 2217011031
Kelas : B

Jurnal tersebut menjelaskan bahwa Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 masih menghadapi banyak tantangan dalam hal membuat demokrasi di Indonesia menjadi lebih kuat. Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pilar-pilar demokrasi yang seharusnya memperkuat sistem demokrasi belum berjalan efektif, sehingga penggantian pemimpin dan peningkatan kepercayaan masyarakat belum optimal. Hal ini tercermin dari munculnya kerusuhan sosial setelah pengumuman hasil pilpres oleh KPU, di mana salah satu kandidat menolak hasil pemilu. Situasi ini menunjukkan bahwa pilpres belum benar-benar selesai karena kedua kandidat mengklaim kemenangan, sehingga Mahkamah Konstitusi harus menjadi penentu akhir. Pemilu Serentak 2019 juga diwarnai dengan isu politisasi identitas dan agama, khususnya dalam perebutan suara umat Muslim. Keputusan Jokowi memilih Ma'ruf Amin sebagai wakilnya dilihat sebagai cara untuk mendapatkan dukungan dari pemilih Muslim sekaligus menepis anggapan bahwa pemerintahannya tidak bersahabat dengan Islam. Meskipun mendapatkan dukungan dari tokoh agama penting, hal ini tidak menjamin kemenangan karena pemilih sekarang lebih beragam dan tidak lagi terpaku pada kelompok tradisional seperti santri.

Selain itu, Pemilu 2019 memperlihatkan adanya pembelahan sosial yang cukup tajam dengan penggunaan julukan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Selain itu, partai politik dinilai gagal dalam kaderisasi dan lebih mengandalkan selebritas sebagai "vote getter", serta kurang memberikan perhatian pada pemetaan dan penyelesaian masalah bangsa. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap partai politik menurun drastis dan representasi kepentingan rakyat dalam pengambilan kebijakan publik menjadi kurang maksimal. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia masih membutuhkan penguatan lembaga dan mekanisme yang dapat memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Nuril Dewita Alfajriah -
Nama : Nuril Dewita Alfajriah
NPM : 2217011155
Kelas : B

Berdasarkan analisis dalam jurnal berjudul "Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019" membahas proses demokratisasi di Indonesia terkhusus di tahun 2019. Meski telah beberapa kali menyelenggarakan pemilu sejak era Reformasi, pemilu 2019 menunjukkan bahwa demokrasi kita masih lebih bersifat prosedural daripada substantif. Di satu sisi, pemilu menjadi sarana bagi rakyat untuk menyalurkan hak politik dan memilih pemimpin secara langsung, namun di sisi lain muncul berbagai masalah seperti polarisasi masyarakat, politisasi agama, hingga maraknya hoaks dan ujaran kebencian yang justru memperkeruh suasana demokrasi. Padahal, semangat demokrasi seharusnya membawa nilai-nilai seperti toleransi, saling menghargai, dan kebebasan berpendapat secara sehat, bukan memperuncing perpecahan. Pelaksanaan pemilu secara langsung memang merupakan bentuk pendalaman demokrasi (deepening democracy) yang bertujuan mendekatkan rakyat dengan pemimpin yang dipilihnya. Namun kenyataannya, proses ini belum sepenuhnya menghasilkan pemerintahan yang efektif dan masyarakat yang benar-benar berdaulat. Hal ini salah satunya disebabkan oleh lemahnya fungsi partai politik yang lebih banyak mengedepankan kepentingan elite daripada menyuarakan aspirasi rakyat. Fungsi kaderisasi juga tidak berjalan baik karena banyak partai justru memilih tokoh populer seperti artis sebagai calon legislatif tanpa mempertimbangkan kualitas dan kompetensi.

Selain itu, praktik politik identitas sangat dominan dalam kampanye, terutama dalam upaya memperebutkan suara umat Islam. Namun strategi ini justru memperkuat sentimen sektarian dan memperlemah kesatuan bangsa. Demokrasi semestinya menjadi ruang inklusif yang menjamin partisipasi semua warga negara tanpa melihat latar belakang suku, agama, atau golongan. Sayangnya, pilpres 2019 malah mengesankan bahwa demokrasi bisa dimanfaatkan sebagai alat kekuasaan oleh elite politik tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kohesi sosial. Meski begitu, kita tidak bisa menutup mata bahwa pemilu 2019 juga membawa nilai positif. Ruang politik yang semakin terbuka, meningkatnya partisipasi publik, dan keterlibatan lembaga-lembaga masyarakat sipil menunjukkan bahwa demokrasi tetap hidup di Indonesia. Namun, untuk memperdalam demokrasi (deepening democracy), kita harus terus mendorong terwujudnya pemilu yang adil, transparan, dan bermartabat, serta memperkuat budaya politik yang sehat. Proses konsolidasi demokrasi harus diarahkan agar demokrasi tidak hanya menjadi ritual lima tahunan, tetapi benar-benar menjadi sarana kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang efektif.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Gaby Apulina Haloho 2217011110 -
Nama: Gaby Apulina Haloho
NPM: 2217011110
Kelas: Kimia-B


Jurnal yang berjudul "Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019"

Jurnal ini membahas tantangan konsolidasi demokrasi di Indonesia melalui pemilu presiden 2019. Penyelenggaraan pemilu serentak yang pertama kali diadakan ini menghadirkan dinamika sosial politik yang signifikan, terutama terkait dengan polaritas politik dan isu-isu identitas.

Pemilu 2019 melibatkan pemilihan presiden dan anggota legislatif secara bersamaan, menciptakan tantangan dalam penguatan sistem presidensial dan pelembagaan partai politik. Penulis mencatat bahwa meskipun ada kemajuan dalam proses demokratisasi, masih terdapat kelemahan dalam praktik politik dan respon terhadap tuntutan masyarakat.

Analisis Dinamika Politik
1. Penguatan Sistem Presidensial: Artikel oleh Efriza menekankan bahwa meskipun pemilu serentak diharapkan dapat memperkuat sistem presidensial, kenyataannya menunjukkan bahwa masih ada kelemahan, seperti penerapan presidential threshold yang menghambat perubahan substantif.

2. Mobilisasi Suara Perempuan: Luky Sandra Amalia mengkaji penggunaan narasi simbolik untuk memobilisasi suara perempuan, menunjukkan bagaimana label sosial seperti 'emak-emak' digunakan untuk mendomestikasi peran perempuan dalam politik.

3. Netralitas Polri: Sarah Nuraini Siregar menganalisis peran Polri dalam menjaga netralitas menjelang pemilu. Penulis menyoroti pentingnya fungsi preventif Polri dalam menjaga keamanan selama pemilu.

4. Populisme Kontemporer: Defbry Margiansyah membahas fenomena populisme dalam kontestasi politik, menunjukkan bagaimana elit politik menginstrumentalisasi populisme untuk kepentingan mereka.

5. Demokrasi dan Pemilu: R. Siti Zuhro menilai tantangan konsolidasi demokrasi dalam pemilu presiden yang menghadapi keraguan publik dan ketidakpuasan, dicontohkan dengan kerusuhan yang terjadi pasca pengumuman hasil pemilu.

6. Tradisi Sastra dan Politik: Dhuroruddin Mashad mengkaji Shalawat Badar sebagai sarana mobilisasi politik dalam konteks pesantren, menunjukkan interaksi antara sastra, agama, dan politik.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Utari Rosaliani -
Nama : Utari Rosaliani
NPM : 2217011140
Kelas : B

Jurnal berjudul "Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019" mengulas berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memperkuat proses konsolidasi demokrasi, sebagaimana tercermin dalam pelaksanaan Pilpres 2019. Meskipun pemilu telah menjadi bagian dari praktik demokrasi yang rutin, pendalaman demokrasi di Indonesia masih mengalami hambatan serius. Pilpres 2019 belum berhasil menghadirkan proses suksesi kepemimpinan yang mampu meraih kepercayaan masyarakat, yang terlihat dari terjadinya kerusuhan pasca pengumuman hasil rekapitulasi oleh KPU serta adanya klaim kemenangan dari kedua pasangan calon sehingga menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai penentu akhir. Kondisi ini mencerminkan belum optimalnya peran pilar-pilar utama demokrasi seperti pemilu, partai politik, masyarakat sipil, dan media massa. Pelaksanaan demokrasi yang seharusnya mengedepankan kejujuran, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas masih belum sepenuhnya terwujud. Permasalahan semakin kompleks dengan adanya polarisasi masyarakat, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, serta politisasi identitas dan birokrasi yang melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu dan institusi hukum. Selain itu, berbagai persoalan dalam tahapan pemilu tidak diselesaikan secara tuntas, termasuk lemahnya tata kelola pemilu dalam mengakomodasi keragaman masyarakat. Dalam konteks ini, pembangunan kepercayaan publik menjadi hal yang sangat penting dalam menciptakan demokrasi yang berkualitas, yang hanya dapat tercapai melalui profesionalitas, independensi, dan komitmen yang kuat dari semua pihak yang terlibat, termasuk penyelenggara pemilu, partai politik, pemerintah, dan aparat hukum. Dukungan dari kekuatan sosial seperti masyarakat sipil, media, elite politik, dan lembaga survei juga diperlukan untuk menjaga demokrasi tetap berada pada jalur yang sehat dan obyektif. Secara keseluruhan, jurnal ini menekankan bahwa semakin dalam penerapan nilai-nilai demokrasi dalam proses pemilu, maka semakin besar pula kemungkinan terbentuknya kepercayaan masyarakat dan terciptanya pemilu yang damai. Sebaliknya, jika demokrasi hanya dijalankan secara prosedural tanpa substansi, maka ketidakpercayaan dan potensi konflik akan semakin besar. Pengalaman Pilpres 2019 menjadi pembelajaran penting bahwa demokrasi Indonesia masih membutuhkan penguatan dalam berbagai aspek agar mampu berjalan secara matang dan berkualitas.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Arif Fikri ardiansyah -
Arif Fikri Ardiansyah
2217011099
Kelas B

Artikel ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas demokrasi Indonesia melalui pelaksanaan Pemilu Presiden 2019. Zuhro menyoroti bahwa meskipun pemilu merupakan instrumen demokrasi, pelaksanaannya pada tahun 2019 menunjukkan tantangan serius dalam konsolidasi demokrasi, termasuk kegagalan dalam membangun kepercayaan publik dan menghasilkan suksesi kepemimpinan yang baik.

Zuhro membedakan antara demokrasi prosedural—yang menekankan pada aspek formal seperti partisipasi pemilih dan kompetisi kandidat—dengan demokrasi substansial yang menekankan kualitas partisipasi, kesetaraan politik, dan akuntabilitas pemerintah. Ia menilai bahwa demokrasi Indonesia masih dominan pada aspek prosedural, belum mencapai pendalaman demokrasi yang substansial.
Zuhro mengkritik keterlibatan birokrasi dalam politik praktis selama pemilu. Ia mencatat bahwa birokrasi sering kali tidak netral dan digunakan untuk mendukung kandidat tertentu, yang mencerminkan lemahnya profesionalisme dan independensi birokrasi dalam sistem demokrasi Indonesia.

Pasca pengumuman hasil pemilu oleh KPU, terjadi kerusuhan pada 22 Mei 2019, yang menunjukkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap proses dan hasil pemilu. Zuhro menilai bahwa kejadian ini mencerminkan kegagalan dalam membangun kepercayaan publik dan konsolidasi demokrasi. ​
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Heny Agnes Nurlita -
NAMA: HENY AGNES NURLITA
NNPM: 2217011040
KELAS: B

Analisis saya dari jurnal demokrasi dan pemilu presiden 2019, Demokrasi bukan hanya tentang pemilu, tapi juga tentang proses konsolidasi dan pendalaman nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa. Konsolidasi demokrasi berarti semua pihak, baik aktor politik maupun masyarakat, harus menerima dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara konsisten. Demokrasi tidak cukup hanya prosedural—sekadar memilih pemimpin—tapi juga harus substantif, yaitu memastikan keadilan, kebebasan, dan hak-hak warga negara benar-benar dijamin. Pilpres dan pilkada langsung adalah langkah penting dalam demokrasi. Namun kualitasnya belum sepenuhnya maksimal. Pelaksanaan pemilu yang sehat seharusnya bisa menghasilkan pemerintahan yang efektif dan legitim. Sayangnya, pemilu di Indonesia seringkali dinodai oleh kecurangan, manipulasi, bahkan politisasi birokrasi. Banyak laporan dugaan kecurangan dari kedua belah pihak di Pilpres 2019. Pilpres 2019 memperlihatkan betapa rentannya demokrasi kita terhadap pembelahan sosial. Polarisasi masyarakat diperburuk oleh isu SARA, hoaks, dan ujaran kebencian. Nilai-nilai dasar bangsa seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika kerap dilupakan. Demokrasi seharusnya menjadi wadah kompromi dan toleransi, bukan ajang konflik dan permusuhan. Keterlibatan masyarakat dalam politik penting untuk menguatkan demokrasi. Masyarakat harus didorong untuk menjadi pemilih yang cerdas, sadar politik, dan berdaya, bukan sekadar ikut-ikutan atau dimobilisasi oleh kepentingan elit. Salah satu masalah serius dalam Pilpres 2019 adalah politisasi birokrasi. Birokrat yang seharusnya netral malah terlihat mendukung kandidat tertentu. Ini mencederai demokrasi karena merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Jika birokrasi sudah tidak netral, hasil pemilu akan dianggap tidak sah, dan ini bisa mengancam stabilitas nasional.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh Weni Indriyani 2217011124 -
Nama : Weni Indriyani
NPM : 2217011124
Kelas : B

Jurnal ini mengulas proses demokrasi di Indonesia, khususnya dalam konteks Pemilu Presiden 2019, yang masih menghadapi berbagai kendala. Meskipun pemilu langsung sudah beberapa kali diselenggarakan, kualitas demokrasi di Indonesia dinilai belum sepenuhnya matang. Pemilu 2019 justru memperlihatkan sejumlah masalah serius, seperti polarisasi masyarakat, penyebaran isu-isu SARA, serta maraknya hoaks dan ujaran kebencian di media sosial.

Salah satu penyebab utamanya adalah partai politik yang belum menjalankan fungsinya secara maksimal. Mereka cenderung mengandalkan popularitas tokoh tertentu ketimbang membina kader berkualitas. Selain itu, birokrasi yang seharusnya bersikap netral malah ikut terlibat dalam politik praktis, bahkan hingga ke tingkat daerah, yang pada akhirnya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara, termasuk penyelenggara pemilu dan aparat hukum.

Keberhasilan demokrasi sangat bergantung pada komitmen semua pihak — mulai dari pemerintah, partai politik, masyarakat, hingga media — untuk menjalankan perannya secara jujur, profesional, dan bertanggung jawab. Bila semua elemen ini berfungsi dengan baik, maka pemilu dapat menjadi sarana yang sehat untuk melahirkan pemimpin yang mendapat kepercayaan rakyat.
Sebagai balasan Kiriman pertama

Re: FORUM JAWABAN ANALISIS JURNAL

oleh M. Nashirul Haqq Cayaputra -
M. Nashirul Haqq Cayaputra
2217011123
Kelas B Kimia 2022

Setelah membaca kajian mendalam tentang Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019, saya makin yakin bahwa demokrasi di Indonesia belum benar-benar tumbuh secara sehat. Pemilu memang terus dilaksanakan, prosedur dijalankan, tetapi semangat yang seharusnya menopang demokrasi masih belum tampak dalam praktik yang nyata. Demokrasi di negeri ini masih terlalu sibuk dengan urusan teknis, padahal yang paling penting justru terletak pada kedewasaan sikap dan nilai yang melandasinya.

Pemilu 2019 bukan sekadar ajang kontestasi politik, melainkan juga panggung besar yang menunjukkan luka dalam kehidupan demokrasi kita. Polarisasi sosial tidak hanya terjadi di tingkat elite, tapi merembes ke ruang-ruang paling dekat dalam masyarakat. Alih-alih mempertemukan gagasan, pemilu malah memperlebar jarak antarmanusia. Identitas dijadikan alat untuk menyerang, dan agama diseret ke dalam pusaran kekuasaan. Kita menyaksikan sendiri bagaimana media sosial dipenuhi hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye gelap yang tidak lagi peduli pada akal sehat.

Di sisi lain, partai politik juga tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Alih-alih menjadi mesin pendidikan politik, mereka justru sibuk mengejar suara cepat dengan cara-cara instan. Banyak partai lebih memilih mencalonkan figur terkenal daripada mempersiapkan kader yang benar-benar punya kapasitas. Kualitas demokrasi tentu tidak akan bisa naik selama partai politik masih memikirkan elektabilitas ketimbang integritas.

Kondisi birokrasi pun tak kalah memprihatinkan. Netralitas yang seharusnya menjadi prinsip dasar dalam pelayanan publik malah dikorbankan demi kepentingan politik. Aparatur sipil negara ikut terseret dalam pusaran dukungan terhadap kandidat tertentu, baik secara terang-terangan maupun halus. Fenomena ini tidak hanya merusak etika birokrasi, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap hasil pemilu.

Satu hal yang juga patut disorot adalah bagaimana demokrasi kita masih sangat bergantung pada prosedur, bukan pada kualitas. Pemilu memang rutin dijalankan, tetapi substansi seperti akuntabilitas, partisipasi yang setara, dan perlindungan hak sipil belum benar-benar menjadi perhatian utama. Demokrasi menjadi ritual lima tahunan, bukan sistem nilai yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara secara utuh.

Bila demokrasi hanya dipahami sebatas teknis dan formalitas, maka wajar bila kepercayaan publik makin tipis dan konflik terus bermunculan. Demokrasi yang sehat seharusnya lahir dari sinergi antara institusi yang kuat dan masyarakat yang kritis. Tapi sejauh ini, keduanya belum bertemu dalam titik yang kokoh.

Saya percaya bahwa jalan demokrasi tidak bisa dipaksakan jadi lurus dalam waktu singkat. Tapi jika kita terus mengabaikan masalah-masalah struktural dan kultural ini, maka demokrasi Indonesia akan terus berjalan pincang. Perlu ada kesadaran kolektif untuk memperbaiki fondasinya: memperkuat institusi politik, menjaga netralitas birokrasi, dan membangun budaya politik yang lebih dewasa. Tanpa itu semua, demokrasi akan tetap menjadi cerita ideal yang belum sempat diwujudkan.